Kamis, 18 Desember 2008

tulisan emha - 29 Desember 2004

Rabu, 29 Desember 2004

Gunung Jangan Pula Meletus

Oleh Emha Ainun Nadjib

KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah
kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan
kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung
nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari
salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa
kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak
berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang
jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan kubunuh.

"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku
menyerbu.

"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut
dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.

"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"

"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh
dinikahkan dengan surga."

"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling
menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke
kubangan kesengsaraan sedalam itu?"

"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya
sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan
untuk terus menjalani kerendahan."

"Termasuk Kiai...."

Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak
dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.

"Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak
kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa
Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh
selama ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?"

Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari
kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.

"Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan?
Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?" katanya.

Aku menjawab tegas, "Ya."

"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"

"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan
terus mempertanyakan."

"Sampai kapan?"

"Sampai kapan pun!"

"Sampai mati?"

"Ya!"

"Kapan kamu mati?"


"Gila!"

"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan
kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu
bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit
mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu
pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak
melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami
menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu
tabuh genderang perang menantangNya!"

"Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal
yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator
dan otoriter...."

Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya.
Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.

"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."

"Kewajiban apa?"

"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.
Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar
menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya.
Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan
otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau
merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak
berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa, dan
keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat
oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan
tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang
harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini,
sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan
dinding ini kepadamu...."

"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.

"Pakailah sesukamu."

"Emang untuk apa?"

"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."

"Sinting!"

"Kewajiban apa?"

"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter.
Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar
menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya.
Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang "Atau kamu saja yang jadi Tuhan,
dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?," ia
pegang bagian atas bajuku.

"Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah
shallallahu alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang
memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih
dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia
menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang
rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan
dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif
diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia
bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab
wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun
istrinya sendiri. Dan cucunya yang

"Emang untuk apa?"

"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."

"Sinting!"

"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang
terbaik untuk cara berpikir yang kau tempuh."

Ia membawaku duduk kembali.

"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk
manusia menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku. Tangan
Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.


"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa
icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."

"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"

"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."

"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi
adalah bahwa kamu pantas diludahi."

"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."

"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim
cinta lubuk hati. Kenapa?"

"Aceh, Kiai, Aceh."

"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi.
Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan
oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke
surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara-
saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka
adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh,
karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan
kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu
sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka
selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok
psikologis yang
memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu,
sehingga akan lahir keputusan dan perubahan membiarkan terus penyakit
itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya
penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru
menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang
sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada
pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil
malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan
hidup."

"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."

"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi
riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia
meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang
dan bersyukur."

"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"


"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka
sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan
berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan
frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi,
karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan
mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat.
Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai
belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."

"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri
membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.

"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan
ngeloyor meninggalkan saya.

"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar
beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."

"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan,
kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"

Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.

Emha Ainun Nadjib Budayawan

***

Tidak ada komentar: