Minggu, 24 April 2011

"Kartini" Bunuh Diri

***
Saya libatkan nama Kartini... karena tepat pada hari Kartini lah cewe yang mencoba bunuh diri itu tiba di hadapan saya... dalam keadaan bercucuran darah.
-
Kamis, 21 April 2011.

Seharian itu saya lelah luar biasa.
Untuk sebuah urusan, saya harus menyetir dari mulai Cibiru ke Arcamanik, lanjut Buahbatu terus Kopo, lalu ke alun-alun Bandung, kemudian naik ke Dago atas, balik ke Padasuka, Kircon, hingga tiba kembali ke Cibiru. Belom lagi menghadapi macet yang tidak biasa karena Jum'at besoknya libur. Long weekend means long traffic jam in Bandung.

Sorenya, setengah hati saya memaksakan diri untuk memenuhi permintaan teman saya untuk jaga apotek hingga malam hari. Hampir saja janji itu saya batalkan. Tapi mengingat saya butuh uang.. .. lantas cuaca sore yang cerah, dan juga anak-anak yang bermalam liburan di rumah neneknya, akhirnya saya penuhi janji jaga 'praktek' itu.
Cuma nemenin kok.. gak jaga sendirian.

Setelah saya siapkan makan buat suami kalau pulang kantor, dan menelponnya minta izin berangkat jaga, maka saya pun berangkat.
Kalo udah sampe apotek sih, ternyata semangat kembali terpicu 100%.
(Dasar gue apoteker sejati yak )

Ketika jam menunjukkan sekitar pukul setengah enam sore, entah dari mana datangnya, tiba-tiba segerombolan anak muda laki-laki dan perempuan sekitar tujuh orang sudah ada di depan etalase, saat saya tertunduk khusyuk membereskan deretan obat di dalamnya.
Mereka tampak mengantar perempuan yang hampir pingsan, yang dipapah oleh dua teman laki-lakinya
.
“Bu.. ini Bu...” kata salah seorang di antara mereka sambil menunjuk pergelangan tangan si perempuan..

Saya pun melongok sambil jinjit, melempar pandangan ke seberang etalase, ke arah yang ditunjuk.
Tampak pergelangan tangan perempuan itu ditutup rapat oleh telapak tangan teman laki-lakinya, dan di sekitarnya tampak ceceran darah.

“Potong ininya Bu...”, lanjutnya.

Saya sudah berpikir ni anak kecelakaan motor, dan patah tulang.

“Eva!! Ada yang kecelakaan Va!!” teriak saya ke teman saya yang sedang menelpon di dalam.

“Duduk di situ Dek... “, perintah saya menunjuk tiga buah kursi tunggu.

Saya ambil perban gulung dan langsung berpindah tangan ke temenku Eva.

“Kenapa De?”, tanya Eva setengah berlari menuju ke perempuan tadi.

“Motong ininya Bu... nyoba bunuh diri... pake silet”, sahut salah seorang dari mereka lagi.

Hoho.. dengar kata bunuh diri dan motong nadi, kami jadi panik. Eva mencoba membalut luka si perempuan tadi sebisa-bisanya sambil “u o” tak kuasa menahan mual. Jujur saya sendiri tidak berani lihat.

Dengan pikiran kosong saya masih menyempatkan diri melayani pembeli apotek dan seorang loper obat ...sambil bingung.... bunuh diri?.. terus? ... what should I do?
Pembeli dan bapak loper pun tentu saja tidak lanjut bertransaksi. Semua memandang bingung dan khawatir ke arah si perempuan yang matanya merem melek, seperti mengantuk, tapi tampak masih sadar. Wajahnya pucat. Kulit sekitar mata tampak menggelap.

Eva dan anak-anak muda tadi lanjut berdebat ni perempuan mending dibawa ke mana... dokter? Mantri?
Mantri sebelah sana... dokter ada di sebelah sana tapi lebih jauh. Kata Eva sambil nunjuk-nunjuk. Tapi gak ada satupun anak muda itu yang tau tempat praktek paramedis terdekat. Saat itu cuma Eva yang tau.
Kendaraan yang ada pun hanya motor Eva, motor anak-anak muda yang kebingungan itu, dan mobil saya.

Di pikiran saya akhirnya cuma satu... RUMAH SAKIT !! dan PAKAI MOBIL SAYA !!
Saya tau rumah sakit terdekat, walau hanya RSUD. Tapi mending ke sana dibanding harus ke mantri/ dokter yang belom tentu ada di tempat prakteknya.
Semua pun setuju.

Dengan basmalah saya starter mobil sambil mencoba berpikir setenang mungkin. Yang menumpang mobil saya hanya dua orang - perempuan itu, dan seorang laki-laki yang saya duga adalah pacarnya.
Eva harus lanjut jaga apotek.

Kepergian kami dilepas dengan tatapan khawatir. Tidak ada satupun tetangga dekat situ yang ada di luar, karena hari mulai gelap menjelang magrib.

Rumah sakit tidak jauh, hanya sekitar 2-3 km. Tapi jalannya itu lho.. buruk berlubang, membuat perjalanan kami rasanya paaaaanjang dan laaaama. Badan saya mulai terasa lagi lelahnya, belom dengan degup jantung yang berdebar kencang.
Sepanjang perjalanan tak urung pikiran kesal dan 'gak rido' saya muncul. Terus menerus merutuk dalam hati, memaki-maki perempuan di belakang saya ini.

“Sialan Lu !! Nyusahin orang aja Lu !! Kaga' tau diuntung !! Apaan sih masalahnya?? Cantik gitu ..masih muda.. mo bunuh diri !! Gila apa !! Gue capek tau hari ini !! Musti nganterin elu lagih !! Huuh.. dodoool !!!”

Tapi lama-lama terselip juga rasa kasihan... Kasihan buanget.
Dari wawancara sepintas di dalam mobil, saya tau mereka masih anak kelas dua SMA, di sebuah SMA negeri di Bandung, yang menurut saya cukup bagus. Lagi liburan karena anak kelas 3 nya lagi UN. Rumahnya masih di daerah situ juga, tapi beda kecamatan.
Dekat apoteknya Eva, memang ada warung kecil yang jadi tempat ngumpul beberapa orang anak muda entah dari mana.

Saya tidak berminat menanyakan hal ihwalnya, kok bisa si anak perempuan itu nekad memotong nadinya dengan silet. Kata si cowo, terjadi di hadapan teman-temannya dan katanya lagi... tiba-tiba saja dia bertindak begitu. (kok bisa ya?)

Ah.. saya pikir itu bukan urusan saya. Bahkan nama mereka pun saya tidak berminat untuk tau. Buat apa juga. Dan sengaja saya ingin menjaga privasi mereka sebaik-baiknya, karena saya tau ini adalah hal yang tragis, konyol, sekaligus memalukan.

Saya bilang ke anak laki-laki itu... ajak ngobrol aja tu temennya.. jangan sampai dia pingsan. Tangannya angkat … jangan mengarah ke bawah.

Akhirnya tiba juga saya di rumah sakit, berhenti tepat di depan pintu UGD.
Saya pikir gerombolan teman-temannya tadi mengikuti dari belakang pake motor, taunya enggak.
Jadi weh si perempuan dipapah cuma sama saya dan pacarnya si cewe.

Perawat menyuruh kami membaringkan si perempuan di ruang tindakan. Ada satu pasien saja di sana.

“Kenapa?”, tanya perawat pada saya.

“Nyoba bunuh diri, Sus.. “, jawab saya dengan berbisik dan isyarat memotong pergelangan tangan kiri dengan telunjuk tangan kanan saya.

Perawat itu langsung menyiapkan peralatan, kemudian membuka balutan perban 'karya' Eva tadi.
Barulah saat itu saya lihat lukanya. ….Glughhh... Mungkin saya hanya kuat lihat satu detik saja, karena saya langsung memalingkan muka, sambil menutup mulut, memejamkan mata, sekaligus beristighfar. Luka sayatannya terlalu mengerikan buat saya. Rasa ingin muntah pun tiba-tiba saja menekan kerongkongan. Sama saja dengan temenku Eva tadi ketika berusaha membalut lukanya.

Ya Alloh... beneran tu' luka kebayang sampe sekarang. Panjang sayatan melintang sekitar 3 cm saudara-saudara, tepat di tempat kita memegang denyut nadi pergelangan tangan, dengan kedalaman yang saya yakini lebih dari 0,5 cm. Tampak jelas karena luka sayatannya menganga lebar hingga saya bisa melihat daging merah tua di bagian dalamnya. Hikkkkkks..

Perawat tadi bergerak cepat dan trampil.. sendirian saja, membalut kembali luka si cewe, sambil bertanya pada saya, saya siapanya. Saya cerita sekilas. Kemudian pertanyaan seperlunya dari si perawat beralih ke anak laki-laki tadi. Hanya untuk sekedar mengetahui kapan terjadinya dan kronologis 'pemotongan'... (hiiy).

Setelah mengukur tekanan darah, perawat tadi bilang ke saya sambil tersenyum,... “Untung aja Bu.. dia salah motong. Kalau aja bener motongnya, dari tadi dia udah gak sadar”.

Hooo... pantesan darahnya 'cuma' ngerembes … hmm.. kalau gitu.. sepertinya ini kategori ringan lah lukanya.....

Tapi ternyata perawat melanjutkan... “Ini harus segera dibawa ke Hasan Sadikin Bu.. di sini peralatannya gak ada untuk bedah arteri... “

Haaaah??? Bedah arteri???? Kenapa jadi tampak mengerikan (lagi) ??? Terusss????

“Ada kok Bu mobil carteran.. tunggu ya”

Walhasil .. saya menunggu... ditemani tatapan mata orang-orang. Mereka menonton saya dengan penuh iba. Ihh.. please deh.. saya kan gak kenal cewe ini....
Si anak cowo tadi bilang mau cuci tangan dulu karena tangan kanannya terkena darah sedari tadi. Si cewe asalnya gak mau ditinggal.
Setelah saya yakinkan bahwa saya akan menjaganya, barulah dia mau ditinggal sama cowoknya itu.

Anak itu pun kemudian hanya bisa tergolek lemah. Matanya terpejam, tapi sadar. Saat itu dia mengenakan pakaian sweater panjang dan celana jeans abu-abu, dan tanpa alas kaki. Di sweaternya tampak jelas noda-noda darah yang mengering. Dan syukurlah dia memang masih sadar.

Campur aduk lagi di pikiran saya saat itu. Antara kasihan, menggerutu, mendo'akan, nyari hikmah, dan pengen cepet keluar dari RS, ninggalin semua masalah yang bukan urusan saya ini.

Saya cuma diam akhirnya. Bingung.. mau ngomong apa, dan serba salah.
Mencoba berempati, bahwa pastilah dia lagi butuh ketenangan.
Saya usap-usap saja kepalanya. Rambutnya panjang hitam tergerai. Anak ini cantik.

Dia pun berkata lirih.. “Masih lama ya?... Sakit... sakit... “

Saya baru ingat.. iya ya.. dia luka dalam begitu.. pasti sakitnya luar biasa. Doooh.. saya lari ke perawat yang sedang sibuk melayani pasien lain.
“Sus.. gak dikasih penahan sakit?”

Perawatnya menggeleng.. gak usah katanya....Ugh..
Sebagai apoteker saya merasa tidak berdaya dan tidak diberdayakan. Pun saya memang takut melangkahi prosedur penanganan gawat darurat seperti ini.

Keluarga dan teman-temannya si cewe ini belom juga dateng padahal udah ditelponin sama si cowo lewat hp saya. (si cowo keliatan ketinggalan hp entah di mana)

…......

Ini kayaknya kepanjangan ya saya nulis....


Ya pokoknya setelah lama nunggu, eh.. mobil carteran dinyatakan tidak ada.

Saya tanya kalau pake ambulans gimana... katanya harus ada prosedur infus... bla.. bla .. intinya mah kalo pake ambulans lama lagi.... (kok???).. “Ini harus cepat Bu”.. kata si perawat.

Sementara saya lihat ada kok ambulans ngajugrug dua biji di depan RS !!

“Kalo mau cepet gimana Sus?”, tanya saya lagi dengan bingung..
“Ya pake mobil sendiri”, jawab perawat enteng.
Ampun! Pake mobil saya???? Gak kebayang sama sekali.

Ya Alloh...... bukannya saya tak mau menolong. Tapi mobilku ya begitulah, dan diriku adalah seorang perempuan yang tak kuasa menyetir menerobos lalu lintas malam dalam belasan kilometer.

Bukan belasan kilonya yang jadi alasan... tapi yang saya bawa adalah manusia yang hidup matinya sedang dipertaruhkan.
Sementara kawanku hanyalah seorang anak kelas dua SMA yang tampak bingung dan panik juga.

Masalah utamanya lagi adalah bensin mobil tua saya yang sudah mendekati E. Masa iya gue bawa-bawa perempuan yang berdarah-darah, tapi harus mampir pom bensin dulu??

Huaaaaaaaaaa....... !!!!

Setelah diskusi lagi sama si cowo, akhirnya kami sepakat membawa si cewe ke RSHS pake mobil saya.... “Tapi.. mampir pom bensin dulu?”, gumam saya tidak yakin.
Si cowo pun mengangguk.

Kami angkut si cewe pake kursi roda. Dan saya pun memarkirkan kembali mobil tepat di depan UGD. Setelah tadi saya simpan dulu mobil di tempat parkir yang benar.
Nekad.. bener-bener saya ngerasa nekad....

Tapi syukurlah..ribuan syukur alhamduliLlah saya panjatkan... setelah itu ada perawat laki-laki yang bilang, bahwa ambulans bisa segera digunakan.

“Ibu parkir mobil di sini aja.. aman kok Bu”, kata si perawat.

Whaaaaaaaaaaaaaaatttt???? Jadi gue mesti ikut ke RSHS nih????? No ! No ! No ! Ini bukan urusan gue !!!

Teriak saya dalam hati, dengan rasa kembali gak rido.

Tapi melihat si anak cowo itu kebingungan... heu..
ya hayu lah saya anter ke RSHS....
hati saya yang tadi berteriak kembali diam...
pasrah....

Tapi mungkin Allah memang hanya ingin menguji, hingga di manakah kerelaan saya berkorban demi menolong sesama manusia. Halah.
Saya akhirnya ngomong sendiri, tapi kali ini bersuara... nyari-nyari temen-temen anak ini yang tadi ada di apotek...
Saya bener-bener ngomong sendiri kayak orang linglung di depan UGD. Entahlah saya bicara pada siapa: “Kenapa gak kesini sih temen-temennya? Mana ya?”

Taunya ada ibu-ibu yang sedari tadi memperhatikan, menunjuk ke segerombolan anak muda di lapangan parkir. Itu tuh Bu.. dari tadi ada di situ...
Ihhhh... saya mulai kesal lagi... Ni temen apa temen sih... bukannya nyamperin malah diem di parkiran !!

Namun tak urung saya lega juga lihat temen-temennya itu.
Setidaknya saya gak usah ikut ke RSHS. Biar si cowo cewe ini sama temen-temennya ajah. Gue mau pulang !!!

Dan lebih lega lagi saat ada kakak laki-laki dan ibu si cewe akhirnya tiba dengan mengendarai motor.
Si kakak laki-laki marah-marah ke si adik dan cowonya, sementara si ibu tampak tenang-tenang saja, tak sedikitpun menyapa si cewe..…. yang jadinya ingin saya teriaki “Bu.. bu .. itu anakmu lho Bu yang mo bunuh diri!! Ini ibunya bukan sih??” Saya mulai ragu. Si ibu tampak ngageblay.. biasa aja gitu loh.

“Duh.. ni suami saya lagi ke Palembang... “, si Ibu cuma bilang begitu. Dari penampilannya, ibu ini tampak dari kelas ekonomi menengah.

Saya antar saja ibu itu ke perawat, agar diberi penjelasan...

Si ibu masih nawar apa bisa ke RS yang lebih dekat... Tapi perawat tetap menunjuk RSHS dengan alasan bedah arteri tadi.

Setelah itu.. entahlah apa yang terjadi karena saya segera memutuskan untuk kabur... keluar dari RS dengan perasaan lega... hufff... satu jam lebih tampaknya saya menjalani peristiwa tadi.

- - -

Akhirnya ceritanya selesai, saya tidak akan menuliskan mutiara-mutiara hikmah di bagian penutup ini., bisi lebay. Tarik saja hikmahnya masing-masing ya.

Toh dalam perjalanan saya pulang kembali ke apotek waktu itu pun pikiran saya campur aduk...
Masih campur aduk antara hikmah dan rutukan atas kejadian yang saya alami tadi. Yang jelas mendo'akan agar anak perempuan tadi diberi kesempatan hidup dalam keadaan yang lebih baik.

Soooo... saya akhiri posting ini dengan mengucapkan Selamat Hari Kartini, 21 April 2011.
Terus berjayalah perempuan Indonesia..
Semoga kita mengakhiri hidup dengan cara yang mulia, dan meninggalkan jejak kebaikan seperti ibu kita Kartini. Bukan dengan cara konyol macam bunuh diri.
***