Kamis, 18 Desember 2008

arsip ier 5 Februari 2005 - ASI

Tahun 2005, banyak temen2 yang bakal melahirkan ya… Mungkin sepenggal cerita saya ini bisa bermanfaat terutama untuk yang baru/akan jadi ibu.
=
Anak pertama saya, Dzar, atau yang kini maunya dipanggil Arif, lahir di RSB Emma Poeradiredja, 3 tahun yang lalu.
Lahir normal dengan berat 2,15 kg. Menurut dokter SPA, Arif harus dirawat di inkubator RS sampai berat badannya mencapai 2,5 kg. Proses kelahirannya sendiri cukup lancar. Kalau ditangani oleh dokter, sudah umum, pakai gunting… bret … 2 kali ngejan langsung loncat bayinya.
Tapi setelah itu, bukannya lega. Saya masih sakit perut bukan main seperti sebelum melahirkan. Ternyata ada perdarahan di dalam, pokonya darah itu bukannya keluar, tapi numpuk balik ke dalem… maaf saya nggak tau secara medisnya gimana tuh.
Jahitannya memang banyak sekali, diobras luar dalam … kata dokternya mungkin karena selama hamil saya kurang banyak bergerak makanya jahitannya jadi banyak gitu (organ tidak fleksibel).
Saya mengiyakan saja, karena saya memang selama hamil manteng di depan komputer untuk menyelesaikan skripsi.
* ibu hamil harus olahraga juga, dan banyak bergerak (sewajarnya), misalnya rajin mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jangan malah jadi pemalas.
Dokter mengunjungi saya kembali 6 jam setelah darah dikeluarkan, dan cukup lega ketika melihat saya sudah “merah” kembali dengan suplai darah satu labu. “Kemarin sepertinya ibu sudah mau finish”. Kaget juga saya dibilangin begitu.

Arif dirawat di RSB sampai 10 hari. Selama itu ASI dipompa dan dikirim lewat botol. Tapi dengan menggunakan breast pump itu ternyata keluarnya ASI sedikit sekali. Di RSB Arif lebih banyak dikasih susu formula. Saya mengunjunginya sekitar 2-3 hari sekali untuk nyoba menyusui. Saya sendiri masih sakit jahitan sampai 2 minggu.
Akhirnya Arif bisa saya bawa pulang. Tapi sayang sekali, dia bingung puting. 10 hari bersama dot, dia lebih suka dot daripada ibunya… Saat itu saya menyerah. Tidak ada yang mendukung saya untuk memaksa bayi minum ASI, karena si bayi malah menangis keras. Dan yang amat sangat disayangkan adalah sikap dokter spesialis anak tempat Arif konsultasi dan imunisasi, sama sekali tidak menganjurkan saya untuk memberi ASI. Ketika saya bilang saya tidak bisa menyusui karena bayi tidak mau dan ASI saya sedikit, dokternya tenang-tenang saja, dan langsung memberikan sebuah merek susu formula.
* Bila kalian menemukan dokter SPA seperti ini, tinggalkan saja, jangan pernah konsultasi lagi!
* Bila bayi kalian memang harus dirawat di RS, ibu harus ikut tinggal di RS juga untuk menyusui bayinya.
Arif besar dengan dot, dan itu sangat menyiksa batin saya sebagai ibu. Sedih rasanya ketika tidak ada yang mengerti betapa saya ingin menyusui bayi saya. Dengan dot, Arif jadi bisa disusui oleh siapa saja, digendong siapa saja, dikeloni siapa saja. Saya rasanya tidak berarti lagi… hiks…dan saya coba untuk selalu bersyukur.
Tapi memang dengan begitu cukup banyak hikmah yang bisa saya ambil, misalnya belajar untuk ikhlas. Juga saya bisa kuliah lagi dengan tenang setelah Arif berusia 4 bulan, karena dia bisa diasuh oleh siapa saja…..

Maka saya bisa dilantik menjadi apoteker ketika Arif berusia 1,5 tahun.
Alhamdulillaah.

==
Anak kedua saya, Shofiyyah, dipanggil Sofi. Lahir 6 bulan lalu dengan kronologis yang jauh berbeda. Maklum udah pengalaman. Hehe…
Dengan pertimbangan keuangan, pengalaman, dan kesehatan, Sofi lahir di bidan, tidak jauh dari rumah orang tua.
Selama hamil, saya sudah jadi ibu rumah tangga sejati. Nyuci, nyapu, ngepel, dan masak… sekaligus ngasuh Arif, sendirian saja.
Biar nggak diobras lagi, harus banyak bergerak. Berat badan naik cukup konstan, dan berat janin berkembang baik. Saya pikir karena saya rajin minum susu khusus ibu hamil (waktu hamil Arif, saya minum susu biasa). Sofi lahir dengan BB: 2,90 kg.
* Biar berat badan ibu dan janin bertambah dengan baik, coba minum susu khusus ibu hamil
Survei tempat melahirkan kembali dilakukan. Untuk anak kedua ini saya berani melahirkan di bidan saja, apalagi kondisi saya dan janin dinyatakan sehat. Saya masih trauma melahirkan di RS, yang suasananya sedikit menyeramkan, dengan bidan-bidan yang ‘galak’, dan perawatan bayi yang terpisah dari ibu.
Saya melahirkan di bidan dengan amat lancar. Mungkin karena anak ke dua, proses pembukaan tidak terlalu lama. Saya dan Sofi langsung dirawat dalam satu ruangan. Nah, tibalah saat menyusui…. Saya masih belum pede untuk bisa menyusui, tapi sedikitnya ada tekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang lalu.
ASI belum keluar. Ibu Bidan menyuruh saya untuk memberi bayi susu formula dengan menggunakan dot. Oh tidak! Saya dan suami awalnya bersikeras memberi susu pada bayi dengan menggunakan sendok atau pipet saja. Tapi lagi-lagi menyerah… tidak tahan mendengar tangisan bayi yang lapar. Kembali, dot lagi. Tapi terus menerus dicoba agar bayi mau menyedot ASI.
Hari ketiga pasca tsunami, eh, melahirkan, alhamdulillah ASI keluar. Terjadi pembengkakan payudara karena si bayi bobo aja, nggak mau minum. Subhanallah, sakiiiit sekali. Tapi kan kalau dibuang sayang!
Hal ini tidak terjadi pada kelahiran Arif, karena ASI tidak terstimulasi mulut bayi, sehingga produksinya sedikit.

Ketika menyusui di awal kelahiran, ada tiga titik sakit luar biasa yang dirasakan. Pertama, sakit pada puting karena baru membuka jalan untuk keluarnya ASI, plus masih kaku. Dan saya mengalami lecet, sakitnya luar biasa. Mulut bayi serasa ujung pisau pake jeruk nipis.
Kedua, sakit pada rahim karena ketika ASI keluar, mekanisme hormon membuat darah di rahim terpompa keluar.
Ketiga, sakit jahitan (bagi yang dijahit).

=> jangan lupa untuk memuntir-muntir puting (konsultasi deh ke bidan) selama hamil, untuk mencegah lecet pada awal menyusui.

Hari-hari berikutnya, ASI disambung botol. Karena saya merasa ASI saya sedikit (masih trauma dulu). Saya masih merasa saya tidak bisa memenuhi kebutuhan nutrisi bayi.
Konsultasi ke dokter SPA, kali ini lain. Sang dokter sangat memaksa saya memberi ASI. Lupakan botol, katanya.
Saya masih nggak pede juga. Saya tetap memberi ASI ditambah susu formula sekitar 50:50.

Sampai pada suatu hari ketika Sofi berusia 1 bulan, ada tetanggaku datang untuk sekedar bersilaturahmi. Dia mengingatkan saya untuk “pede aja lagi!” ngasih ASI pada bayi saya. Paksain aja, walau merasa sedikit. Dia tidak berdasar teori, tapi pengalaman saja.
Saya terpengaruh, dan besoknya saya coba untuk melupakan susu formula…
Dan subhanallah, ajaib! Beberapa hari kemudian saya mulai merasakan ada sebuah aliran sungai yang bermuara di mulut Sofi :-) , sampai saat ini.

===
Ya begitulah ceritanya, saya hanya ingin berbagi.
Semoga, baik Arif ataupun Sofi, tetap mendapat limpahan kasih sayang Allah berupa kesehatan, kecerdasan, serta akhlak mulia, Walau start dengan cara yang berbeda, tapi mudah-mudahan finish di tempat yang sama, yaitu di surga yang dijanjikan-Nya kelak. Maafkan segala kesalahan dan kebodohan Ummi ya.

***

Tidak ada komentar: