Kamis, 18 Desember 2008

arsip ier 10 Oktober 2004 - ummi

Saat darah rasanya sudah naik semua ke ubun-ubun....
Saat tangan terkepal agar nggak nyubit....
Dan mulut terkatup rapat agar tidak membentak....

Itulah saat terberat ketika menghadapi anak dua setengah tahun yang rewel entah apa maunya.
Sementara saya, umminya, sedang pusing karena kurang tidur, lapar karena belum sempet makan, dan capek menghadapi si adik dua bulan yang pengen digendong aja....
Sendirian pula.

Kalaupun berhasil menahan marah, maka air matalah yang keluar.
Dan bila tidak... maka penyesalanlah yang mengiringi...

Saya suka bilang sama dia "ummi minta maap ya?"
Kadang dia bilang "ya". Tapi pikirannya gak tau ke mana, soalnya sambil main.
Kadang dia memperhatikan terus nanya balik "kenapa ummi minta maap?"
"Karena ummi tadi marah-marah", jawab saya.
Saya tidak menyangka dia nanya lagi
"Kalo engga dimaapkin... gimana?"

Sebelumnya tidak pernah terbayangkan saya bisa marah padanya... Hingga ia berusia 2 tahun, dan ingin menunjukkan siapa dirinya. Untuk itu seringkali dia tidak mampu sehingga frustasi. Dalam kondisi itu seharusnya ibu mampu mengendalikan diri dan tidak terbawa emosi anak.... dst dst... Teorinya saya tau lho!
Apalagi teori bahwa anak itu adalah titipan Allah dan mesti dididik dengan cara yang seeebaik-baiknya. Saya tau. Ceritanya kan saya aktivis! Masa nggak tau yang begituan.
Sejak sebelum menikah dan sebelum si anak lahir, banyak nian teori pendidikan anak yang telah saya baca.
Ternyata.... teori semuluk apa pun, jika sang ibu tidak mampu mengendalikan dirinya... mentah semua!

Lagi-lagi saya harus kembali mempertanyakan aqidah saya... Saya merasakan bahwa saat saya marah (ini marahnya dari hati ya.. bukan marah mendidik), saya tidak ikhlas. Lupa bahwa saya mendidik anak adalah dalam rangka ibadah, dalam rangka mengekspresikan cinta saya pada Nya, karena Dia telah mempercayakan anak itu kepada saya sebagai amanah besar.
Seorang guru play group berusaha mendidik anak2 titipan itu dengan sepenuh hati, karena merasa orang tua telah membayarnya dan menitipkan si anak untuk dijaga. Berharap agar orang tua senang dan tetap memberi kepercayaan padanya.
Harusnya saya lebih baik lagi dan memberikan senyum lebih lebar kepada anak saya sendiri karena tidak ada yang menitipkannya kepada saya kecuali Allah.

Anehnya, saat suami saya pulang. Saya bisa lebih mengendalikan diri.
Tuh kan!

Bisa jadi hayang kapuji, bisa jadi karena merasa beban dua anak tak lagi ditanggung seorang diri.
Egois!


Saya memang punya seorang khadimat yang bekerja dari jam 7 hingga jam 12 siang. Untuk bantu ngepel, nyuci, masak, nyetrika, dan nyiram bunga. Keberadaan dia sangat membantu, kecuali....
kalau dia sudah terlalu lunak terhadap anak saya. Jadi seringkali saya bilangin "Jangan dikasih 'Mbak..."
Entahlah kalau saya meninggalkan anak hanya bersamanya dalam jangka waktu lama. Sepertinya dia hanya berusaha agar anak tidak rewel saja...
Ya tentunya kita perlu mentraining pengasuh anak-anak kita terlebih dahulu kalau kita berencana akan meninggalkan anak bersamanya dalam jangka waktu lama dan sering. Misalnya mengadakan pelatihan dengan mendatangkan pemateri dari Salman.... haha...

Yach... saat-saat yang berat di rumah sendiri ini sedang saya coba atasi. Terasa beratnya terutama karena sekarang ada si adik, yang butuh perhatian ekstra. Sementara ada juga si kakak yang butuh perhatian super ekstra. Sementara saya? Siapa dong yang memperhatikan saya?
Mestinya saya kembalikan semuanya kepada Allah dengan menghayati makna 'laa haula wa laa quwwata illaa billaah'

Biar marahnya reda... mesti banyak malu sama Allah, ta'awudz, dan segera berwudhu. Doakan ya semoga saya bisa menghadapi cobaan ini....

***

Tidak ada komentar: