Minggu, 29 November 2009

tak seindah dulu

***
Baru pulang dari pangalengan buat bagi-bagi daging hewan qurban.
Sejak gempa di bulan Ramadhan kemarin, saya baru ke sana lagi, melihat-lihat lagi situasi di sana.
Banyak rumah roboh yang belum juga dibangun, dan masih banyak pula ternyata orang-orang yang masih tinggal di tenda. Tendanya cukup bagus dan tertutup rapat. Tapi bagaimanapun itu adalah tenda. Berdiri di sebelah bangunan yang telah luluh lantak.

Tak berlama-lama tadi saya mengajak Sofi mengelilingi rumah nenek yaitu rumah uyutnya Sofi yaitu rumah mamahku sewaktu kecil ini. Hujan rintik-rintik membuat kami segera kembali ke dalam rumah.




Tidak ada hal aneh yang saya tunjukkan pada Sofi, kecuali cerita berulang yang saya sampaikan padanya, kalau dulu.. di sebelah kanan rumah ini, yang kini jadi lapangan voli itu adalah kolam ikan berhiaskan teratai. Ikannya besar, sebesar betis papa.

Nah.. di halaman depan.. dulu banyak bunga borondong dan bunga aster, juga mawar berwarna-warni, sementara sekeliling rumah dipagari bunga bakung dan melati. Kalau di sebelah kiri rumah, yang kini jadi kebun tak terurus, itu dulunya kebun strawberry dan di sebelah sananya kebun nanas dan waluh. Mau kentang? tomat? wortel? kol? Tinggal naik agak ke atas, ke dekat makam keluarga.
Ah.. ke mana pula pohon jambu dan alpukatnya sekarang ya?

.. yang ini rumah yang di belakang ini.. dulunya kandang ayam. Dan di atas itu ada kandang sapi dan domba.

Saya sibuk mengenang saat-saat saya bermain di sekeliling rumah nenekku ini.. sementara barangkali Sofi tak bisa membayangkan, bagaimana bentuknya bunga aster, bakung, borondong, apalagi teratai .. juga bagaimana bentuknya pohon waluh yang merambat, pohon nanas yang bentuknya begitu itu.. pohon alpukat.. dan bahkan ada pohon manggis dan delima.

Tak ada larangan pula untuk main air di sini. Air dari pancuran mengalir tanpa henti 24 jam. Aliran air yang cukup besar dari lubang berdiameter 5 cm. Dijamin puas main perahu kertas di selokan kecil sekeliling rumah.

Sofi tampak takjub juga ketika saya ceritakan betapa satu ruangan penuh sebesar dua kali kamar di rumah, isinya ratusan ekor ayam yang berderet-deret, dan setiap pagi nenek ngambilin telurnya yang udah menggelinding ke depan ayam.
Bahkan Arif tak percaya saat mamahku cerita kalo kamar di depan itu dulunya jadi tempat beternak ulat sutra. Satu kamar penuh isinya ulat.

Huhuhuu.. rindu saya membuncah pada emah dan pa aki. Nenekku almarhumah, dan kakekku almarhum.
Sosok-sosok sederhana yang asli orang desa.
Mereka adalah petani ulung yang tidak sempat sekolah tinggi, tapi dapat ilmu turun temurun saja dan bekerja keras sepanjang hari untuk menyekolahkan kesembilan putra putri mereka di kota.

Pa Aki, yang bahkan suaranya saya lupa-lupa ingat karena pendiamnya, tiap harinya memakai pakaian amat seadanya. Berlapis-lapis khas petani pangalengan yang bekerja di tengah suhu rendah.
Celana panjang lusuh, kemeja lengan pendek kumal, kaos kaki yang ditarik hingga menutupi celana panjangnya sampai lutut, sepatu boot, sarung tangan, plus topi petani. Tak lupa sebatang djarum coklat selalu menempel di sudut kanan bibirnya. Dilepas hanya pada saat beliau tidur, makan, dan ke kamar mandi.
Bicara? tetap dengan sebatang rokok itu di bibirnya.
Cangkul, arit, pisau, dan golok melengkapi penampilannya. Perawakannya kecil, tapi tampak gesit.
Benar-benar beliau jarang sekali bicara. Saya hanya menontonnya saja setiap beliau bekerja sambil sesekali memakan buah yang beliau lemparkan pada saya.

Emah, nenekku, khasnya adalah mengecek, apakah semua yang ada di rumah sudah makan atau belum. Nyuruh makan terus. Makan lagi, makan lagi.
Memang di sana segala ada sih.. mau daging ayam tinggal potong, telur selalu tersedia, sayuran tinggal pilih, susu tinggal peras, bahkan camilan? Tinggal nyomotin caramel dari dapur. Dulu di rumah nenekku itu juga memproduksi permen susu caramel. Hmm...
Arif sampe bilang "Kok Ummi tau cara bikin permen caramel?"
Haa.. dulu Umi memang diajari sama Uyut, dari mulai mengolah, sampe ngebungkusin satu-satu. Arif tampak 'kabita', membayangkan bila di sekitar saya dulu dikelilingi ratusan permen caramel.

Saya paling suka juga kalau ikut emah ngasih makan ayam. Tiap pintu kandang dibuka, ratusan ayam itu bangkit dan berpetok petok riuh minta diberi makan.
Saya yang saat itu masih TK-SD, selalu merasa jadi artis tiap masuk kandang ayam.

Ingin rasanya saya membawa Arif dan Sofi ke masa lalu saat saya menjadikan halaman ini sebagai tempat bermain yang luar biasa mengasyikkan.
Dulu ke sini saya selalu membawa boneka kertas saya, dan berimajinasi dengan memainkannya di dekat pohon strawberry, sambil memetiki buah-buahnya yang sudah merah.

Sementara ini, adalah pemandangan kebun teh yang bisa saya nikmati lewat jendela kamar tidur:



Embun..

Wah.. saya jadi mikir nih.. anakku tau embun gak ya?
Dulu saya senang bermain embun.
Di sana itu.. di tengah kebun teh yang terhampar luas tepat di depan rumah.
Tinggal jalan 500 meter ke arah utara, maka saya sudah berada di tengah kebun teh.
Jam tujuh pagi, setiap kali saya menginap di sini, bisa dipastikan saya sudah ada di tengah sana, berbasah-basah dengan embun.
Segar.

Ugh.. para keponakanku tadi, malah sibuk dengan playstationnya di ruang tengah rumah nenekku ini. Kalau dulu.. nonton TV saja rasanya rugi. Di sini mending dipake main di luar daripada diam diam di rumah.
Sekarang mau gimana lagi.. di luar udah gak ada yang asyik.
Sejak kakek dan nenek saya meninggal, sapi dan domba dijual satu persatu.. ayam rasanya kok menghilang begitu saja. Pohon-pohon tak terurus.
Tak ada penerus tahta kerajaan pertanian dan peternakan di sana. Semua jadi pegawai kantoran dan tinggal di kota. Tersisa paman dan bibi yang kerja di kelurahan saja sekarang.

Dan gempa kemarin seakan jadi puncak kerusakan, sampai-sampai acara lebaran pun pindah tempat jadi ke rumah orang tua saya, padahal seumur hidup barangkali ya.. saya menghabiskan lebaran di pangalengan.




Teman-teman SMA saya, sekitar 25 orang setidaknya masih bisa menikmati rumah ini, tahun 1995an... kita sempat menginap dan berjalan-jalan mengitari kebun tehnya.
Dulu itu masih lumayanlah... tak serusak sekarang.
Makanya saat saya upload foto gempa di fb kemarin, banyak teman sekelas saya yang menyatakan turut belasungkawa. Tengkyu...

***

(Foto-foto di atas diambil setahun yang lalu, 2008)

Jumat, 27 November 2009

diem di rumah

***
Judulnya lagi geje.
Libur panjang Idul Adha. Jum'at, Sabtu, Minggu.
Mestinya banyak yang bisa saya kerjakan saat saya gak mesti ke apotek, dan diam-diam saja di rumah seperti sekarang.
Tapi memang ujian waktu luang itu adalah ujian berat.
Ternyata segala macem jadi males. Mo ngapa-ngapain males.

Sebetulnya udah bawa kerjaan dari apotek ke rumah. Dan, alhamduliLlah selesai.
Sekarang udah online YM, online FB, tapi tak kunjung ada yang ngajak chatting.
Hahaha... gak laku gw.
Nyapa duluan? Yang onlen lagi pada gak asik...:P

Herannya saat kerjaan saya numpuk, online di apotek, adaaa aja yang nyapa, curhat, nanya, ngajak ngobrol...

Kalo lagi diem-diem di rumah dan mati gaya begini (buat yang saya ambil statusnya hari ini tolong jangan protes), saya sering terkagum-kagum sama ibu rumah tangga 'sejati' yang sepanjang harinya diam di rumah, ataupun bisnis di rumah.. pokonya selalu di rumah, tapi tampak survive.
Huhu... saya sih bakal ngehang tuh kalo kayak gitu.
Sejak SMP saya selalu beredar ke mana-mana dan terkesan pantang diam di rumah. Ngiderrr terusss.. sampe sekarang.

Dulu pernah beberapa bulan jadi orang rumahan, tapi itu waktu Arif/Sofi bayi. Taulah kalo ngurus bayi, pagi sampe malem rasanya sibuk terus.

Yup.. sekarang masih mending saya mau nulis juga walau ngacaprak begini..

Rindu hari kerja, saat saya merasa dikejar waktu.
Mengejar deadline yang dibuat sendiri kok ya rasanya kurang greget....

(halah. deadline?? nyontek istilah siapa lagi tuh??)

***

Rabu, 18 November 2009

maaf

***
Agak susah untuk menulis karena banyaaaaaaaaaaaaaaaaak yang mesti diprioritaskan,
ternyata .. saya sibuk ...

***

Jumat, 06 November 2009

mual muntah pada ibu (tidak hamil)

***
"Nay, saya mual-mual Nay..."
"Waaaah... Teteeeeehhh..... selamaaaat!!"
"Diem Nay... saya serius !! mual banget.."

Saya pun langsung lari ke toilet apotek yang agak jauh di belakang...
memuntahkan seluruh makanan yang baru beberapa suap saya telan.

Pucat pasi saya kembali ke ruang racik.
Inay, apoteker magang yang siang itu menemani saya jaga, menatap saya penuh tanya.

"Kayaknya... gara-gara bekel makan saya nih Nay..."
kata saya, mencoba menjawab tatapan Inay sekaligus menepis dugaan dia bahwa saya hamil.

Syukurlah siang itu ada Inay. Kalau enggak, maka saya akan muntah-muntah di depan para pelanggan apotek.
Enam kali saya bolak-balik ke toilet memuntahkan segala yang masih ada di lambung, sampai ke dasar-dasarnya.
Tiap Inay bertanya sesuatu, saya muntah. Tiap saya berdiri, saya muntah. Saya ingat terakhir saya mual muntah begini sewaktu hamil Arif. Sepulang dari bimbingan tugas akhir saat draft saya diobrak-abrik oleh Pak Charles alm. Syukurlah saya gak muntah di ruangan beliau saat itu. (Hati-hati untuk para dosen yang punya mahasiswi bimbingan tengah hamil muda, salah omong bisa jadi anda dimuntahi).

Di ruang dokter gigi apotek siang itu saya terkapar, menyesali apa yang telah saya makan, seraya berpikir bagaimana cara saya pulang, karena metoklopramid yang saya minum pun termuntahkan kembali.

Emang salah makan apa Ier?

Dasar ibu-ibu ya... perutnya emang udah biasa jadi tong sampah. Sejak Arif Sofi makan makanan padat, makanan mereka seringkali mampir di perut saya kalau tidak habis. Sampai sekarang.

Pada hari naas itu, pagi-pagi, di rumah saya menggoreng nasi tanakan kemarin, untuk sarapan suami dan anak-anak.
Enak, alhamduliLlah.. tapi saking riweuhnya saya sendiri hanya makan sesuap dua suap.
Sisa nasi goreng yang masih ada di katel saya bawa dengan niat dimakan di apotek. Sedikit lagi sih, tapi sayang kalau dibuang.

Ternyata kelupaan. Setibanya di apotek saya malah asyik ngurus segala faktur, orderan, dan utang piutang. Si Nasi Goreng tak berdaya.. nyungsep di dalam mobil yang semakin siang semakin tinggi suhu ruangnya.

Saya mulai lapar jam 10.30.
Ingat nasi yang lupa saya turunkan dari mobil.
Hmmm... saya buka tutup rantangnya dan gak saya hiraukan 'wangi' nasi yang menyeruak gak karuan, secara saya lapar sekali saat itu.

"Makan Nay"
"Iya Teh"

Cuma basa-basi seperti biasanya, karena saya tau Inay gak akan ikut makan bekel saya.

Hup.. hap... hup... hap.... serasa makan nasi goreng, padahal di dalamnya sudah muncul berbagai mikroorganisme. Sehingga memang saya benar-benar makan nasi 'goreng'....

Syukurlah Allah masih memberi saya autoimun sehingga ketika ada makhluk asing mampir di tubuh saya, saya langsung menolaknya. Muntah.
Biarlah.. mending muntah ini tak usah saya hentikan, biar semuanya racunnya keluar.
Kecemasan pada suami dan anak-anakku pun langsung muncul.

Sembari menahan mual, saya nelpon mamah, tanya kabar Sofi, apa dia baik-baik saja, karena tadi pagi kan dia makan nasi yang sama dengan yang saya makan.
AlhamduliLlah Sofi baik. Anak dan suamiku memang makannya tadi pagi, saat nasi masih fresh from katel. Mamahku jadi cemas karena saya lapor kalau saya muntah-muntah di apotek dan belom bisa pulang.

Giliran nelpon suamiku...
AlhamduliLlah suamiku baik-baik juga. Dan suamiku jadi ikutan khawatir mendengar lemahnya suara saya di telepon.

Demi mendengar kabar anak dan suamiku baik-baik saja (semoga Arif juga.. setidaknya gak ada telpon dari gurunya), mual saya berkurang. Kalau saja anak dan suamiku bermasalah dengan perutnya, betapa merasa bersalahnya saya.

Muntah yang ke enam kali, saya mulai khawatir pada diri sendiri. Takut mesti masuk rumah sakit untuk diinfus karena minum pun airnya termuntahkan kembali.
Sudahlah.. saya tenggak sebutir deminhidrinat dan langsung pamit pada Inay, pulang duluan. BismiLlah... kalo mual lagi paling berenti pinggir selokan...

Saya sampai ke rumah mamah dengan selamat dan Arif pun udah pulang. Dia oke.
Arif Sofi ribut bertanya "Umi kenapa.. Umi kenapa"
Saya jawab sekenanya.

Efek dari dimenhidrinat, saya gak muntah lagi... tapi ngantuk luar biasa.
Saya terkapar di kamar dan tidur. Sebelumnya saya bilang dulu ke mamah biar anak-anak gak usah mandi sore aja... Saya suka merasa bersalah kalau anak-anak dimandiin neneknya sementara saya 'cuma' tiduran.

Saya terbangun setelah beberapa menit terlelap. Kali ini karena sakit perut.
Walhasil... diare... empat kali bolak-balik ke belakang.
Fuhhhhh....rasanya hari itu saya turun berat badan berkilo-kilo.

Bada maghrib saya baru bisa merasakan lapar lagi, dan memakan biskuit sambil menunggu suami menjemput. AlhamduliLlah setelah itu sembuh.

Makanan memang selain musti halal... juga mesti thayyib. Penyakit juga biasanya kan berawal dari mulut. Kalo gak salah makan, ya salah omong.



Dan baru kemarin pula saya nelpon seorang teman, ibu-ibu juga.
Telpon saya disambut dengan suara lemah. Ternyata dia sedang diare parah. Gara-gara makan keju jamuran.

Punya keju di kulkas, jamuran.
Dia potong bagian jamurnya, dan disimpan lagi di kulkas.
Jamuran, potong lagi... simpan lagi...
Sampai dia berpikir.. kenapa gak dimakan aja.

Hap... haaaa... si kuman rasa keju terjun bebas ke lambung dan ususnya.

Akhirnya obat juga yang turun tangan setelah diarenya gak sembuh sampai dua hari.
Dibom dengan metronidazol+sulfametoksazol+trimetoprim... barulah si kuman mati.



Makanya Ibu-ibu... kalo sayang sama makanan jangan kelewatan ya....
mending makanan basi mah dijadikan sedekah buat cacing tanah atau kucing setempat. Itupun kalo kucingnya mau.

***