Jumat, 16 Agustus 2013

Kelahiran Anto dan Sarah

***
Akhirnya hari kelahiran itu berlalu sudah...

Segala puji bagi Allah yang telah mengatur segalanya dengan kesempurnaan rencanaNya.
Skenario kelahiran Anto dan Sarah yang telah saya tunggu 'naskah'nya, kini sudah dimainkan dengan berbagai suka dan dukanya.

Siapa sangka tanggal 29 Juli 2013 adalah hari kelahiran mereka. Saat saya selalu bilang ke orang-orang, insyaa Allah akhir agustus atau awal september, dengan perasaan yang tidak yakin.
Feeling saya... lebih cepat dari itu. Jauh lebih cepat. Tapi saya gak berani bilang.
Saya hanya merasakan mulas yang sering itu... yang berdasarkan pengalaman, itu pertanda sebentar lagi si bayi akan lahir.

Saya sudah mulai membatasi diri. Tidak berani melakukan gerakan 'macam-macam' kecual amat sangat terpaksa, dan setelah saya luruskan niat bahwa aktivitas saya itu insyaa Allah dalam rangka melaksanakan amanah atau kewajiban, agar kalau ada apa-apa pada janin ini, saya siap dengan pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

Senin 29 Juli 2013 itu adalah jadwal praktek dr. Delle di RSAI. Saya memutuskan untuk segera kontrol, diantar suami. Cukup didrop saja di sana, pulangnya entahlah gimana nanti. Suami kan harus ke kantor. Yang jelas saya merasa gak sanggup nyetir sendiri.
Mamah dan Bapak yang tau saya akan kontrol, menanyakan rencana saya hari itu. AlhamduliLlah katanya bapak siap menjemput saya kalau sudah selesai saya periksa. Ya mungkin sekitar jam 10 pagi.

Setelah anak-anak berangkat dijemput oleh jemputan sekolah, saya dan suami pun berangkat. Rencananya hari itu sampai hari Rabu saya akan menginap di mamah.
Jam 7 saya tiba di RSAI dan segera ke tempat pendaftaran. Suami berangkat ke kantor.
Di pendaftaran saya menunggu agak lama juga. Ngobrol sama ibu-ibu, alhamduliLlah dapet do'a.
Seneng banget saya kalau ada yang mendo'akan.

Setelah pendaftaran selesai, saya segera ke ruang praktek dokter, untuk tensi, timbang, dan anamnesa oleh bidan. Ya saya bilang aja kalau saya sering mulas. Saya dapat nomor urut 5. Mungkin sekitar jam 9.15 an kalau dokternya datang tepat waktu.

Karena belum sarapan saya ke kantin dulu. Makan dulu bekal dari rumah seadanya, terus nunggu di depan ruang dokter. Sambil dengar radio, dengar murattal, ngetwit, sms, chat dengan beberapa teman biar waktu segera berlalu.
Jam 9.30 dokter belum juga datang. Keburu mamah yang datang. Karena tau dokternya belum ada, bapak pulang dulu.
Akhirnya dokter datang sekitar jam 10an. USG... letak kepala kepala (di bawah), dan katanya berat janin sekitar 1,9 kg dan 1,8 kg. Lumayan juga ya? AlhamduliLlah.
Perkiraan lahir akhir agustus... bla ..bla...
Saya bilang... Dok, ini kok saya udah sering mulas ya?
Dokternya kaget juga saya bilang gitu. Akhirnya beliau menyuruh saya minum banyak, dan nanti setelah kebelet pipis saya akan diUSG lagi.

Prosedur dijalani, dan kini tampak lebih jelas kalau kepala bayi memang sudah turun banget.
Lanjut periksa dalam.... huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...... pemeriksaan yang paling menakutkan di dunia ini adalah periksa bukaan.
Tarik nafaaaaas... bless... sret....
Keputihan ya Bu? Sekalian diperiksa saja ya....
Dan papsmearlah saya (kayaknya) soalnya ada alat yang masuk.... Tarik nafaaaas... sret....
Kuncinya memang harus rileks, dan itu sulit sekali. Membayangkan yang indah-indah pun nyaris tidak berhasil. Berhasilnya ya cuma kontrol diri aja. Memerintahkan tubuh untuk rileks sambil memohon pertolongan Allah. Huhu.

Gimana Dok?
Bukaan empat Bu....

Ha? SubhanaLlah....
Terbayang sudah bahwa saya harus melahirkan hari ini.

Dokter menjelaskan panjang lebar bahwa, saya bisa saja diberi obat penahan agar tidak segera lahiran, kemudian saya bedrest total.
Tapi,..... ada tapi nya.... tapiii kekuatan obat ini bisa jadi kalah oleh kekuatan dorongan bayi, sehingga dokter menyarankan saya untuk dirawat. Tidak pulang ke rumah. Agar kalau memang si bayi mau lahir, saya segera tertolong.

Okayyy akhirnya saya telpon suami. Kebetulan bapakku sudah datang (ceritanya kan mau jemput tea). Suami menyuruh saya segera ambil ruangan saja. VIP.
Ternyata VIP penuh... ya tak apalah turun kelas juga. Yang penting saya segera dirawat.
Nyari ruangan juga ternyata lumayan sulit karena penuhnya RS.

Suami pun datang dari kantor. Kami dipanggil lagi oleh dokter Delle.
Dokter bilang kalau dia sudah memikirkan si bayi bila mereka takdirnya lahir hari ini.
“Ruang NICU di sini penuh Pak... sementara kalau bayi lahir, harus segera masuk NICU. Saran saya, bapak segera cari RS lain yang NICU nya kosong”

Singkat cerita, Limijati, deal.

Setelah mendapat infusan obat penahan kontraksi rahim, saya dilarikan ke RSIA Limijati menggunakan ambulans, ditemani mamah dan seorang perawat. Suami pakai mobil sendiri. Bapak.. kayaknya pulang dulu.
Hoho.. ternyata begini rasanya naik ambulans. Di dalamnya sempit, dan saya harus tidur terlentang. Kepala sampai pinggang hanya bisa naik sedikit, sementara saya sebenernya pengen duduk. Eungap sodara-sodara. Mana panas lagih.
Kepikir juga sih untuk ngetwit kalo gw lagi di ambulans, plus foto-foto. Tapi kasian Anto dan Sarah, punya ummi lebay. Niat itupun saya urungkan.
Itu sekitar jam 14 siang. Saya sempat sholat zhuhur sambil berbaring di ranjang pasien bersalin RSAI tadi.

Nyampe Limijati saya dibawa ke ruang bersalin dan dicek detak jantung bayi. Disuruh terlentang lagi... eungap lagi... mana detak jantungnya susah dapetnya. Dapet jantung bayi satu, yang bayi dua ngilang. Dapet detak bayi dua, yang satu ngilang. Setengah jam disuruh berbaring diam dan memijit tombol bila bayi bergerak itu adalah pegal, jendral!

Suami ke sana kemari ngurus administrasi.

Jam 16.00, senin sore, jadwal praktek dokter Anita. Saya dibawa dengan kursi roda ke ruang praktek beliau di lantai satu. Tempat saya melalui masa-masa indah kehamilan, periksa di sana.
Saya langsung ditongkrongkan (halah istilahnya nongkrong banget), tepat di depan pintu kamar praktek beliau. Nunggu pasien sebelumnya keluar.

Kemudian saya pun masuk, dan seperti biasa, diUSG.
Posisi melintang sungsang katanya, sementara mulas saya berlanjut.
Dokter memaparkan kemungkinan-kemungkinannya.
Opsi satu, diberi obat penahan, tapi bisa jadi dorongan bayi lebih kuat.
Opsi dua, lahir normal dengan resiko keluarnya bukan kepala duluan.
Opsi tiga, sesar.

Dari tiga opsi, saya terlebih dahulu menyerahkan pilihan pada dokter Anita.
Dokternya bilang sambil ketawa, kalo ditanya gitu, semua dokter kandungan pengennya milih sesar.
Semua terserah ibu dan bapak, dia bilang gitu.

Oke .. akhirnya saya milih sesar, dan suami pun mengangguk. Resikonya tinggi kalau kami pilih lahir normal.
Saya tanya, kalau sesar, kapan? Harus nunggu apa?

Sesar? Ya sekarang, katanya... nanti jam setengah tujuh (malam), ralatnya kemudian.
Kami cuma mengangguk-angguk sambil berseru trilililili lilili... eh...
Ya gitu lah bengong teu puguh. Hampir tidak percaya kalau sebentar lagi Anto dan Sarah akan lahir.

Di tengah kebengongan dokter bertanya apa sekalian saya mau 'diikat' agar steril?
Steril? Hiyy...masa iya saya akan mengakhiri 'kesuburan' saya hari ini? Meski untuk nambah anak lagi, wallahu a'lam, agak-agak gak kepikiran. Tapi kalo untuk steril kok rasanya engga ya...
Pun secara hukum fiqh, emang boleh disteril?

Saya melayangkan pandangan ke suami yang masih bengong bengong. “Pap, umi disteril?”
Suami saya langsung menggelengkan kepala. Enggak.. enggak.. katanya.

Deal, sesar.
Sesar saja, tanpa disteril.

Rangkaian operasi pun akan segera dimulai.
Saya minta izin dulu kepada dokter anestesi agar saya bisa melaksanakan sholat maghrib dan isya (dijama') Tentu saja tidak dengan tarawih. Barangkali itu sholat terkhusyuk yang pernah saya lakukan. Dalam keadaan terbaring sambil berurai air mata. Memohon dengan sangat agar saya diberi kekuatan, kelancaran, kesehatan, sekaligus mohon ampun karena bisa jadi proses melahirkan ini jadi jalan saya menuju kematian... hik.

Selesai sholat saya bilang ke suster yang sedang ngobrol di balik tirai yang menutupi bed tempat saya berbaring. Oke.. saya siap.
Bed tersebut kemudian didorong oleh perawat ke kamar operasi.
Saya cium dulu tangan suami. Dan suami pun mencium bibir saya. -eh sensor-

Mendadak saya ingat adegan di film/sinetron, saat kamera menyorot lampu-lampu di atas kamar operasi yang berjalan mundur karena saya didorong maju melalui pintu kamar yang kiri kanannya dibuka oleh orang-orang yang berpakaian pembedah,lengkap dengan masker dan tutup kepala. Mungkin ada sekitar 7 orang di sana, laki-laki dan perempuan.
Terdengar suara musik, lagu indonesia ..entah dari band apa di ruang operasi itu yang membuat suasana nyantei. Cuma saya takut juga sih, takut jadi kurang dzikir. Jadinya istigfar istigfar sendiri. Ya daripada nyetel lagu opick.. bila waktu tlah berakhir... kayaknya malah bikin saya stress. Hehe.

Dokter anestesi pun beraksi dengan menyuntikkan sesuatu di tulang belakang saya. Posisi saya bersila sambil membungkuk. Tarik nafas.... dan sakitttt... tapi setelah itu saya perlahan mati rasa plus ngantuk luar biasa. Dan saya pun dibaringkan.

Bukan bius total. Sebagian aja. Tirai dipasang antara dada dan perut saya sehingga saya tidak bisa melihat daerah operasi.
Saya pun teler. Kadang bangun. Kadang tidur. Di sebelah saya dokter anestesi. Yang ternyata adalah bapaknya teman suami saya. Dan asistennya dokter Anita yang mengoperasi saya, juga SpOG, ternyata adalah teman suami saya. Mana cowo lagi. Haduhh..-istighfar- :-/ Entah berapa orang laki-laki di ruangan itu. Semua di luar kuasa saya untuk mengaturnya.

Akhirnya terdengar suara tangis bayi. Gak berapa lama kemudian bayi itu disodorkan ke kanan saya. "Ibu, ini bayinya yang pertama",... saya bilang "Ya, alhamduliLlah". Udah gitu saya pingsan lagi.
"Ibu, ini bayinya yang kedua". Kali ini datang dari arah kiri... Saya bilang lagi "Ya, alhamduliLLah", dan pingsan lagi.
Saya kembali sadar saat ada yang membuka tirai .. "Selamat ibu, sudah selesaaai...".
Kemudian saya pingsan lagi.

Saya sadar dalam keadaan dingin. Kedinginan yang sangat. Ada suami saya di sebelah. Saya diselimuti. Menggigil beberapa menit, tapi kemudian hangat.

Setelah itu saya ambil hp, atau entah gimana itu pokoknya sudah ada hp di tangan saya. Mengabari beberapa sahabat dekat bahwa saya sudah lahiran. Ada yang nelpon, tapi saya jawab dengan nada sempoyongan. Saya belum sadar benar sebetulnya, tapi ingin sekali mengabari sahabat sahabat saya yang sudah mensupport saya selama hamil :)

Entahlah itu jam berapa...
Segalanya berlalu seperti mimpi. Meraba perut, sudah kempes. Anto dan Sarah telah lahir ke dunia.
AlhamduliLlah..
Petualangan Anto dan Sarah pun dimulai ...
BismiLlaah...


(Aduh, kaku banget gw nulis ya. Biarlah. Daripada hilang...)
***