Senin, 27 Desember 2010

hidup adalah pilihan (4)

***
Sedang berpikir, adakah orang yang benar-benar bahagia hari ini karena ridho-Nya?
Allah yang memberikan ketenangan hati pada orang itu karena dia telah melakukan hal-hal yang Allah suka? Ada? Pasti ada, dan berbahagialah dia, karena itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Bukan bahagia yang datang dari makhluk, yang dalam hitungan detik makhluk itu bisa berubah menjadi beringas dan balik menerkam.

Hari ini saya menyaksikan orang-orang yang teramat sedih. Orang lain. Bukan saya. Saya cuma ikut sedih.
Ingin membahagiakan mereka, tapi hanya Allah tampaknya yang dapat membuat hati mereka bahagia.
Tersadar atas segala kesalahan itu, menapaki jalan yang benar itu, hanya bergantung pada Allah yang tak tampak mata itu, memang berat, bikin sedih dan ragu, tapi menuai kebahagiaan yang hakiki bila dijalani.
Dan memilih jalan yang salah itu, hanya bergantung pada makhluk itu, ringan, membuat senang sesaat, tapi diakhiri dengan kesulitan yang tak tertanggungkan. Bisa jadi di dunia. Tunai.

Allah, aku yakin diri Mu Maha Adil. Berilah kebahagiaan pada orang-orang yang kembali pada-Mu. Orang-orang yang kembali meyakini bahwa bahagia hanya dari Mu. Dan orang-orang yang menyadari bahwa ketenangan hati itu tidak berasal dari makhluk-Mu.

Cintai orang-orang yang saling mencintai karena-Mu. Sayangi suami istri yang saling menyayangi karena-Mu, yang berusaha dekat dengan-Mu, suami istri yang tidak hanya memikirkan kebahagiaan pribadi, tapi juga manusia yang lain. Bahagiakan mereka hari ini hingga akhir hayatnya.

Kalaupun mereka sedang didera kesulitan, kumohon berilah mereka sekedar setetes embun syurga-Mu pada hatinya. Agar mereka sadar, kesulitan mereka saat ini, bila mereka sabar, akan berbalas dengan syurga-Mu yang indahnya tak terperi.

Amiiin.

Bandung, 21 Muharram 1432
Untuk kalian yang saya sayangi,
semoga Allah membuat hati kita secerah pagi ini.


*****

Jumat, 24 Desember 2010

hidup adalah pilihan (3)

***
Tulisan sebelumnya: hidup adalah pilihan, hidup adalah pilihan (2)

Kebetulan... atau takdir? Garis hidup saya...apapun...
Bahwa saya punya banyak teman-teman perempuan yang cerdas, berprestasi, juga cantik-cantik. Bukan sulap bukan sombong. Tentu saja kebanyakan bersumber dari sebuah SMA favorit di Bandung. Aheuy!

Dengan mereka saat ini saya masih tetap kontak, tentu saja lewat jejaring sosial facebook.
Cukup banyak di antara mereka yang kini memilih jadi ibu rumah tangga saja. Status FBnya sederhana, notenya selalu tentang anak dan rumah tangga. Kalaupun bekerja, mereka malah bekerja yang tidak sesuai bidang keahliannya (kuliahnya).
Ada pula yang bekerja di tempat yang tidak memerlukan data IPK. Sementara mereka lulus cumlaude dari perguruan tinggi dan jurusan ternama.

Kenapa ya?

Saya memilih jadi ibu rumah tangga, bisa jadi karena tidak punya pilihan lain. IPK pas-pasan, kemampuan bahasa inggris cuma sebatas yes or no, dan fisik yang bukan sulap bukan sombong tapi ya begitulah.
Lha mereka? Setau saya mereka selalu saja mendapatkan decak kagum dari orang-orang di sekitar. Sudah cantik, baik, .. pinter pula!
Mun saya siga kitu, geus kamanaaa meureun nyak? Ngapung ka langit teu balik deui.

Saya yakin sih.. kalau mereka, atas izin-Nya, akan mudah mencari kerja apapun dan di manapun yang mereka mau. Barangkali dengan gaji besar dan fasilitas yang lebih dari cukup.
Tapi kenapa mereka memilih diam di rumah mengurusi anak-anaknya?

Sekali lagi hidup memang penuh dengan pilihan. Mereka telah memilih. Biarlah.

Sekarang urusi saja saya.
Kenapa saya di rumah? Kenapa saya bekerja? Hayoh! Jawab!

-mikir dulu-

Tiap kali ada tawaran pekerjaan, entah itu secara langsung, ataupun info yang saya baca. Saya selalu berpikir, andai saya punya suami yang tidak bekerja, atau bekerja dengan gaji yang tidak memadai, atau kehilangan suami (TIDAAAAAKKKKK!!! *histeris*) barangkali saya akan ambil pekerjaan ini. Atau pekerjaan apapun asal halal.

Bukan apa-apa, bukan sulap bukan sombong, tapi saya cuma inget anak aja.
Gak ada yang lebih pedih selain melihat anak sendiri tak terpenuhi kebutuhan primernya. Dan tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat anak tersenyum memperoleh apa yang mereka mau.

Bagi seorang ibu bekerja, hampir selalu ada yang jadi korban. Mungkin itu anak, suami, orang tua, tetangga, atau perasaannya sendiri.
Bekerja di sini dalam arti dia menjadi seorang pegawai, ataupun bos, yang punya komitmen bekerja sejak pagi hingga sore hari.
Nah, bila ada pekerjaan itu, tinggal kita hitung materi vs immateri. Sebandingkah? Worthedkah?

Saya, dengan kemampuan saya miliki dan tawaran kerja yang saya pikir saya suka dan mampu, dengan mantap saya jawab, T I D A K.
Sampai saat ini saya belum menemukan pekerjaan yang bila saya harus mengorbankan anak-anak, saya dapat gaji yang setimpal.
Barangkali itu ya yang membuat saya memilih di rumah saat ini.
(Kepada para pengikut MLM, mohon tidak menanggapi hal ini secara berlebihan. Irma tidak suka mencari downline, presentasi kesana kemari, ataupun ikut training rutin. Hahaha).

Ier di rumah aja gitu? Bukannya sering kelayapan? -hehe tau aje.

Hoho... oke oke.. kadang saya bekerja juga. Ya itu mah hatur lumayan we buat ngongkosin facial dan creambath biar gak minta sama suami.. wkwkwk.
Bukan berarti gak serius lho... kalo kerja apa-apa saya mah suka all out daaa...
dan saya pasti suka dengan pekerjaan saya itu.
Kalau gak suka mana mungkin saya kerjain.
Irma gitu lo... tidak akan pernah mau berada di bawah tekanan dan paksaan orang lain.

Jadiiii.... ya sementara ini masih begitu itu pilihan hidup saya. Perenungan sesaat lah ini mah.
Gak tau tuh yang lain. Biarin aja, da bukan urusan saya inih.

***

Jumat, 03 Desember 2010

hidup adalah pilihan (2)

Tulisan sebelumnya: hidup adalah pilihan

*dengan backsound Iwan Fals : "jangan pernah memilih.... aku bukan pilihan... aku lelaki bukan tuk dipilih... "

Hahaha... kenapa harus lagu ini yang diputar di Delta FM, saat saya menulis dengan tema Hidup adalah Pilihan?

OOT, Delta adalah stasiun radio pilihan saya terutama sejak jam 5 pagi sampai jam 12 siang. Ya barangkali stasiun itu pas aja dengan usia saya yang sudah kepala tiga, plus gak sholeh-sholeh teuing, jadinya gak manteng di radio Islami.
Juga terutama karena ada Farhan, Shahnaz Haq, dan Gilang Pambudi yang cerdas tapi lucu. Lucunya gak garing, gak alay. walau yeahhh.. ada juga ngeresnya.. Heuheu.. Bagian ngeresnya mah saya senyum-senyum aja. Ngarti. Udah nikah ini. Suami juga ada setiap malam. Gak penasaran. Dan jam segitu aman, gak ada Arif Sofi di rumah, jadi gak ikut denger.

Sedang ada di tengah pikiran yang pabaliut. Pikiran yang datang dengan sendirinya, yang barangkali diinisiasi oleh curhat telpon seorang sahabat tadi pagi sampai chat di siang bolong ini. Jadi aja pikiran saya ke mana-mana.

Kadang heran, kenapa saya tidak seperti teman-teman yang masalahnya berat-berat.
Orang tua cerai, bertengkar dengan suami, suami kurang ajarrrr @#$%!!!, punya anak nakal, susah jodoh, ditinggal kawin, dililit utang puluhan juta....
Apakah itu akibat dari pilihan mereka sendiri? Mereka salah pilih? Salah memutuskan? Sementara pilihan saya semua benar?

Saya seringkali pusing bila diajak diskusi dan mengkaji bagaimana peran kuasanya Allah dalam hidup kita. Muntah dah kalo udah harus berfikir sufistik.

Seperti Arif yang pernah bertanya,
kenapa seseorang yang dia sayangi, belum masuk Islam.
Saya bilang, beliau belum diberi hidayah sama Allah.

Hidayah itu apa? tanya Arif lagi.
Hidayah itu kemampuan orang buat mikir mana yang benar, terus mau melakukannya.

Jadi.. sebenernya kita yang mikir atau Allah yang mikir? Arif mencecar.
Kita yang mikir, berusaha belajar,... dan masalah jadi tau atau tidak, jadi benar atau tidak, itu Allah yang menentukan..

Halaaaaaaah... ngarti nteu nya si Arif? Dia gak nanya lagi sih.

Tapi memang pertanyaan terakhir dari Arif bener-bener dalem. Apakah kita yang memilih? Atau menunggu untuk dipilihkan? Hmmmmmmmm.... hm yang panjang, teman. Pertanda mikirnya gak bisa asal.

Bukan kapasitas blog saya untuk membahas hal ini, bisi blognya error siga kamari-kamari. Mangga direnungkan dan dikaji masing-masing saja ya.

Yang jelas, bila saya diberi-Nya damai dan penuh cinta, adalah tugas saya untuk membagi kedamaian ini pada yang lain. Adalah kewajiban saya untuk bersyukur. Kewajiban saya untuk segala yang baik ini membawa kebaikan bagi semua. Dan itu adalah sinyal bahwa saya harus memikirkan dan melakukan hal-hal lain yang bermanfaat, yang tidak sempat terpikirkan oleh kebanyakan orang 'bermasalah', yang memikirkan diri sendiri saja sudah pusing tujuh keliling, boro-boro mikirin kemaslahatan umat.

Tentu saja bukan saya tak punya masalah. Toh mata saya juga sering mengeluarkan air mata. Tapi terasa bahwa masalah saya tak ada artinya dibanding masalah teman-teman semua. Atau saya memang tipikal orang sunda asli yang tidak suka tantangan dan mudah sekali bersyukur? Hehe.. itu mah kata teman saya yang orang Arab tulen.. (peace, Nay!) :P

Yu lah kalau mau bersenang-senang mah sama saya saja yu.
I'm easy like sunday morning... wow wow woooow....

Ya Allah, semoga orang 'tanpa masalah' seperti hamba ini tidak berarti hamba tak layak masuk syurga-Mu...
Haruskah saya cari masalah biar dapat soal ujian, terus dapat nilai tinggi dan masuk syurga? Enggak kan ya....
Toh sekali lagi, hidup adalah pilihan, sehingga setiap waktu pun saya sebetulnya sedang mengerjakan soal pilihan ganda itu. Bisa jadi gak kerasa sebagai ujian karena gue kaga' mikir... hahahah..

Biar saya kutip aja komen seorang teman saya, Tri Astuti, di status saya beberapa waktu lalu:

Irma mintalah pada Allah untuk dikuatkan pundakmu untuk menghadapi segala masalah. Karena masalah adalah sarapan buat orang biar tambah hebat. Kalo masalahnya ringan2 aja gak seru..Tenang aja dunia ini cuma permainan dan senda gurau saja.

Two thumbs up buat Astut... gak heran kalau kamu jadi pengusaha sukses seperti sekarang
***

Kamis, 02 Desember 2010

hidup adalah pilihan

***
Kenapa saya memutuskan detik ini menulis? Karena saya memilih untuk menulis. Duduk manis di depan laptop, dan memutuskan untuk menunda saja pekerjaan menyapu dan mengepel. Bahkan mestinya saya memasak, saudara! Tapi ya begitulah. Hati dan pikiran saya sedang ingin menulis, dan tampaknya perlu segera disalurkan.

Resikonya saya tau, setelah saya posting blog, saya tidak bisa tidur siang. Saya harus .. minimal masak. Nyapu ngepel mah keun we sakasampeurna. Ngeres saeutik mah teu nanaon lah, asal ulah ngeres hate.

Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya.
Setiap kita memutuskan sebuah pilihan, maka kita harus sadar apa akibatnya.
Dari hal-hal kecil seperti milih baju yang akan dipakai, sampai hal besar seperti memutuskan untuk menerima seorang lelaki sebagai pendamping hidup kita.

Memilih bisa jadi bukan suatu proses yang rumit, ketika kita sudah punya pendirian, sudah mengenali diri, dan sudah memiliki pola pikir yang jelas.
Contohnya saja dalam hal memilih kerudung di toko. Dari sekian banyak model, ada yang dengan begitu saja tidak kita lihat lagi. Paling pada akhirnya tinggal 2 atau 3 model pilihan yang salah satunya kita putuskan untuk membelinya.
Itu karena kita sudah mengenali diri, bahwa kita tidak akan pantas memakai kerudung yang di rak sana dan rak sana. Saya cocoknya pake kerudung yang di rak ini saja.

Bukan sesuatu yang rumit untuk menyisihkan sesuatu yang memang kita tahu tak pantas untuk kita.

Sekolah lagi Ier?
Kalo ditanya kayak gitu... saya langsung bilang TIDAK.
Kenapa?
Ya saya tau diri.. heheh.

Entah karena hidup saya yang memang diberi-Nya damai tanpa gejolak yang berarti, atau karena saya memang sudah kenal diri, sehingga saya jarang sekali dihadapkan pada pilihan yang sulit. Begitu mudah untuk memutuskan sesuatu berdasarkan apa yang saya faham. Atau bisa jadi karena pilihan yang tersodor memang bukan suatu bandingan. Rasanya tidak sesulit pilihan ganda, tapi hanya soal benar atau salah saja, (yang belum tentu juga lebih mudah ya?)

Dan memang dengan adanya suami, proses memilih inipun jadi lebih mudah lagi. Seperti halnya soal ujian yang dikerjakan bareng, pasti jauh lebih mudah dan tenang daripada dikerjakan sendiri.
Enaknya istri kan begini... tinggal tanya suami, kemudian pasrah dan nurut saja dengan jawabannya, maka pahala berlipatlah hadiahnya buat kita.

Hihi.. iya ya, dipikir-pikir sering banget saya tanya suami,
"Pah.. boleh gak?"
"Pah.. kata papah mending gimana?"

Udah gitu saya tinggal diem.. suami yang berpikir keras, dan mengeluarkan jawaban, terus saya nurut. Asiknya :))

Begini barangkali ya enaknya punya suami yang bisa kita percaya lahir dan batinnya. *Gak nyesel memutuskan memilih dia.. gyahaha... alhamduliLlah.. :)

Dalam hal pilihan ini, saya berharap semoga saya tidak pernah dihadapkan pada pilihan sulit hingga tak ada lagi yang bisa saya pilih kecuali berbuat dosa.
Hikkkkksss... mestinya tak ada pilihan seperti itu, karena mestinya saya memilih mati ya daripada menentang-Nya? Toh mati pun adalah pilihan.

Kalau saya mati karena rindu gimana?
Halaaaaaaaaaaaaaaaaaaah.... hahaha...
dangdut eta mah..wew

***