Selasa, 02 Agustus 2011

Mata Anakku Minus Enam ???!!!! (Part I)

***
Tulisan ini saya terbitkan di kompasiana, jadi bahasanya agak laen.. xixixi...

Sudah cukup lama sebetulnya saya berniat membawa anak saya Arif (9th) ke dokter spesialis mata. Dasar pemikirannya hanya karena saya sendiri penderita rabun jauh, begitu pula dengan suami. Saya minus sepuluh loh, berlensa kontak, dan suamiku minus tiga berkacamata. Kami sama-sama mengenakan kacamata sejak SD.

Dari informasi sekilas yang saya dapat, mata minus itu bisa menurun ke anak. Makanya saya udah niat aja bawa Arif ke dokter mata, ada keluhan ataupun tidak.

Tapi niat tinggallah niat. Selalu saja saya urungkan, karena memang Arif tidak mengeluh apa-apa. Tak ada yang aneh, tak ada pula laporan dari gurunya. Prestasi di sekolah pun bagus.
Hanya saja waktu Arif liburan kemarin, dia banyak maen game di laptop, dan jarak antara matanya dengan laptop menurut saya terlalu dekat. Begitu pula menonton TV. Berkali-kali saya menyuruhnya untuk mundur, tapi dia maju lagi maju lagi. Posisi saat dia membaca buku pun begitu. Terlalu dekat.
Yang membuat saya tidak terlalu risau adalah karena saat dia menjauh pun, dia masih tampak bisa melihat/ membaca.

Barulah tadi siang saya membawa dia ke dokter spesialis mata. Kebetulan sekolahnya masih libur. Niatnya ngabuburit sajalah. Sebelumnya cek gigi pula. Gigi oke, alhamduliLlah.

Sesampainya di klinik spesialis mata, tanpa menunggu lama Arif dipanggil untuk duduk di kursi dan melihat slide huruf kapital. Dan kagetlah saya ketika mata kirinya ditutup oleh perawat, dia tidak bisa membaca satu huruf pun, padahal ukurannya udah yang paling gede. Berkali-kali saya berpandangan dengan Sofi (7th), adiknya Arif. Heran. Kok Mas Arif gak bisa baca sih.
Beberapa lensa dicoba dan dia hanya mencapai kemajuan sampai huruf pertengahan, tidak sampai yang terkecil.

Kemudian pindah tutup mata kanan, mata kiri yang melihat. Yang ini sebentar saja, tampak tak ada masalah berarti.
Kemudian perawat membawanya ke sebuah alat.. emm.. komputer dia bilang (duh.. apa namanya ya?). Arif duduk menempelkan dagu dan keningnya di alat tersebut dan melihat ke sebuah lensa tanpa boleh berkedip. Setelah mata kiri, kemudian mata kanan, dan keluarlah hasilnya berupa print out.

Perawat kembali meminta Arif duduk di kursi tadi. Coba-coba lagi beberapa lensa. Diputar, diganti, dan Arif ditanya. Tetap hasilnya tidak memuaskan.
Perawat pun memanggil saya dan menjelaskan... deg deg deg...

"Ibu, menurut hasil pengukuran komputer, mata Arif ini yang kiri hanya minus 1/4, tapi yang kanan, jauh sekali Bu.. minus 6. Sebentar ya Bu saya panggil dokternya dulu"

Haaa???.. Minus ENAM? Ya Allaaah.. sungguh saya nyesel beribu kali nyesel kenapa saya gak bawa Arif sejak dulu untuk periksa mata.... Dan saya heran kenapa selama ini Arif gak bilang sama saya... pun saya gak melihat gelagat yang terlalu gimanaaa gitu dari Arifnya sendiri. Toh saya kan sering di rumah, dan gerak-gerik Arif cukup teramati oleh saya. Minus ENAM... saya tau seberapa buram itu minus enam. Itu minus saya kelas 3 SMP !!

Dan dokter pun datang.
Beberapa lensa beliau coba lagi di mata kanan. Hasilnya masih kurang memuaskan juga. Sampai pasien di sebelah saya tanya, "Anak ibu udah bisa baca kan Bu?" .. hiks.

Dokter memanggil saya, dan menjelaskan seperti halnya perawat tadi. Dia sama sekali tidak menyalahkan saya. Dia bilang bahwa kasus seperti ini amat besar kemungkinannya untuk terlambat diketahui, karena anak tidak mengeluh, dan orang tua seringkali tidak sadar. Arif selama ini mengandalkan mata kirinya untuk melihat. Tanpa disadari mata kanannya jadi tidak optimal bekerja, sehingga syarafnya melemah. Oow..
Dokter bilang, masih ada waktu 3 tahun lagi (hingga Arif berusia 12 tahun) untuk bisa menguatkan kembali syaraf mata kanannya.
Dokter kemudian memberi Arif obat tetes mata untuk melebarkan pupil (?) -maaf saya tidak yakin kegunaan obat tetes tadi-, dan meminta saya menunggu satu jam untuk kemudian mata Arif dicek kembali di komputer.
Sambil menunggu, saya telpon suami, dan suami menyuruh saya memeriksakan Sofi juga. Khawatir.
AlhamduliLlah setelah dites huruf dan cek komputer, mata Sofi 100% normal. Dokter bilang cek lagi tahun depan. Insyaa Allah..
Saya membawa anak-anak ke dokter mata memang niatnya hanya memeriksakan Arif dulu saja. Feelingnya agak lain soalnya... Dan, saya mau lihat-lihat tarif dulu.. ke spesialis mata berapa sih sekarang. Hehe.

Satu jam kemudian, setelah cek komputer, Arif boleh pulang dan kembali lagi dalam 2 hari. Mudah-mudahan bisa ditentukan ukuran lensa yang pas untuk Arif nanti, dan mudah-mudahan gak sampai 6 lah.
-pengen nawar sama Allah .. huhu..

Sore tadi jadinya saya sediiih.. pisaaaaan.. nyeseeeeel... hik hik.... Plus sedihnya membayangkan Arif nanti harus jomplang kacamatanya. Gak ngerti saya ntar bagusnya gimana. Enam itu kan tebal, sementara seperempat itu tipis. Saya tau lah, saya sendiri sejak SD gitu lo berkacamata, hingga saya pindah ke lensa kontak kelas 2 SMA, saat saya minus 7.

Tapi ya gimana lagi, tetep ada sisi syukurnya sih. Bersyukur karena bagaimanapun Arif masih punya waktu untuk bisa melatih lagi otot syaraf mata kanannya. Bersyukur saya tadi diberi niat dan kekuatan untuk melangkah ke klinik. Bersyukur karena saya dan suami insyaa Allah masih diberi rejeki buat periksa mata anak sekaligus nanti biaya kacamatanya Arif.

Arif tadi tampak sedih juga. Dia menghibur diri dengan bilang "Biarlah, setiap orang kan ada sakitnya ya.."
Mungkin maksud dia, setiap orang punya kelemahan.
Iya bener Rif.

Tinggal saya yang harus menguatkan hati, jangan lebay, jangan sampe memperlihatkan ekspresi bahwa kita sedih kalau anak harus pake kacamata tebal.
Saya merasakan sendiri. Bila ekspresi mamah saya baik-baik saja, maka saya pun akan baik-baik saja. Bila mamah tampak cemas, maka saya akan cemas. Bila mamah tampak bersyukur dan berpikir positif, saya terbantu untuk bisa berpikir demikian.

Saya mesti gitu juga di depan Arif. Everything will be better with your glasses, Son! Mari kita jalani saja tiap episode kehidupan kita. Masih banyak kok ... masih banyak buangetttt yang bisa kita syukuri.
Mata minus bukankah jauhhhhh lebih baik.. jauh sekali lebih baik daripada kehilangan penglihatan sama sekali? Na'udzubillahi min dzalik. Semoga Allah melindungi kita dari cobaan berat yang kita tidak sanggup untuk memikulnya.

Di Part II nanti insyaa Allah akan saya tulis eksekusi dokter atas mata Arif, minus berapakah mata kanan dia sebenarnya.
Saya mohon do'a, mohon share pengalaman, dan mohon saran, barangkali ada yang bisa saya lakukan untuk Arif.

Terimakasih telah membaca artikel ini.
***

Setelah Sebelas Tahun Menikah

***
"Sebelas tahun nikah itu hebat loh!", ujar seorang bujangan kepada kami. Kepada saya dan suami pada hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-11, 30 Juli 2011 sabtu kemarin.

Saya langsung nyaut sambil terheran-heran,"Heh? Hebat ya? Perasaan biasa aja deh"

Suami saya pun bilang dengan gaya bijaknya tea,"Masih banyak yang lebih berprestasi"

Sebelas taun dibilang hebat? Anak masih SD gini, belom jadi apa-apa kalipun. Ya ibu bapak kami lah rasanya yang lebih layak dibilang hebat. Puluhan tahun hidup bersama, dan bisa membesarkan putra-putrinya dengan baik.

Sungguh memang ibu bapak saya dan ibu bapak mertua saya telah memberi contoh yang baik untuk sebuah kehidupan rumah tangga. Sehingga kami putra putrinya bisa meniru mereka dalam gaya saling asah asih dan asuhnya, bahkan meniru gaya 'bertengkar'nya. Bertengkar yang tidak berlebihan, yang kemudian saling mengalah. Bertengkar yang tidak serius. Marah karena sayang, dan untuk kebaikan. Bukan marah untuk melepas ego.

Rasa hati di malam tahun kesebelas, memang tak sama dengan rasa hati di malam pertama. Tak ada lagi desir rasa yang menggebu, tak ada lagi rindu yang membara. Halah. Tapi, apa ya? Sulit diungkapkan rasa hati ini. Hanya tenang, tentram, bahagia..

Suamiku bukanlah lelaki paling ganteng di dunia ini. Paling sholeh ya engga juga. Paling baik, bukan juga. Segala kekurangannya sudah tampak begitu jelas di mata saya, tapi saya suka. Saya tenang bila bersamanya, saya merasa kehilangan jika dia tidak ada, dan saya takut membuatnya marah. Itu saja.

Saya juga gak tau apa yang membuat saya bertahan hidup bersama dengan orang yang sama, tanpa merasa bosan dan tanpa pernah berpikir untuk mencari gantinya. Yang jelas memang karena Allah yang memberi kami ketentraman. Yang bisa saya lakukan untuk meraih barokah-Nya berupa sakinah, mawaddah, wa rahmah memang ada, tapi rasanya masih sedikit juga usaha saya itu. Ini pure bener Allah yang kasih rasa.

Yang keingetan mah, pokonya saya gak boleh ngomongin aib suami di depan orang lain. Sementara ini hal-hal yang bikin saya kesel, biar saya telen sendiri aja bulat-bulat, dan diomongin langsung ke suami. Biar sambil nangis-nangis juga yang penting saya ngomong. Sehingga suami tau apa yang jadi kekesalan saya padanya. Lha kalo kita ngomongnya ke orang, mana suami bisa tau? Minimal tau dulu lah. Ngerti biar belakangan. Hehe.

Duh, sedikit aja saya 'ngejelekin' suami di depan orang lain, sekalipun itu sahabat saya, rasanya kok seperti cakar-cakar muka sendiri. Engga banget gitu loh. Rasanya seluruh dunia ngomong: "kalo suami elu jelek, lantas kenape elu mau sama dia?" Hihi.

Tau engga, kalo dikit-dikit aja kejelekan orang diomongin, rasanya orang itu jadi beneran paling jelek di dunia ini, dan kita adalah orang yang paling menderita karena terzholimi oleh kejelekannya. Sing demi, begitulah.
Ya saya juga kalo kira-kiranya udah parah banget mah, curhat kali sama sahabat. Yang tujuannya untuk cari solusi dan melegakan hati. Bukan asal curhat dan mencari pembenaran untuk diri kita sendiri. Tapi alhamduliLlah sampai saat ini belum ada yang membuat saya nangis-nangis ngaduin suami ke sahabat terdekat saya sekalipun. Berjuta kali hamdalah pokonya.

Usaha saya yang laen adalah menampilkan diri apa adanya di depan suami. Gak jaim, gak sok jadi istri sholehah, tapi gak juga gampangan marah. Pokona mah jamedud ya jamedud, ngakak ya ngakak. Dan ke suami memang harus banyak maklumnya. Toh kita juga bukan cewek yang sempurna.

Bersyukur saya beneran, punya suami botak jenggotan. Pendiem juga. Mana gaulnya cuman di milis, bukan di facebook atao twitter. Rajin ke kantor dan rapat yayasan, bukan ke tempat-tempat makan. Hahahaha.
Eh, jangan ngetawain. Dengan begitu gak banyak cewe yang mau sama dia, yang ada cuma segen campur takut. Jadi kan gue tenang tuh dia takkan nyamber atau disamber! (.... petir kali -_-"). Pokona suami saya teu centil gitu lah. Gak tebar pesona di hadapan publik.

Kepercayaan dari istri/suami di jaman sekarang tu mahal loh. Susah dapetinnya. Orang bisa selingkuh dengan cara bervariasi. Makanya sekalinya saya dipercaya suami, dan suami dipercaya sama saya, rasanya sayang banget kalo kita sampe mengkhianatinya. Jadi salah satu kunci rumah tangga rukun memang salah satunya adalah saling percaya dan saling menjaga kepercayaan. Jangan cemburu berlebihan karena itu akan membuat sebal. Cemburu tanda kita gak percaya diri. Percayalah bahwa pasangan gak akan mengkhianati, dan percaya dirilah bahwa kita layak untuk dicintai. Selebihnya, titipkanlah pasangan kita pada Allah, karena sesungguhnya Dia-lah Yang Menjaganya.

Usaha lainnya lagi adalah dengan tidak membanding-bandingkan. Membandingkan suami dengan lelaki lain, atau membandingkan rumah tangga kita dengan rumah tangga orang lain. Dilarang sirik, dilarang dengki dan iri hati.
Allah menciptakan orang dengan karakter, pesona, dan warna berbeda. Banyak-banyaklah lihat kelebihan suami kita, dan banyak-banyaklah melihat kekurangan lelaki lain. Whahaha.
Pun namanya rumah tangga dan pasangan, punya cara sendiri untuk menikmati kebersamaannya. Kita carilah gaya kita sendiri bagaimana. Sesuaikan dengan karakter dan kantong masing-masing. Kalo suami orang ngajak istrinya jalan-jalan ke singapur, ya kalo suami kita kering kerontang mah ajaklah suami jalan-jalan ke situ aja, ke depan halaman, terus nyapu bareng, cuci mobil bareng. Pasti tetangga kita lihat kalo kita adalah pasangan romantis da. Suer.

Dalam urusan ajak mengajak gini, jangan andelin suami buat ngajak duluan. Kadang suami mah gak kepikiran. Yang kepikiran sama dia bisa jadi cuma tidur ato nonton bola. Kita aja sebagai istri yang duluan ngajak dan berinisiatif dengan hati happy. Kalo suami lihat kita hepi, sumringah, dan bersemangat, pasti dia semangat juga.

Ya wallahu a'lam, kita cuma bisa usaha gitu doang. Tapi dengan niat ikhlas, insyaa Allah, nanti Allah yang akan menurunkan ketenangan itu ke hati kita semua. Semoga saja. Amiin.
***