***
Lebaran usai, dan barangkali hari ini banyak orang tua yang telah berpisah kembali dengan anak cucunya. Pamit pamit peluk cium dan untaian do'a agar perlindungan Allah selalu menaungi. Air mata pun kadang tak luput di sela lambaian tangan perpisahan.
Kini semua kembali pada dunianya, kesehariannya, back to work. Mencoba meninggalkan kesan indah selama mudik, melupakan segala kerinduan yang masih tersisa, dan kini kembali menarik nafas panjang untuk menghadapi realita hidup, juga barangkali.. rutinitas.
Ah, semua itu cuma dalam bayangan saya kok.
Saya yang tak pernah terpisah dengan orang tua. Pun suamiku.
Dari rumah ini, hanya 15 menit naik mobil sendiri, saya sudah bisa sampai di rumah orang tua. Dan hanya 45 menit sudah bisa sampai di rumah mertua.
Belum pernah gak ketemu orang tua lebih dari satu minggu.
Rabu kemarin, waktu saya melepas kepergian adek ipar di bandara, malah saya yang nangis ketika memeluknya.
.. bakal pisah lagi... paling cepet ketemu taun depan .. hik hik...
Lagian gak tega lihat adekku menggendong anaknya yang tertidur pulas di pundak kirinya, disangga tangan kiri, dan tangan kanan mendorong troli barang sambil sesekali melambaikan tangan pada kami yang hanya bisa menonton di balik kaca.
Adekku itu tampak tegar dan biasa-biasa saja. Toh tinggal satu tahun lagi insyaa Allah, setelah sembilan tahun berlalu selalu jauh dari keluarga. Mungkin begitu pikirnya. Sementara saya masih sibuk juga usap air mata di pipi kiri kanan. Lebay.
Saya jadi membayangkan jika suatu saat Sofi-ku harus merantau jauh untuk meraih cita-citanya, atau mungkin ngikut suaminya. Kuat gak ya melepasnya?
Makanya, biar saya bisa melepas anak kapanpun dan kemana pun mereka pergi, mestinya saya bisa mendidik anak-anak saya menjadi seorang yang ikhlas dan mandiri.
Ikhlas berarti ada atau tidak ada saya, mereka tetap melakukan hal yang terbaik karena Allah, dan mandiri artinya mereka bisa melakukan segala sesuatu dengan sesedikit mungkin merepotkan orang lain.
Setuju? Mestinya iya.. tentu saja.
Dan kepada sahabat-sahabatku, adikku, saudara-saudaraku,.. saya sungguh salut atas kemandirian kalian. Mudah-mudahan saya bisa mendidik anak-anak saya dan tentunya diri saya sendiri, agar bisa kuat, tegar, dan mandiri seperti kalian semua.
***
Sementara di lain waktu, di lain tempat, di bulan Ramadhan kemarin...
Sekilas saya kagum pada sosok ibu yang sabar ini. Memasuki bulan ketiga anaknya masuk TK, dia dengan setia menunggui anaknya di sekolah dari pagi hingga bubar. Kalo ibunya pulang, anaknya nangis. Ibu ini menggendong si anak pula bila anaknya minta digendong. Coba saya? Kalo saya punya anak serewel itu, meureun ku saya geus dialungkeun.
"Ibu itu anaknya empat, yang TK ini yang bungsu", kata Mama Ila kepada saya, saat saya menyatakan 'kekaguman' saya pada ibu itu.
Wah, anaknya empat, betapa repotnya. Apalagi anak yang bungsu semanja ini.
Kekaguman saya ini ternyata serta merta menjadi rasa kasihan ketika saya mendengar curhatnya di forum konsultasi bersama psikolog.
Betapa tidak, ternyata keempat anaknya sama saja manjanya. Anak tertuanya saja, perempuan, kelas 6 SD, di rumahnya tampak tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan rumahnya. Jangankan membantu, yang ada hanya 'ngerjain' ibunya saja setiap hari. Si Ibu mengeluh capek karena sepanjang hari dia sibuk melayani keempat anaknya.
Jawaban dari Ibu psikolog sungguh mengena. Setidaknya buat saya yang barangkali saat ini mudah-mudahan belum terlambat.
"Ibu harus melatihnya Bu.. Dimulai dari hal-hal yang kecil dulu. Jangan harap anak bisa cuci piring sendiri sebelum dia bisa menaruh piring bekas makannya di tempat cuci piring. Dan jangan harap anak bisa mencuci baju sendiri sebelum anak bisa menaruh baju bekas pakainya di keranjang cucian, tanpa disuruh"
"Untuk melatih tanggung jawabnya terhadap lingkungan rumah, mulailah beri tugas yang ringan, misalnya sebelum tidur diberi tugas mengecek apa pintu depan sudah dikunci. Kalau Ibu konsisten, insyaa Allah bisa Bu.."
Si Ibu pun mengangguk-ngangguk, setengah mikir. Wajar saja kalo Ibu ini merasa berat.Mungkin kebiasaannya memanjakan anak memang berbuah resiko ketidakmandirian bagi putra-putrinya. Berat juga barangkali bagi si Ibu untuk lebih tegas kepada anak-anaknya.
Seperti saya yang sampai saat ini masih berat juga untuk tidak menyuapi Arif. Dia teh kecil kurus gitu kayak ibunya. Kalau makan sendiri, suka sedikit dan tidak habis. Tapi kalau saya suapi, dia bisa makan banyak.
Kata temen saya yang lebih pengalaman, justru Ibu yang sabar adalah yang bisa konsisten dan tegas menerapkan aturan. Bukan Ibu 'siaga' yang selalu siap sedia memberikan dan melakukan apa saja yang dimaui anak-anaknya.
***
Ternyata Arif Sofi-ku bisa juga ya walau masih dalam area mandiri kecil-kecilan.
Mereka dalam beberapa minggu ini mulai bisa menaruh piring dan gelas bekas pakainya di tempat cuci piring tanpa saya suruh lagi.
Hmm.. kapan ya mereka bisa nyuci piring sendiri??
Barudak atuh barudak, sing geura gede sing geura jangkung...
Sing geura mantuan ka nu jadi indung...
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar