Dari balik benteng kiri rumah saya di cipadung, muncul ibu-ibu usia 50an.
Ooo.. rupanya ini si tetangga baru.
Seminggu yang lalu memang keluarga sebelah rumah pamitan, pindah rumah. Ambil rumah yang lebih besar di perumahan lain. Si tetangga baru ini adalah kakak dari tetangga lamaku itu.
Sedih juga ditinggal tetangga sebelah rumahku ini. Secara, saya udah gak sungkan lagi ngerepotin mereka =P Pernah sampe minta beliau ngangkatin jemuran saya, karena kelupaan, sementara saya niat meninggalkan rumah lebih dari tiga hari. Di benteng belakang rumah kami memang ada pintu penghubung, jadi dia bisa masuk pekarangan belakang rumah saya kapan saja.
"Rajin Bu...", kata si tetangga baru itu melihat saya membersihkan pekarangan.
"Eh.. iya Bu.. gimana, betah di sini?", tanya saya.
"Ya begitulah Bu..mudah-mudahan", katanya.
Selanjutnya kami ngobrol lama sambil bertukar biodata. Ta'aruf cenah.
Ibu itu ramah pisan.
Wadow... ternyata anaknya yang tertua sebaya dengan saya.
Laki-laki, masih bujangan, belum ada calon .. (apa urusan gw?)
Begitulah lingkungan tetangga tempat saya tinggal bersama suami dan arif sofiku.
Saya gak begitu akrab dengan mereka berhubung mereka semua sebaya sama orang tua saya. Dan saya sebaya dengan anak-anak mereka =(
Saya tetep ikut arisan, PKK, ataupun pengajian, tapi suka rada kagugusur. Ngerasa gak nyambung aja gaul sama ibu-ibu usia 50-60an tahun.
Tapi ya gimana lagi ya... namanya juga bertetangga, masa' ndekem terus di rumah.
Ya ikutan lah haha hihi dikit kalo arisan.
Beberapa di antara mereka juga manggil saya "Neng Irma", bukan "Bu Wiska".
Tapi kalo hitam di atas putih - catatan arisan atau koperasi PKK maksudnya- ya saya tetep ditulis "Bu Wiska".
Paling males justru kalo menang arisan. Alamat bulan depan saya jadi tuan rumah. Repot, mesti masak-masak, mesti nyediain kue-kue, pinjem-pinjem piring dan gelas dari si mamah. Maklum peralatan makan di rumah seadanya pisan. Buat bela beli barang kok ya males juga.
Hihi. Rasanya saya gak pernah ngerasa jadi ibu-ibu ya.
Kalo kata si mamah, aku ini kurang punya 'taste' sebagai seorang perempuan =D
Oya, saya sempet akrab dengan tetangga beda RT yang kebetulan usianya sebaya dengan saya, juga punya anak sebaya Arif.
Nah, sama yang ini nih, saya soulmate banget. Kalo udah ngobrol bisa berjam-jam.
Dia kuliah lagi, S2, di UIN SGD. Makanya dia ngontrak rumah di cipadung sini.
Dalam seminggu, kami selalu menyempatkan diri untuk saling bertandang. Kebetulan dia konsen sama pendidikan anak, berhubung keluarga besarnya juga demikian.
Jadi kalo udah ngomongin anak.. wah, seru!
Sampai Arif dan Maziya, putrinya, kesal mendengar kami ngobrol gak abis-abis.
Setelah selesai kuliah dia pindah ke pasir impun, ambil rumah di sana dan ikut kakaknya mengelola sekolah.
Yup.. sekolah itu adalah tempat arif sekolah sekarang. Dan akhirnya Arif ketemu lagi sama Maziya di kelas.
Arif kemarin-kemarin sempet juga nyeletuk
"Mi.. Maziya dulu yang rumahnya di permai lima ya?"
"Iya, kenapa gitu?"
"Maziya cantik..", jawab Arif
(kasuat-suat juga tu anak..hehe)
-------
Di Bandung ini saya punya tiga rumah. Rumah ortu, rumah mertua, dan rumah sendiri. Saya dan keluarga sering muncul di ketiga tempat tersebut dalam satu minggu, disesuaikan dengan berbagai kepentingan dan kerinduan.
Jadinya kami merasa punya tiga komunitas. Tiga tetangga.
Di rumah orang tua saya, tempat di mana saya dibesarkan, saya sekeluarga dengan tetangga, sudah merasa jadi satu keluarga besar. Tetangga sebelah rumah apalagi... kalo ngeliat pintu rumah terbuka sementara dia ada perlu, tanpa ba bi bu langsung nyelonong aja masuk.
Kami sih... ya biasa aja. Gak ngerasa kalo dia gak sopan. Karena kami sudah menganggapnya keluarga sendiri.
Komunitas yang terbangun begitu akrab dan dekatnya di lingkungan rumah ortu ini mungkin karena para bapak-bapaknya bekerja di kantor yang sama. Rumah itu juga rumah pemberian dari kantor bapak dulu. Semua dikasih jatah rumah.
Berasa senasib sepenanggungan, dapet sesuap nasi dari sumber yang sama... makanya kami merasa dekat.
Ketambah-tambah... mamahku adalah orang yang 'gaul' banget sama tetangga.
Dulu jamannya Rano Karno dan Meriam Bellina merajai dunia perfileman, ibu-ibu sering nonton bareng di rumah salah satu tetangga yang punya video player.
Sekarang alhamduliLlah udah tersibghah hidayah Allah.. ibu-ibu di komplek ngumpulnya buat dengerin ustadz ceramah dan bareng-bareng khataman Qur'an.
Ya maklum juga sih...
maklum semua udah jadi ibu-ibu pensiunan pegawai negeri, teungteuingeun we mun masih nonton filem teu pararuguh mah.
Dalam urusan pertetanggaan dan persaudaraan, kedua orangtuaku memang patut dijadikan teladan.
Saking gaulnya, sehari saja tetangga gak liat mamah, langsung pada nanyain.
Hak-hak tetangga beliau tunaikan dengan baik. Perhatiannya full sama orang lain, baik yang jauh maupun yang dekat.
Sampai beberapa bulan lalu saat mamahku mesti operasi pengangkatan rahim karena dicurigai ada kanker, sebelum hari operasi mamah dan bapak malah sibuk bagi-bagi shadaqah ke keluarga dan tetangga yang kekurangan. Termasuk anak-anak yatim di panti asuhan terdekat. Sepertinya shadaqah itu sudah dihitung sebagai biaya operasi.
Tak disangka-sangka, beberapa jam sebelum mamah berangkat ke rumah sakit, anak-anak yatim itu berbondong-bondong datang ke rumah, bersimpuh mengitari mamah sambil mendo'akan dengan khusyuk. Sepertinya jutaan malaikat mencatat do'a-do'a itu dan membawanya ke langit.
Belasan orang menunggui mamah operasi berjam-jam, dan ratusan orang menengok mamah sewaktu dirawat pasca operasi satu minggu di Al Islam.
Sungguh suatu keajaiban ketika mamah kini akhirnya sembuh total, padahal saya udah sedih pisan mendengar vonis dari dokter kalau mamah dicurigai mengidap kanker ganas.
Dan yang bikin takjub lagi..ternyata biaya operasi jutaan rupiah bisa tergantikan dari 'tanda kasih' tetangga dan saudara-saudara yang menengok mamah.
AlhamduliLlah..
Memang seringkali hidup itu tidak bisa dihitung secara matematis.
------------------------
Lain lagi gaya bertetangga di rumah mertua saya.
Kompleknya lumayan rada elite walau jarang ada rumah berpagar tinggi. Beberapa rumah tanpa pintu pagar, namun beberapa rumah juga memelihara satu hingga tiga ekor anjing penjaga. Syereeem..
Bapak-bapaknya kerja di tempat yang sama dan kebanyakan ibu-ibunya jadi ibu rumah tangga. Cuma gak tau kenapa, suasana di komplek ini adem banget. Sepi.
Orang-orang lebih banyak diem di rumah atau bepergian.
Yang tampak sore hari hanyalah satpam dan beberapa pembantu rumah tangga yang masing-masing menggenggam hp.
Seringkali kami berpapasan dengan seseorang yang -mungkin- tetangga. Saya mengikuti suami mengangguk ke arahnya. Setelah dia berlalu, saya tanya suamiku.
"Mas.. siapa tuh namanya?"
"Mmm.. lupa.. pokonya tetangga lah!"
Huadduh.. plis deh..
Saya cuma deket sama keluarga yang rumahnya tepat di sebelah rumah mertua saya.
Berhubung ketiga anaknya laki-laki semua, otomatis punya menantu perempuan semua.
Merasa senasib sebagai menantu, maka saya pun dekat dengan ketiga menantunya itu.
Dengan salah satunya pernah sama-sama tinggal di rumah mertua indah selama dua tahunan, sering bareng ngasuh anak di luar, jadi ya bisa deket. Dengan salah satunya lagi karena ketemu di tempat KP, berhubung dia asisten apoteker.
Suamiku sih ngakunya sempat dekat dengan anak-anak tetangga tu dulu jaman SD.
Sekarang mah udah masing-masing aja jadinya. Tau dia ada di mana sekarang juga karena kami jadinya bertetangga di dunia maya.
Sempat ada ide dari seorang akhwat tetanggaku di sana. Gimana kalo di komplek dibangun sebuah mesjid, untuk mengeratkan ukhuwah antar muslim di sana dan untuk membangkitkan ghirah keislaman warga.
Dia tanya pendapatku dulu.
Hm.. idenya bagus, tujuannya mulia. Namun.. tidak jauh dari komplek kami, sudah ada beberapa buah masjid. Hanya beda RT saja.
Kenapa harus dibangun masjid lagi? Malah nanti akan ada kesenjangan antara mesjid komplek dengan mesjid bukan komplek..
Dan saya langsung membayangkan suasana mesjid yang sepi nantinya. Jalan-jalan keluar rumah aja enggak, apalagi sholat di masjid? Kalau yang sholat disitu cuma merebotnya doang, kan malu-maluin.
Su'uzhan duluan memang..
Sampai sekarang pembangunan mesjid itu memang akhirnya tidak terealisasi. Dan komplek ini tetap sepi.
Oya, ada tradisi halal bihalal juga .. yang saya sendiri lebih senang menyebutnya sebagai acara silaturahminya warga komplek (baca: makan-makan).
Bayangkan saja.. lebaran udah lama lewat, eh.. tanggal 23 november kemaren baru ada halal bihalalnya. Hihi.. apa gak kadaluarsa tuh.
Seperti biasa, tempatnya di lapangan parkir. Tapi lumayanlah, bisa lihat-lihat tampang para tetangga.. setidaknya setahun sekali =P
---
Gaya hidup kita sekarang memang sudah bergeser jauh. Cenderung individualis, tidak peduli pada orang lain kecuali ada hubungannya dengan kepentingan diri.
Tidak aneh bila pada headline sebuah berita,- tetangga kaget di dekat rumah mereka ada pabrik shabu terbesar di asia, bahkan ketua RT pun tidak tahu-
Atau permintaan bantuan dari pemerintah agar masyarakat diminta waspada bila ada gerak-gerik mencurigakan di rumah tetangga. "Awas! Teroris!"
Akhirnya yang terbayang adalah sikap saling mencurigai, saling menyelidiki antar tetangga. Bukannya mempererat silaturahmi.
Dan mungkin bila kita lebih bisa peduli, tak akan ada berita ibu dan anak meninggal karena kelaparan di rumah mereka sendiri.
Miris ya.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar