Senin, 10 November 2008

ada apa dengan sofi (5) dan arif (?!)

Cloudy monday.
Siapa sih yang gak males kerja dan sekolah hari ini?
(hehe..maaf, terlalu menggeneralisir)

Dari tadi saya udah gatel pengen nulis. Tapi pas ym-ku diaktifkan, langsung deh diserbu para penggemar. Ciee..kesannya.. Padahal jarang-jarang saya diserbu sampe 5 orang begitu. Mungkin gara-gara cloudy monday ini ya, orang-orang lebih seneng ngobrol ketimbang kerja.
Jadi nyesel, kenapa gak invisible aja
-sok penting sekali-

Biasalah, dah pengen numpahin segala macem nih.
Jadi inget pas kemaren nganter Sofi lomba mewarnai mewakili sekolahnya dalam rangka HUT PRSSNI di Tegalega, ada anak yang kayaknya udah keseeeel.. gak tau kenapa.
Dia nangis meraung-raung, tapi tangannya terus bekerja menggosokkan crayon birunya dengan penuh nafsu dan amarah.
Tau enggak hasilnya? Rapi! SubhanaLlah itu yang namanya rapi dan bagus!
Sampe semua yang ngeliat pada ketawa... wah.. wah.. ini dia seniman sejati. Menumpahkan segala perasaannya di atas kertas =D

Saya jadi senyam-senyum sendiri, karena kalo saya nulis pun begitu. Kadang sambil terbahak-bahak, senyum, atau tak jarang pula menangis, sesuai tema. Hanya saja, tulisan yang tertuang akhirnya seringkali nyaman dibaca sendiri aja.Absurd. Maaf.

In cloudy monday ini juga.... Sofi mogok sekolah.
Total.
Padahal kemaren dia udah dengan riang gembira hadir di lomba mewarnai. Saya bilang kalo Sofi itu hebat, makanya gak semua boleh ikut lomba mewakili sekolah. Dan Sofi pun tampak bangga.

Tadi malem kembali menyusun perjanjian. Gimana kalo Sofi sekolah gak ditungguin tapi cuma satu jam. Nanti dikasih award berupa stiker kepala Hello Kitty berdiameter 1 cm.
"Kyakya?", tanya Sofi.
"No.. Sofi hanya boleh dapet Kyakya kalo Sofi sekolah sampe jam 11 gak ditungguin", jawab saya tegas.
Sofi pun sepakat.

Pagi, beda situasi, beda suasana hati. Ya berubah lagi.
Kalau gitu ganti siasat lagi lah. Dicoba gimana kalo misalnya Sofi diizinkan untuk tidak sekolah, sampe dia kangen dengan sekolahnya.
Saya mencoba cooling down.. menenangkan hati sendiri, karena dalam 10 hari kemarin ini saya rasanya begitu panik menghadapi kenyataan bahwa Sofi mogok sekolah.
Padahal Sofi baru TK A, semester 1 pula. Bahkan usianya pun terlalu muda 4 hari dari batas usia yang ditetapkan sekolah dalam penerimaan murid barunya.
Hm..ya Sofi baru 4 tahun.

Satu hal yang saya tampilkan di depan Sofi, bahwa saya tidak ingin membuat dia merasa berbeda dari anak-anak lainnya. Saya tidak ingin Sofi merasa bahwa ini adalah hal yang tidak boleh terjadi pada dirinya.
Saya ingin Sofi mengerti bahwa apa yang dirasakannya adalah manusiawi sekali, namun semua hal tentu ada konsekuensinya.
Toh sampai sekarang pun saya sendiri masih suka.. bahkan sering merasakan yang namanya malas.
Malas bangun, malas sholat, malas kerja...
apalagi anak 4 tahun!
Tapi karena kita yang sudah dewasa ini mengerti tentang konsekuensi, maka itulah yang jadi pendorong agar kita bangun, agar kita bergerak, dan berangkat kerja.
Konsekuensi yang saya perkenalkan pada Sofi hanyalah dengan disembunyikannya Kyakya, dan beberapa award yang gagal dia terima.
Sofi masih sulit mengerti kalau dibilang "Nanti kalo Sofi gak sekolah, gak pinter dong"
Pintar? Buat apa pintar?
Paling begitu yang ada di benaknya. Itupun kalo dia sempat mikir.

Sofi berseri-seri ketika saya mengizinkannya tidak masuk sekolah.
"Ya udah sama Bu Nenek aja ya", kata saya.
"Iya.. kalo Mas Arif kan di sekolahnya ada Bu Umi", jawab Sofi.
Memang salah satu nama guru di kelas Arif adalah 'Umi' =)

Akhirnya pagi tadi saya hanya mengantar Arif. Arif yang semangat sekolah.
Padahal waktu awal masuk kelas A, Arif payah banget.. nempelllll terus sama saya dalam arti nempel yang sesungguhnya.
Sekarang dia begitu semangat. Mengerjakan PR aja sebelum dia buka seragam dan kaus kakinya. Secepat kilat.. tanpa saya bantu sama sekali, dan benar semua jawabannya.
AlhamduliLlah.. begitu besar karuniaMu berupa anak secerdas Arif buat saya.

Saya banyak diam ketika mengantar Arif.
Hingga sampai di depan gerbang sekolah, Arif tiba-tiba terisak...

!@#$%^&*()????!!!!!@#$%^&*()!!!!????

Kalo bisa digambarkan mungkin simbol-simbol itu yang mengitari kepala saya pagi tadi.
Panik lagi!!

"Arif kenapa sayang?", tanya saya mencoba tenang, berjongkok di hadapannya.
"Arif mau sama umi.. heuheuheeeeuu... hik..hik"
"Arif kok kayak Sofi ya?", kata saya sedikit menahan emosi.
Bingung saya. Kok menular ya?
Sakit fisik, saya punya ribuan item obat di apotek. Tapi sakit hati? tak satupun saya punya.
Apalagi ini menular...??!!

Saya tuntun Arif ke saung yang ada di depan sekolah. Saung itu memang nyaman dijadikan tempat duduk-duduk. Adem.
"Yo.. Arif bilang ya.. kenapa gak mau sekolah..Arif kan beda dengan Sofi. Sofi mah belum bisa bilang kenapa, kalo Arif kan udah bisa bilang", berharap Arif dengan segera bisa mencurahkan isi hatinya dengan kata.

"Arif.. hik..hik.. Arif... heuheuheuuuu.."
"Ya udah.. ntar aja ceritanya... abisin aja dulu nangisnya", saya memberi kesempatan bagi dia untuk menenangkan diri dulu.
Sementara saya yang tegang.
-Ah dasar si umi-

Lumayan. Hik-hiknya berkurang.

"Jadi kenapa Rif? Ada yang nakal sama Arif?"
"Hik.. iya.. hik"
"Siapa? Rayhan ya?"
"Hik.. iya.. hik"

Hm.. sudah saya duga.
Sejak di depan gerbang tadi saja, Rayhan sudah menggelayut di lengan kanan saya. Menarik-narik tanpa peduli melihat Arif menangis.
Rayhan setiap hari selalu menyambut kedatangan Arif. Langsung mengajak Arif ngobrol, tanpa saya tau dengan pasti, apa yang dia bicarakan. Arif menanggapinya dengan senyum saja. Biasa.
Tapi hari ini mungkin Arif sudah kesal sama yang namanya Rayhan itu.

Yup, Rayhan memang tergolong ABK (anak berkebutuhan khusus).
Di SD tempat Arif belajar, ABK dan anak reguler memang disatukan, dengan pertimbangan positif tentu saja, bagi kedua belah pihak.
ABK bisa belajar dari anak reguler, dan anak reguler bisa belajar menghadapi sebuah 'perbedaan', dan diharapkan bisa berempati.

Sebetulnya hal ini sudah lama ingin saya bicarakan lagi dengan pihak sekolah. Berhubung eyangnya Arif sempat tanya sama saya. Beliau rupanya dapat isu kalo anak reguler disatukan dengan ABK, maka akan berdampak negatif pada anak yang reguler.

Benarkah?

Saya tanya kepada dua konsultan psikolog saya.. hehe.. ytc. Lita Edia Harti (psikolog, ibu rumah tangga, sekaligus pemerhati perkembangan psikologi anak.. anak sendiri dan anak tetangga =P), dan ytc.Fitri Ariyanti (ibu rumah tangga sekaligus dosen psikologi UNPAD).
Pendapat mereka adalah: tergantung bagaimana orang tua dan guru memberi pengarahan.

Tapi ada satu kenyataan pahit, bahwa penelitian terhadap anak-anak yang reguler (bila disatukan dengan ABK) belum pernah dilakukan. Kalo untuk yang ABK nya sih, jelas positif dan bisa terbantu.

Benarkah?

Jadi bagaimana dengan anakku?

Saya pribadi dari sisi awam merasa bahwa hal tersebut memang ada positifnya bagi anak reguler. Tepat sekali.. tergantung bagaimana guru mengarahkan anak-anak di kelas, bagaimana orang tua menyikapi, sehingga dapat membentuk pola pikir anak terhadap sesuatu yang berbeda di sekitarnya.

Dan payah sekali.. sebelum saya sempat menemukan jawaban akan permasalahan ini, Arif tiba-tiba mogok begini karena Rayhan.
Berarti saya harus berpikir cepat, bagaimana memahamkan Arif tentang perbedaan.

"Rif.. kalo Umi jadi Uminya Rayhan.. Umi pasti sedih lho Rif..", saya mencoba memulai.
Entah kenapa, tiba-tiba saya jadi nangis...
Saya jadi membayangkan bagaimana kalau anak saya tergolong ABK..
Yang dianggap 'lain' dari yang lain, dianggap nakal, dianggap aneh..
Padahal semua ibu pasti ingin anak yang sehat, normal, cerdas.. seperti Arif.
Ya .. seperti Arif.
Bila saya diberi cobaan dengan anak yang dengan 'terpaksa' digolongkan sebagai ABK...
bagaimanakah perasaan saya saat ini?
Dan sekarang, nikmat apa lagi yang saya dustakan?

Melihat saya menangis, Arif jadi melihat lurus ke wajah saya. Terheran-heran.
"Kenapa gitu?", katanya menanggapi prolog saya barusan.
"Rif.. Rayhan itu gak seperti anak yang lain, Rayhan itu dikasih Allah sakit, sakitnya bukan sakit badan, tapi sakit di sini", saya setengah mengusap kepala Arif.
Allah.. ampuni saya dari segala perkataan yang salah... tapi saya kehabisan kosakata untuk menunjukkan bagaimana Rayhan itu berbeda..
"Jadi nakalnya bukan karena Rayhan nakal, tapi karena Rayhan sakit"
Arif menyimak, tampak mengerti.
"Rayhan nanti bisa sembuh Rif... sembuhnya dibantu sama Arif", lanjut saya.
"Arif anak baik, makanya Rayhan suka sama Arif. Arif harus bantu Rayhan biar Rayhan sembuh"
Arif reda tangisnya.

Kemudian kami sama sama diam.

Bu Triya, wali kelas Arif lewat.
Karena melihat wajah Arif sembab di dekat saya, tentu saja Bu Triya bertanya.
"Eh.. Arif kenapa?"
"Kesel sama Rayhan", jawab saya.
"Oooh... iya.. iya.. semua temen-temen Arif juga suka kesel kok sama Rayhan.."
Bu Triya duduk di sebelah Arif sambil memeluknya.

Di hadapan saya dan Arif, Bu Triya sedikit menjelaskan kondisi Rayhan dan apa yang mesti teman-teman lakukan terhadap Rayhan, dengan bahasa dewasa, tapi tampaknya cukup difahami oleh Arif. Bu Triya satu kali saja membisikkan kata 'autis', yang diarahkan ke saya tanpa didengar Arif. Selanjutnya Bu Triya menggunakan istilah ABK/ special needs, yang telah terlebih dahulu saya baca dari silabus kurikulum SDnya Arif pas awal masuk sekolah, hingga saya mengerti.

"Arif anaknya baik.. kalo sama Rayhan suka mengalah terus.. makanya Rayhan suka sama Arif. Kalo anak-anak lain kadang suka berani ngusir-ngusir Rayhan kalo Rayhan ngeganggu"

Hehe.. dari satu sisi memang kelebihan Arif: mengalah. Tapi dari sisi lain, menurut saya mah ya negatif juga kalau 'selalu' mengalah.

Bu Triya menjelaskan panjang lebar tentang kondisi Rayhan dan kondisi teman-teman Rayhan, termasuk Arif.

Mendengar uraian Bu Triya, Arif jadi benar-benar reda tangisnya. Dia -mungkin- merasa bahwa Rayhan memang anak yang perlu dibantu, dan Arif merasa jadi orang penting yang bisa membantunya.
-Applause buat Bu Triya!!!-

"Jadi gimana.. sekarang Arif mau ya sekolah?", tanya Bu Triya
"Nanti waktu 'carpet time', Bu Guru mau bilang sama Rayhan biar Rayhan enggak ganggu Arif lagi", lanjut beliau.
Carpet time adalah waktu sekitar 30 menit awal belajar, yang disediakan untuk anak-anak curhat. Duduk melingkar di atas karpet.
Setelah itu diharapkan mereka kemudian belajar dengan hati yang lapang, lepas dari segala beban.
hmm..Asyik juga ya?
-(si umi sirik..hayang ngilu curhat)-

Menanggapi pertanyaan itu Arif mengangguk, kemudian ikut Bu Triya ke kelas, dengan terlebih dulu mencium tangan saya.

"Umi percaya Arif bisa," kata saya sambil menepuk pundak Arif.
Aura positif dari orang tua akan memberi kekuatan luar biasa pada anak. Itu yang saya rasakan sendiri saat mencium tangan orang tua saya ketika akan pergi sekolah dulu.

--------
Setengah tiga sore, saya sampai rumah mamah (dari apotek), Arif sudah lebih dulu tiba di rumah Neneknya itu diantar mobil sekolah.
Saya langsung tanya, "Gimana Rayhan Rif?"
Arif hanya mengambil buku penghubung dan memberikannya pada saya.
Di sana saya baca tulisan Bu Triya
(Bu guru Arif memang tiap hari selalu menuliskan komentarnya di buku penghubung itu, spesial untuk tiap anak):
"Umi, saat carpet time bu guru sudah memfloorkan apa yang Arif rasakan. Bu Guru juga sudah menyampaikannya pada Rayhan. Semoga Rayhan bisa memahaminya, dan hal seperti ini tidak terulang kembali dan Arif dapat kembali bersemangat saat ke sekolah :)"

Amiin.

Udah ah.. selesai ya Rif... gak usah ada judul ada apa dengan arif (2) yaaaa...
Atau mau nyaingin Nicholas Saputra?
Gak usah deh ya.. please.. udah ya.. besok sekolah biasa aja yaaa....

***
Btw, tengah-tengah nulis barusan, saya chat sama Yasin.
Sebagai penghargaan bagi beliau, menjadi penggemar setia blog ini,
maka saya janji mau nulisin nama "Om Yasin" di tengah tulisan saya.

Tapi bingung, ditaro di mana ya Om namanya? hehe.

Ntar saya bilang sama Arif deh.. Arif mesti hebat kayak Om Yasin..
di SMA 3 aja selalu jadi juara kelas.

Mesti semangat juga Rif!! Ayo Rif!!
Kayak Om Yasin tuh.. duduknya paling depan teruuuuss,
sekali-kali aja lihat ke belakang, kalo lagi pengen ngelirik umi...
wakakaka =D.. eh.. Kyaaaakyakyakya =D

Peace Tante Renit ..!!
Hehe..
jadi nostalgia SMA deh judulnya..

***

6 komentar:

Unknown mengatakan...

hihihi..jadi pingin malu nih liatnya..kok beneran nama saya dimuat..sambil bawa nostalgia masa SMA pula.. :p

Seru juga ya suka duka punya anak usia sekolah..Insya Allah Alya nanti mau sekolah juga tahun depan. pas 4 tahun. sekarang sih udah bolak-balik bilang kalau umur four pengen sekolah bawa tas Hello Kitty..dasar anak kecil ;p

ier mengatakan...

Jaman kita sekolah dulu juga seru ya.
Saya inget aja sampe sekarang, pernah dikeluarin dari kelas sama Bu Dewi gara-gara gak ngerjain PR matematika.

Dan yang bikin saya seneng apa coba?
Nur Muhammad Yasin yang notabene anak kesayangan Bu Dewi juga ..
gak ngerjain PR!!!

Horeeee :D:D:D

Lita Edia mengatakan...

Ier terkadang kalau saya pake reward punishment ngadepin kelakuan anak-anak cuman bikin saya pegel aja,alias nggak mempan, kalo kita belum tahu apa penyebabnya dia melakukan itu

ier mengatakan...

Huaaa.. huaaa... makanya daku bingung Ta.. :(

Lita Edia mengatakan...

bener...pang lieurna kalo dah urusan mogok sekolah...tapi kalo masih kecil kitu jigana bosen we dan akhirnya dia menyadari enakan ge di rumah
Akmal TK awalna semangat...setelah 1 bulan tiap hari harus dibujukin berangkat
Udah job desk lah buatku di tiap pagi:)

Anonim mengatakan...

Asli saya nangis baca ini....

Hari ini lagi sedih banget, anak saya yang ABK di "bully" temennya, di cuekin gurunya...
Mau saya keluarin dari sana,kok juga kasian, gimana sosialisasinya?
Mau diteruskan, saya yang stress, ga enak sama gurunya yang separo hati menerima dia, sedih lihat temennya yang memandang dia dengan pandangan tidak suka, dan ga enak dengan wali murid lain yang...entahlah...

Setidaknya saya terhibur bahwa mama arif berusaha untuk memberi pengertian kepada arief tentang apa yang terjadi dengan rayhan...
Dan mohon maaf dari kami, orang tua dengan anak special needs,yang barangkali membuat rasa tidak nyaman dengan kehadiran anak kami di sekolah yang sama dengan putra/i nya...

Hanya Allah yang bisa membalas kelapangan hati yang ibu berikan...
Semoga Arif pun mewarisi sikap lapang hati dan empati yang ibu miliki.Amin.