Jumat, 03 Oktober 2008

sunatan arif


Hari ke3 lebaran nih...
segala macem males...
jadi pengen nulis aja. Daripada tidur2an gak ada guna. Mending nyalurin hobi.
Lebaran ini gak ada yang spektakuler, jadinya mau nulis tentang lebaran juga garing.

Sekarang saya mau nulis pengalaman nyunatin Arif aja lah, tiga bulan yang lalu.

=buat Arif, umi nulis buat dibaca Arif nanti ya kalo udah gede, biar kenangannya gak ilang= pas umi nulis ini foto2 sunatannya masih di kameranya uwa Dandi, lupa aja belum diambil=

***
Gak ada rencana yang panjang untuk nyunatin Arif.
Hanya saja bagi saya masih terasa sebagai utang, kalo punya anak laki-laki belum disunat.
Seperti halnya teman saya yang sekarang udah punya anak laki-laki kelas 4 SD tapi anaknya tu belum mau juga disunat. Tampak sebagai beban pikiran yang berat buat ibunya. Si anak malah bilang "Pokoknya tidak akan pernah!!!"
Nah lho.. kalo sampe Arif bilang kayak gitu gimana.

Jadinya pas Arif masuk TK B, sama saya udah sering diomongin. Terutama pas acara mandi.
"Arif ntar disunat ya"
"Disunat itu digimanain?"
"Dibersihin ininya nih", jelas saya sambil menunjuk bagian'nya'."Jadi ntar air pipisnya gak ngumpul di sini, jadi suci, bersih"
Arif: no comment.

Semester terakhir di TK B:
"Arif pas mau masuk SD ya, disunatnya"
"Dibersihin ininya ya Mi.. dikupas ya", tanyanya memastikan.
"Iya" (kurang lebih ya begitu...whatever lah, dikupas? diiris? dipotong? pokonya disunat!)

Menjelang lulus TK:
"Jadi Rif disunat? Ntar bulan Juli ya!"
"Iya"
"Sakit lho.. kuat gitu?"
"Sakitnya gimana?"
"Pas disuntiknya, cuss...cuss... dua kali, udah gitu nggak sakit lagi. Itu namanya dibius"
"Di belah mana disuntiknya?", dia bertanya lebih detil sambil mengamati'nya'.
Biasa.. pas acara mandi...
Walah, di belah mana ya? Konsultasiku sama dr.Winni, temenku FKU'96, baru sepotong tadi. Gak detil.. disuntiknya sebelah mana. Yang jelas bukan di pipi.

Kata Winni, ke anaknya mesti dibilangin kalo disunat itu emang sakit. Terutama pas disuntik biusnya.
"Mm.. ntar umi tanya dulu sama dokternya ya", jawabku takut salah.

Berulang-ulang saya bilang sama Arif...
"Disunat itu sakit ya Rif...."
"Pas disuntiknya itu yang sakit Rif.."
"Ntar sakit ya Rif ya..."
Si Arif kesel,"Iyaaa... iyaaa.. umi kok bilang-bilang gitu terus sih!!"

***
"Arif mau disunat sama Tante Winni atau Om Windo?", tanyaku, minta dia memilih operator.
2W itu adalah sahabat2ku yang berprofesi dokter. Tukang nyunatin.
"Om Windo aja", kata Arif.
"Mm.. Tante Winni aja ya?", kataku. =Eeh.. si umi teh. Cenah disuruh milih.=
Soalnya secara 'kekerabatan', Winni sama keluargaku udah deket banget. Soulmate sejak SMA. Jadi kan mudah buat diterima sama keluarga. Lebih enak juga komunikasinya, karena selama ini Winni udah banyak ngasih pengarahan gimana nyiapin anak biar mau disunat.

Tipsnya antara lain: bilangin ke anaknya, kalo disunat itu sakit. Biar ntar pas prosesi si anak gak ngerasa diboongin. Kalo ngerasa diboongin biasanya anak tersinggung (ya iyalah), dan marah2. Tentu saja itu akan mengganggu acara operasi.
Orang tua mesti siap mental. Terutama bapaknya. Karena Winni pengalaman operasi puluhan anak, biasanya yang pingsan adalah bapaknya (terbukti tiga kali kejadian).
Orang tua mesti tenang. Kalo lihat anak nangis atau menjerit2 ketika operasi, itu biasanya karena manja dan ketakutan aja. Bukan berarti sakit yang amat sangat. Karena dokter sudah memastikan bahwa anestesi bekerja optimal. Ada ibu yang malah nabokin anaknya karena kesel lihat anaknya jerit-jerit terus pas lagi disunat.

Arif akhirnya nurut2 aja. Iya sama Tante Winni. Karena Arif juga udah kenal baik sama tante dokter yang satu ini.

Ibu bapak sempat nyaranin, kenapa gak ke dr.Seno aja.. atau ke tempat khitan yang di soekarno hatta.. yang udah terkenal itu.
Hm... kupikir sih, kalo punya temen dokter tukang nyunatin, kenapa gak 'dimanfaatkan'. Selain ngerasa uang yang kita keluarkan 'gak kemana-mana' tapi ke temen sendiri, juga prosesi khitan bisa dilakukan di rumah.
Simple.

Kata Winni, modal dokter nyunatin itu di bawah 50ribu per anak (diluar obat2an).
Dikabarkan juga kalo di klinik khitan profesional itu sampe ada kelas-kelasnya dari mulai 300ribu sampe kelas VIP 750ribu per anak. Saya juga bertanya-tanya, bedanya apa? Kan gak pake rawat inap? Beda ketajaman pisau? atau beda kualitas anestesi? haha.
Wah, gak rela saya kalo harus ngeluarin banyak duit tapi jatohnya ke dokter lain. Mending ke temen sendiri lah. Insyaa Allah profesional kok. Gak mentang-mentang ke temen lantas saya bayar murah.

Setelah saya dan suami sepakat, juga arif setuju, dimulailah sosialisasi ke keluarga.
Mendengar saya mau nyunatin Arif, kakakku jadi pengen nyunatin anaknya juga, Dzulfikar, yang usianya sebaya Arif.
"Sama Winni disunatnya? Boleh lah, Fikar ikutan!", kata kakakku yang memang sudah kenal baik sama dr.Winni.
Nenek sepakat, aki sepakat, eyang wayah juga sepakat .. prosesi akan dilakukan di rumah nenek.
"Fauzan mau?", saya jadi nawarin juga ke kakakku yang satu lagi, yang putranya belum disunat.
"Uzan mah ntar aja, belom mau", kata Aa.
Fauzan masih TK B.

Tanggal khitanan sempat berubah-ubah karena penyesuaian segala macam acara. Sekaligus mempertimbangkan kapan hari pertama Arif dan Fikar masuk SD.
Masuk SD tanggal 14 Juli, ... ya udah, disunatnya sabtu, tanggal 5 Juli.
Tanya Winni ok, dan asistennya, dr.Yane, ok juga. Dua2nya sahabat2 baikku.

Akhirnya persiapan jadi dobel. Nenek pesen tumpeng dll semuanya dobel, karena nyunatin dua cucu. Saya ambil obat2an dari apotek juga dobel.
Yang perlu disiapkan untuk masing-masing anak adalah:
obat oral: amox forte syr 1 fls dicampur 3 butir ctm 4mg, ibuprofen syr 1fls.
obat topikal: betadin 5ml, bioplacenton 1 tube, rivanol 2fls.
alkes: kassa steril 3 kotak isi 10ply, plester gulung, sabuk khitan 1pcs harga 5rb, celana khitan minimal punya 2 (bisa dibeli di toko khusus perlengkapan khitan di kosambi/ pasar baru, harga Rp.10ribu/pcs).
Lain-lain: sarung, baju koko, peci, tumpeng lengkap, roti buaya, dan jangan lupa.. kencleng tempat amplop panyecep.

Selain itu, anak juga butuh iming-iming, hadiah..biar semangat menjalani operasi.
Saya tanya arif mau dibeliin mainan apa..
dia minta papan catur!-- Anak yang aneh.
Ya udah, ini sih minta sama om ipin aja..
Akhirnya si om beliin arif papan catur beserta buku panduannya, yang tidak saya perkenankan untuk disentuh arif sebelum prosesi khitan selesai. Padahal sejak pertama lihat masih ada di tangan omnya, arif udah kebelet pengen main catur.

Hari H pun tiba. Sabtu, 5 Juli 2008.
Jam 6 pagi Winni dan Yane sudah stand by di rumah orangtuaku dengan pakaian serba putih dan dua buah tas berisi peralatan khitan.
Arif dan Fikar sudah selesai mandi, berpakaian, makan, serta minum analgetik dan antibiotiknya. Keduanya siap tempur.
Giliran saya dan mamanya Fikar yang saling curhat, sama-sama tegang.
Fauzan udah diungsikan ke ciamis, ke rumah neneknya yang di sana. Biar dia gak 'denger apa-apa' tentang pertempuran berdarah ini.
"Fikar heula nya?", pinta kakakku. Maklum Fikar ni rada ngenges dibanding Arif.
Fikar akhirnya masuk kamar operasi duluan. Kamar di belakang yang sama nenek dirapikan untuk jadi kamar tempat 'pemotongan'.
Sementara Arif dan Sofi sama aki dibawa ke mesjid. Diasingkan dulu.

Pintu kamar operasi ditutup.. dan beberapa detik kemudian...

"Huaaaaaaaaaaaaaaaaaa.....", terdengar juga jeritan itu dari kamar operasi.
Saya langsung merinding... mencoba menenangkan hati.
Suamiku ngobrol sama suaminya dr.Yane- pura2 gak denger.
Nenek babacaaan.
Keponakanku yang lain yang udah pada disunat beberapa tahun lalu, Fahri & Naufal, cuma cengengesan, sambil main PS.
Teh Belli n A Dandi ikut di kamar operasi.
"Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa... sakiiiiiiiiiiiiiit.... sakiiiiiiiiit... udaaaaaaaaaaaaaaaaah!"
Fikar menjerit tanpa mereda selama sekitar 30 menit.
Saya udah ampir nangis... gimana ntar Arif ya? Hiks..hiks...

Akhirnya Fikar selesai. Tangisnya mereda, kemudian digotong ke kamar lain.

"Oke... next?" kata Winni.
Saya hubungi hp bapak. "Aki... giliran Arif Ki.."
"Oke..", jawab Bapak.

Tak lama kemudian Arif masuk rumah, dengan langkah mantap dan berseri-seri.
Heuheuheueu... selamat berjuang anakku!
Tanpa diminta Arif masuk kamar operasi, dan berbaring pasrah setelah membuka sendiri celananya.

"Bismillaah.. ayo Arif berdo'a dulu", kata dr.Winni.
"Bismillaahirrohmaanirrohiiim", ucap Arif tenang.
Diikuti saya sambil mengusap kepalanya dan memegangi tangannya, berlutut di lantai.
Mas 'Ka memegangi bagian kaki Arif, naik ke tempat tidur.
Dr. Winni di sebelah saya (kanan arif), dan dr. Yane di seberangnya (kiri arif).
"Sakit nih ya Riif..", kata dr.Winni sambil menyuntikkan anestesi dua kali. Tepat di bagian yang akan dikuliti.
Arif tampak sangat kesakitan. Tapi alhamduliLlah dia siap.
"Kalo sakit sebut 'Allah' aja ya Rif", Winni memberi komando lagi.
Kerongkongan saya udah tercekat, dingin sekujur tubuh.. gak bisa ngomong apa-apa lagi.
Arif tampak menguatkan diri.
"Allah... Allah... "katanya sambil nahan sakit. Bikin mata saya berkaca-kaca.
"Ya Allah.. tolong Arif ya Allah...", do'aku juga.

Cauter sudah membara, berupa gelang berbatang, tampak mantap untuk menguliti..mengupas.. memotong... huaaaa... aku gak berani lihat. Melirik pun tidak.
Arif mengeluh sakit..tapi nggak nangis.
Dokter mengecek.. tampaknya emang anestesi perlu ditambah.
Suntik lagi...
"Allah... Allah...", gumam Arif lagi.
"Ni Arif gampang berdarah ya Ier?", komentar Winni.
Soalnya sekali disuntik.. darah langsung keluar.
Tampaknya hal itu menyulitkan operator, dan menggelisahkan saya..

Qulhu.. Falaq bin Naas. Udah tamat dibaca Arif..

15 menit berlalu... Arif masih menahan sakit, juga menahan tangis.
"Sakit Rif?", tanya saya.
Arif mengangguk dan mulai berkaca-kaca.
"Arif mau nangis.. gak apa-apa.. nangis aja", kataku.
Diberi aba-aba gitu, Arif kayak dipijit tombol 'play' dan ....
"huaaaaaaaaaaaaa...." volume POLLL..!!!
Air matanya mengalir deras. Tapi justru dia nangis pas prosesi sudah hampir selesai.
Jadi judulnya cuma numpahin kakesel.

"Udaaaah... alhamduliLlaah.. Arif hebat ya," puji Winni dan Yane.
Arif langsung berhenti nangisnya dan....
"Mi, mana caturnya?"
Dengan bahagia dan lega, saya berikan papan catur itu.

Anda bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya?
Arif langsung duduk di tempat tidur operasi itu, dan main catur sama papanya!

Keluargaku jadi pada ketawa-ketawa lihat pemandangan aneh itu.
Main catur di TKP, tanpa sarung, tanpa celana dengan kaki ngangkang. gundal gandul.hahaha...
Waduh, bener nih fotonya mesti diupload!

***

Selanjutnya proses pengeringan dan penyembuhan, memakan waktu total 2 minggu.
Tanggal 14 Juli Arif sudah bisa sekolah, masuk SD.
Tapi jalannya masih 'egang', masih pake celana khitan, dan udah bisa pake celana panjang biasa.
Ditambahi pengumuman ke teman-teman barunya..
"Hati-hati! Arif baru disunat! Dilarang nyenggol bagian depan!"

Perawatan pasca operasi hanya dibersihkan pake rivanol dan dibalut kasa steril. Gak pake apa2 lagi selain cebok pake air dettol (huuh... lagi2 gw inget si puding antiseptik).
Masalah pembersihan dan pembalutan, Arif hanya percaya sama saya.
Sama umi.. sama umi... sama umi...
No papah, no nenek, no eyang. Yang boleh menyentuh hanya umi!

Seminggu setelah prosesi itu Fauzan datang dari ciamis.
Arif sambut kedatangan sepupu tercintanya,
"Uzan... Arif udah disunat!!" kata Arif dengan bangganya.
Dan tentu saja.. nantang Fauzan main catur.
Fauzan pun terpaksa main catur sampe nangis, karena gak suka.

Huuu...Sok iyeh pisan kamu teh Riiif...!!

*****

Tidak ada komentar: