Akhir-akhir ini saya begitu semangat jadi konsultan pranikah untuk adik-adik saya yang sedang dalam proses. Proses menuju sesuatu yang saya anggap akan amat sangat besar mempengaruhi hidup mereka kelak di dunia maupun di akhirat.
Saya jadi sering menempatkan diri menjadi seseorang yang lebih berpengalaman. Kadang mungkin mereka menganggap saya sok tau. Mungkin mereka bertanya-tanya, sebetulnya apa sih urusan saya? ikut campur banget sih? Kepentingan lu apa?
Ya Allah... Rabb... Tuhanku...
BagiMu tidak ada satu pun kejadian di dunia ini yang terjadi secara kebetulan.
Kenapa Tuhan... di samping adik-adik yang sedang berproses tadi, Kau hadirkan di hadapanku.. dua orang perempuan yang menjelang perceraiannya?
Sungguh suatu fenomena yang begitu berbeda, seperti terbit dan tenggelamnya mentari.
Satu sisi begitu berbunga-bunga penuh cinta dan harapan.
Di sisi lain tampak begitu terinjak-injak dan penuh penyesalan.
Apa maksudMu Rabb ku?
Semoga dengan dihadirkannya semua ini di hadapanku.. aku tidak terlewat untuk mengambil pelajaran. Untuk dibagi-bagikan sebagai hikmah untukku, untuk rumah tanggaku, untuk anak-anakku, untuk siapapun makhluk berwujud manusia yang singgah di hadapanku.
Kedua perempuan tadi.. yang menjelang perceraiannya, memang tidak saya ikuti prosesnya sejak awal. Saya hanya menghadiri walimahannya dan sempat mendoakan - baarakaLlahu lakum-
Lautan cinta diarungi, dengan bahtera rumah tangga yang kualitasnya, hanya mereka dan Allah yang tau. Manusia lain sadar bahwa bahtera mereka rapuh hanya saat semuanya mulai oleng, setengah teggelam, dan sebentar lagi karam...
seperti sekarang.
Ohoho... ternyata ya.. bahtera yang tampak indah, belum tentu bisa menyampaikan para penumpangnya ke tujuan mereka. -Titanic kalleee..-
Ternyata ya.. yang terlihat sebagai kesempurnaan rumah tangga. Mobil, rumah, anak-anak yang tampak menggemaskan.. sama sekali tidak representatif menunjukkan sebuah rumah tangga idaman.
Tuhan... Kau buat aku menangis di tengah tangisan kedua perempuan ini yang tampak menyesal, berjuta sesal, karena mereka merasa telah salah memilih.
Di sekujur tubuh mereka tampak pertaubatan sepenuh hati.. karena dulu, saat mereka memilih lelaki yang kini -masih- jadi suami mereka, sama sekali.. sama sekali... tanpa dasar yang kuat, tanpa dasar yang kelak jadi pegangan mereka saat bahtera oleng tersapu ombak.
Saya tanyakan kembali pada mereka, dengan harapan mereka masih punya sesuatu yang jadi pegangan...agar bahtera mereka tidak benar-benar karam.
Saya bertanya pada keduanya:
"kenapa kamu dulu memilihnya???"
Sama persis! Keduanya mengakui bahwa mereka memilih hanya karena cinta.
Hanya karena tertarik pada sesuatu yang seiring waktu akan berkarat dan rusak tanpa bisa tergantikan.
Hanya karena 'klik'.. ngerasa nyambung..
Hanya karena 'menarik' secara kimia-fisika.
Mungkin juga karena berbagai prosedur pemikatan hati wanita.
DANGKAL!!!
BODOH!!
Yang begitu mah atuh coy... sataun dua taun oge beak ari geus kawin mah!!!
-maap, saya emosi yeuh-
Mereka memilih tanpa pertimbangan apakah sang lelaki kelak bisa jadi nakhoda, tau ke mana bahtera akan diarahkan, tau yang benar dan salah selama berada di atas lautan, benarkah panduannya, berfungsi dengan baikkah kompasnya...
Sayang... kebanyakan orang menyadari pertimbangan ini justru saat aqad telah terucap.
Kedua perempuan ini akhirnya pasrah.
Tidak menyalahkanMu, Allah..
Mereka hanya menyalahkan diri sendiri, karena dahulu saat memilih pasangan hidup,
mereka tidak ingat padaMu!! melalui proses pranikah yang tidak ada dalam 'kamus'Mu!!
Istighfar mengalir deras dari mulut-mulut mereka...seiring tangis tanpa henti...
Rabb...
Akhirnya kutanyakan pula pada adik-adikku.. atas dasar apa mereka memilih 'dia' untuk jadi pasangan hidupnya nanti.
Hanya meyakinkan saja bahwa mereka tidak memilih atas dasar yang rapuh.
Meyakinkan bahwa kelak mereka tidak akan menyesal dengan pertimbangan mereka.
Kelak mereka bisa bertanggungjawab dunia akhirat atas pilihannya..
Sekalipun nanti sang suami sakit keras tak kunjung sembuh, misalnya..
Sekalipun nanti sang suami terkena gangguan mental atas izin Nya, misalnya...
Na'udzubiLlahi min dzalik..
Tapi demi Allah, Rabb Semesta Alam.. bila adik-adik saya ini memilih atas dasar yang benar, saya yakin mereka tak akan pernah menyesal dalam situasi apa pun..
Sungguh!
Dan hamba pun beristighfar dari segala pertimbangan duniawi,
dulu.. saat memilih suamiku kini.
Tapi tetap ada satu dasar kokoh pertimbangan saya yang tidak akan pernah saya sesali.
Yaitu aqidah dan keimanan suamiku.
Semua yang tampak kasat mata di hadapan saya kini bisa jadi hilang besok lusa.
Tapi satu hal yang saya minta... jangan cabut iman itu dari hatiku dan hati suamiku.
Karena bila hilang, itulah sebenar-benarnya petaka dan bencana di dunia ini.
Terngiang kembali gemuruh do'a dari kerabat dan kawan-kawan yang menghadiri aqad nikah saya pada tanggal 30 Juli, delapan tahun yang lalu..
Do'a yang dipimpin oleh Ustadz Djalaluddin AsySyathibi, diikuti oleh para hadirin yang jumlahnya lebih dari 100 orang.. terdengar menggema dan memantul-mantul di penjuru masjid.
Membuat hati siapapun tergetar dan air mata mengalir deras.
Tiga kali mereka ucapkan..
BaarakaLlahu laka...
Wa baraka 'alaika...
Wa jama'a bainakuma...
fii khairiii....
Tuhanku...
Setiap kali saya putar video aqad nikah itu, air mata saya selalu jatuh.
Aamin... ya Allah.. Aamiin..Aamiin...
Semoga do'a tulus dari mereka
menjadi penyejuk hati saat kami marah
menjadi penguat saat kami merasa lemah
menjadi tali saat kami terpisah
Aamiin.. ya Allah.. Aamiin.. Aamiin...
Semoga Allah menunjukkan kepada aku, adik-adikku, dan kepada kedua perempuan tadi,
jalanNya.
Tidak lain,
hanya agar kami
tetap bisa memilih.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
hohoho..teh ier, dyne mah jadi serem dan bingung jadinya..
Posting Komentar