Rabu, 28 Juli 2010

"akhwat jaim" -- (bagian ketiga)

Sambungan dari "akhwat jaim" -- (bagian pertama) dan (bagian kedua)

***
Bertemu dengan suami, adalah babak yang benar-benar baru dalam hidup saya. Sempat terkaget-kaget dengan segala perubahan, tapi saya menikmatinya.
Suami membawa saya untuk menemukan sosok yang baru dengan membawa diri ini ke dalam lingkungannya.

Ternyata lingkungan yang saya masuki di antaranya adalah bukanlah lingkungan baru. Setelah bertaaruf dan kemudian menikah, saya dan suami baru ngeh kalau punya teman yang sama. Yang bagi saya orang itu adalah sahabat, sementara bagi suami orang itu hanya kenalan. Begitu pula orang yang saya anggap sebagai kenalan, ternyata berteman baik dengan suami.

Tidak heran ketika kami bertemu orang-orang itu.. mereka langsung menyalami kami dengan akrab, karena mereka tau siapa saya, dan tau siapa suami saya. Maklumlah memang kami satu almamater SMA dan satu almamater kuliahan. Cuma 'klik'nya aja gak pas lagi di sekolah ataupun kampus.

Dan tau nggak.. hehe.. ternyata orang-orang yang saya anggap kenalan dan ternyata berteman baik dengan suami, itu adalah orang-orang yang saya anggap 'bukan saya' di masa lalu. Yang saya anggap beda level. Tak usah dibahas level siapa yang lebih tinggi, tapi yang jelas saya ngerasa beda aja.

Karena kini saya menjadi bagian dari suami, mau gak mau saya jadi kembali bertegur sapa dengan mereka, dan bisa melihat mereka dari dekat.
Entah kenapa saya jadi merasa berbeda.
Hmmm... bukan sayanya barangkali ya,
tapi cara pandang saya.

Ibarat kacamata, mata masih mata saya, tapi kalau ganti kacamata dari kacamata biru ke kacamata merah, atau dari kacamata minus ke kacamata plus, pasti tampak berbeda.

Kalau saya barangkali seperti pindah dari kacamata kuda ke lensa kontak
(jauh amat?!)
Saya jadi bisa melihat segala sesuatu menjadi jelas dan terang benderang. Bisa melihat sisi baik dan sisi buruknya dan bisa menempatkan diri lebih baik. Nyaman bagi mereka dan bagaimana memandang mereka agar tampak menyamankan bagi saya.

Karena lebih mengenal, makanya saya jadi bisa lebih mengerti, kenapa mereka melakukan hal-hal yang bagi saya dulu adalah 'bukan saya'. Toh bagi mereka juga - saya - mungkin- adalah bukan mereka. Tapi ternyata kami bisa juga menemukan satu sisi yang sama. Namanya juga sama-sama manusia ya?

Suami juga mengenalkan saya pada level level lainnya dan saya punya perasaan yang sama, yaitu nyaman dan baik-baik saja. Pun saya membawa suami ke lingkungan saya, dan semua kekhawatiran lenyap begitu saja. Kekhawatiran bila suami tidak nyaman dengan lingkungan yang saya kenalkan padanya.

Barangkali karena suami juga saya jadi bisa lebih 'bijak' seperti itu.

Seperti dituliskan di posting blog ini terdahulu, bahwa orang paling istiqomah yang pernah saya kenal adalah Mas-ku itu. Teguh dengan pendiriannya, tapi tidak cocok juga kalau disebut keras kepala. Di lingkungan manapun dia berada, maka sosoknya tampak tak pernah berubah. Gak ikut-ikutan. Stabil. Tampil sebagai dirinya sendiri. Gak pernah terlihat marah, gak pernah terlihat sedih ataupun kecewa. Kalau terlihat bahagia tentu saja sering, tapi gak berlebihan juga.

Saya yang labil, yang sering terbawa emosi, yang sering berubah-ubah karakter seperti bunglon, jadi bisa belajar banyak pada beliau.

Kuncinya ternyata adalah... bagaimana mengenali diri, dan bagaimana mengenal Allah. Siapa kita, siapa pencipta kita, dan untuk apa kita hidup.
Ah.. semoga kalian paham apa yang saya maksud.

Yang jelas.. pada akhirnya.. dengan mengenal diri dan Sang Pencipta, saya jadi merasa sejajar dengan siapapun manusia di muka bumi ini. Orang kaya? Orang miskin? Cantik? Jelek? Jahat? Tampak sholeh? Cacat? Sempurna? Aktivis masjid? Aktivis himpunan? Siapapun itu... saya jadi merasa tak bersekat lagi, tak ada benteng lagi kecuali apa yang telah dibedakan dan ditetapkan batas-batasnya oleh syariat Islam.

Bukan berarti saya paham 100%. Sampai saat ini pun saya masih belajar. Terus berkenalan dengan banyak orang dengan berbagai level dan lingkungannya, tapi berusaha terus menerus agar sadar diri. Siapa saya, siapa teman saya, siapa pencipta saya, siapa pencipta teman saya, dan untuk apa kami hidup.

Dengan siapapun saya bertemu dan bicara, saya merasa gak canggung sama sekali. Gak ada perasaan merendahkan, ataupun meninggikan. Tapi saya menaruh hormat dengan hanya melihat bahwa seseorang itu telah dihadirkan-Nya di hadapan saya untuk saya pelajari kelebihannya, untuk saya hisap manfaatnya baik materil (ahahaha) maupun immateril.

Melalui email, blog, ym, dan kemudian facebook plus twitter, saya menampilkan diri saya (kembali), setelah menikah.

Bahasa tulisan memang membuat saya lebih ekspresif. Tidak seekspresif kenyataannya. Tapi bolehlah dicoba bertemu dengan saya, apakah anda merasa nyaman atau tidak. Mungkin juga kalau bertemu langsung, anda masih melihat saya sebagai sosok masa lalu yang penuh batas dan standar. Yang orang kebanyakan bilang saya “jaim”.

Tentu saja begitu, kawan...

Karena bahasa tulisan dan bahasa tubuh itu bagi saya amatlah berbeda.
Apa mungkin saya tertawa seperti ini , atau katakanlah bersuara .. HA HA HA... di hadapan kalian?

Irma yang aneh, bukan?

Apa mungkin saat kopi darat saya bercerita panjang lebar seperti di blog ini tanpa memberi kesempatan pada lawan bicara saya untuk menanggapi atau bercerita balik?
Tentu saja tidak.

Dan apa bisa saya marah seperti ini... .. tepat di hadapan kalian?

Ahahay.. dunia maya memang ajaib ya.

Tidak sedikit teman lama yang bilang kalau saya berubah. Tidak seperti orang yang mereka kenal waktu saya SMA dulu atau kuliahan dulu.

Kalaupun harus dijawab, jawabannya bisa YA ataupun TIDAK.

Ya, saya berubah, dengan cara pandang saya yang mencoba untuk bisa lebih memahami teman-teman saya.

Tidak, saya tidak berubah, karena dari dulu juga memang sebetulnya saya ekspresif dan banyol. Salah besar bila saya tampak anggun dan berwibawa....
*anggun dan berwibawa? .. weks.. buat yang mengenal saya dengan baik, silahkan muntah.
Hanya ya itulah... itu... emoticon membuat saya lebih beremotion .. itu saja.


Nanti, akhir dari serial ini, saya ingin menyimpulkan, apa itu 'akhwat jaim'. Menurut saya tentunya.
Tapi di postingan berikutnya lagi aja yaaa...

******

Diakhiri dengan iklan dulu ah....
Kemarin dapet email niy:

Dear Pemenang Audisi Crazy Moments Leutika 2010

Selamat kepada para pemenang Audisi Crazy Moments Leutika 2010!

Buku CrazMo akan segera masuk produksi. Hadiah akan dikirimkan setelah
buku jadi (termasuk sertifikat - hardcopy).

Terimakasih atas seluruh atensinya. Keep writing! Sampai ketemu di next
event Leutika.


Best Regards

redaksi Leutika


NB: Dimohon tidak mempublikasikan hasil karya kepada siapa pun dalam
bentuk apa pun.


***

AlhamduliLlaah.. hehe.. ternyata ada juga yang suka dengan banyolan saya yah... judul bukunya aja "Crazy Moment"...wkwk... dari segala arah juga tampak jauh dari istilah "jaim"... --- wekwew dah.

Mudah-mudahan jadi pemicu semangat saya untuk terus menjalankan motto "lebih baik menulis daripada melamun"

***

4 komentar:

Lesly Septikasari mengatakan...

bahasan yg jernih teh. suka.

rena puspa mengatakan...

heu....padahal di bagian kadua rame pisan...naha katilu na nanggung....ya sutra...gw tunggu bag keempatnyah...hehe

ier mengatakan...

@Lesly: gak semua orang suka, makanya gak saya share di fb =)

@Rena: nanggung ya.. mm.. belom dapet ending yang pas nih...

cerita bundaida mengatakan...

yang ketiga kurang menggigit, ier...hihihi...tapi suka dengan bahasan ini karna mengena juga padaku...masalah jaim, masalah batas, masalah level...semakin kesini jadinya lebih bisa bijak utk memandang masalah batas dan level itu yaaa...love this one!