Minggu, 18 Juli 2010

"akhwat jaim" -- (bagian pertama)

***
Teteh berjilbab lebar yang baru saya kenal beberapa bulan itu tergopoh-gopoh panik menghampiri saya di depan musholla sekolah (SMA). Dan sekarang saya lupa.. siapa teteh itu... maap. Waktu itu saya kelas satu. Dan saya lupa juga, sang teteh kelas dua apa kelas tiga ya? Gak penting sih.

"Irma!!... Irma!!... ", panggil si Teteh dari jarak 5 meteran dan setengah berlari menghampiri saya.
"Iya Teh? kenapa Teh?", tanya saya ikutan panik
"Kenapa buka kaos kaki di sini???!!", tanya si Teteh dengan nada memperingatkan.

Saya memandang sepasang kaki milik saya sendiri yang sudah tak beralas dan tampak jelas punya lima jari masing-masing di kiri dan kanan. Sempurna tak berbalut apapun. Mereka tampak putih pucat, merapat setengah ketakutan di bawah rok saya yang panjang.

"Saya... saya... ya saya mau masuk musholla Teh?", jawab saya sambil mengalihkan pandangan dari ujung kaki ke mata si teteh.

Sedikit bertanya dalam hati... apa ada aturan di SMA ini bahwa harus membuka kaos kaki di suatu tempat? Tempat khusus yang ada gantungan kaos kakinya?
-maklumlah anak baru, saya tidak tahu-

"Kaki itu kan aurat Irma! Buka di dalam musholla aja!,", jawab si Teteh dengan gaya seorang ibu yang memarahi anaknya karena ngompol di karpet. Pedas. Tajam. Menusuk hati.

Weeeew... sumpee deee gue baru tauuu... aurat ya? Ooooh... hmmm.. iya deh Teh..

Jujur sejujur jujurnya saya gak suka dikasih tau dengan cara begitu. Saya merasa langsung menciuuuut di depan sang senior. Merasa bodoh dan merasa terbuka seluruh aurat saya *halagh.. lebay
Pokoknya malu aja.

Selanjutnya memang saya coba untuk selalu melengkapi pakaian saya dengan sepasang kaos kaki, dan membukanya di tempat yang diyakini tak terlihat non muhrim. Namun sungguh, kejadian tidak mengenakkan itu tetap terekam dalam ingatan saya hingga kini.
Setidaknya alhamduliLLah.. saya diberi lupa oleh-Nya, siapa teteh itu.

Bagaimanapun.. nuhun pisan ya Teh.. sudah mengingatkan.

***

Dari banyak kejadian, saya belajar bahwa 'disalahkan' itu amat sangat tidak menyenangkan.
Yang pertama timbul dalam hati bukannya syukur karena ada yang mengingatkan, tapi: malu.
Kedua: pembelaan diri.
Ketiga: ingin melawan.
Keempat: gue juga tau.
Kelima: ini urusan gue.

Dari awal sampe akhir gak enak mulu kedengerannya ya?

***

Ahahaha.. jadi inget.. satu lagi yang 'lucu' jaman saya jadi aktivis masjid, waktu seorang teteh mengingatkan saya karena kedekatan saya dengan seorang ikhwan. Intinya saya merasa dituduh 'pacaran'. Merasa disalahkan karena tidak menjaga hijab. Dan merasa dilarang untuk berhubungan lagi dengan ikhwan tersebut.

Di kalangan 'aktivis Islam' (dulu ya.. gak tau kalau sekarang), hijab memang teramat dijaga. Rasanya saya baru tiga kali tampak 'berduaan' sama si ikhwan di depan publik. Pertama di koridor mesjid, ngobrol di tengah orang lalu lalang. Kedua, di sekretariat, saya diajarin kalkulus sama dia (catat: di sekitar kami banyak orang). Ketiga, di sebuah ruangan di sekretariat, lagi urusan surat-menyurat kepanitiaan sebuah acara. Dan perlu anda ketahui juga bahwa tahun itu adalah tahun keempat kami berteman karena kami dekat sejak kelas 1 SMA. Benar-benar tidak pernah ada ikatan apapun yang kami ikrarkan.

Wedeww... tapi itu tampaknya sudah menimbulkan isu yang 'memalukan' bagi kami. Kayaknya kalau saat-saat kami 'berduaan' itu dishoot dan rekamannya diedarkan, bisa dipastikan GAK LAKU. Lha wong cuma gitu doang? Apa anehnya?
Tapi barangkali karena tidak ada ikhwan-akhwat lain yang tampak 'seakrab' kami. Dan baiklah, barangkali ada yang menangkap isyarat dari bahasa tubuh kami bahwa kami saling suka. Ya sudah. Kami pasrah dituduh berbuat 'mesum'

Dalam hati .. saya tau saya (mungkin) salah. Tapiiiii gimanaaa?? Ini masalah hati, wahai para Teteh dan para Akang mentor yang budiman.. masalah hati!!!

***

Kalau boleh berandai-andai.

Andai si Teteh Kaos Kaki itu tidak langsung 'menghardik' saya ya? Biarlah saya masuk dulu ke dalam musholla. Dan cobalah cari kesempatan untuk mengobrol dengan saya. Cari tema menarik yang ujung-ujungnya bisa membahas 'kaos kaki', lantas si Teteh bilang.. "Irma udah tau kan ya kalau mata kaki hinggak ke bawah itu termasuk aurat?"
Naaah.. enak kan kedengarannya...

Andai si Teteh Yang Budiman itu pertama kali mendekati saya adalah dengan pendekatan penuh persahabatan dan pengertian. Andai Teteh itu berkata "Teteh ngerti perasaan Irma sama dia", kemudian menggali dari saya bagaimana timbulnya perasaan itu dan bersikap menganggap bahwa itu wajar sebagai seorang perempuan (lha ikhwannya memang ganteng kok) kemudian mau menjadi tempat saya bercerita tanpa dia harus bilang siapa-siapa...dan selanjutnya barangkali dia sampaikan apa yang dia pikirkan tentang hubungan saya dan ikhwan itu. Sama-sama mempertimbangkan sisi baik dan buruknya, kemudian menarik kesimpulan....

Dan... hei.... semua itu tentunya tidak bisa terjadi dalam satu hari, bukan?

Barangkali prosesnya berminggu-minggu dan berbulan-bulan... tapi kemungkinan saya bisa 'sadar' amatlah besar.

Dibanding kenyataannya dulu: saya cuma iya iya pura-pura nurut, namun lain saya punya bibir lain saya punya hati.
Saya gak suka si Teteh yang bersikap sebagai utusan perwakilan rakyat untuk menghakimi saya. Kurang dari 30 menit seluruh dakwaan disampaikan tanpa diberi kesempatan mengajukan pembelaan. Dan saya 'dipaksa' untuk menerima vonis bahwa saya-dan ikhwan itu- bersalah!
OBJECTION, YOUR HONOR !!




(bersambung)

***

3 komentar:

arifin mengatakan...

pertanyaan yang belum terjawab. apakah jaim merupakan bentuk pembohongan publik?
-ni di fb mah jawabna ngalantur, ngan tinggal di jawab ya atau tidak hungkul.-

ier mengatakan...

jawaban saya: tidak

Anonim mengatakan...

teteh niken punya pengalaman yang sama, bedanya adalah niken menegur orang dengan perasaan panas, tapi di saat yg sama niken pun sebenarnya 'membuka aurat' tapi ditegur dengan sangat santun...

pengalaman saat kuliah, coba teteh cek

http://www.kemudian.com/node/91733