Jumat, 16 Juli 2010

perlu untuk merasa diperlukan

**
Takjubnya saya, ketika pada suatu hari dipertemukan dengan teman-teman para ibu-ibu karier. Begitulah pentingnya silaturahmi ya. Kita jadi tak merasa sendiri. Tak merasa waras sendiri, sholeh sendiri, ataupun gila sendiri. Toh ternyata ada teman kita yang lebih waras, ataupun lebih gila dari kita.

Ibu-ibu itu tak lain tiga orang dokter dan satu orang apoteker teman sejawat saya.

Dokter pertama, aktivitasnya menjadi dosen di sebuah universitas swasta, dan baru saja ditinggal oleh pembantunya dengan alasan menikah. Padahal sang pembantu amat dia andalkan untuk mengurus ketiga anaknya sehari-hari.
Suami bekerja di luar provinsi, dan pulang hanya dua-tiga minggu sekali.
Walhasil... dia bener-bener hidup sudah seperti robot. Tanpa nada, tanpa rasa. Pergi pagi pulang sore, anak-anaknya yang sudah SD 'terpaksa' mandiri di rumah, dan anaknya satu lagi yang masih balita dititip di PAUD, berlanjut di tetangga.

Dokter kedua, aktivitasnya praktek sehari dalam seminggu saja di sebuah instansi. Tapi anaknya enam. Huihihi... kalo saya ke rumahnya, ampuuuun deh... rumah berantakan dan setiap kami ngobrol, selalu direcoki tiga anak balitanya. Syukurlah yang tiga lagi sudah sekolah full day.

Dokter satu lagi dan seorang apoteker cenderung tanpa masalah berarti. Masalahnya satu saja: masih tinggal di orang tua/ mertua, dengan konsekuensi yang tidak lebih ringan dari yang lain.

Akhirnya masalah rumah tangga masing-masing, jadi topik pembicaraan yang hangat dan cenderung memanas.
Kami mendiskusikan bagaimana bila kami keluar dari pekerjaan di luar rumah yang mengikat, kemudian fokus pada anak dan rumah tangga saja. Toh sebenarnya masalah nafkah ya alhamduliLlah kami sudah merasa tercukupi dengan gaji suami.

Namun tercetus suatu kalimat dari salah seorang dari kami, yang sebetulnya terpikir di kepala, tapi segan untuk terungkapkan, yang terbukti setelah kalimat itu terucap, semua ternyata mengiyakan:
yaitu ... "saya butuh untuk merasa dibutuhkan"

Teman saya yang dosen itu, merasa berharga tatkala ada mahasiswa yang meminta bimbingannya menyelesaikan skripsi. Teman saya yang praktek di sana-sini merasa berharga saat ada pasien yang berobat padanya. Dan teman saya yang bekerja di pabrik, memang baru saja promosi jabatan. Dan dia pun merasa berharga kerenanya.
Masing-masing merasa dibutuhkan oleh banyak orang, dan itu menyenangkan.
Rasanya masalah uang tak seberapa dibanding dengan *kesenangan saat dibutuhkan* itu.

Bagaimana dengan seorang ibu yang dibutuhkan oleh suami dan anak-anaknya?
Haduuuuuuuuuuuhhh... bukan hal yang mudah menerapkan hal itu di hati, ternyata.
Mungkin karena itu hanyalah kebutuhan yang sifatnya naluriah? alamiah?
Yang namanya ibu itu kan tak ada sekolahnya. Tak ada gelarnya. Tak ada pula gajinya.
(Dan herannya.. secara tidak langsung kami sepakat pula akan hal itu).

Bukaan.. bukan lantas kami menyepelekan beban sebagai seorang ibu.
Tapi kami sama-sama berpikir bagaimana menjadikan semua amanah itu bisa berjalan bersama-sama. Kebutuhan berkarir jalan terus, tapi tetap jadi ibu yang baik bagi anak-anak.

Salah satu solusi paling bodoh yang terlontar (tapi sekali lagi diamini oleh semuanya) adalah .. menurunkan ekspektasi terhadap keterpeliharaan rumah dan segala benda mati yang ada di dalamnya...

whahahaha....

Artinya.. cobalah untuk tidak terlalu peduli dengan cucian dan setrikaan yang menumpuk, dan biarlah rumah kita dipel seminggu sekali saja.
Yang penting kita tetap bisa konsentrasi pada anak-anak selama di rumah, dan kita bisa makan serta istirahat dengan cukup.
Soalnya kalau kita tetap punya standar tinggi terhadap kerapian rumah, sementara pembantu tak ada, suami sibuk, anak-anak masih kecil, dan amanah karir kita menanti, hasilnya hanya stress.

Oya.. lebih bagus lagi kalau anak-anak dibiasakan untuk membantu ibunya...

Sekali lagi kami bersyukur, masing-masing punya suami yang amat teramat sangat pengertian..

Wah.. jangankan teman-teman saya itu yang berkarir ya.
Saya yang hampir full di rumah aja udah paciweuh riweuh.
Kalau sempet nyuci dan nyetrika, berarti gak sempet masak yang susah-susah. Cuma sempet masak yang praktis aja, atau beli.
Kalau sempet nyapu ngepel, berarti gak sempet nyuci nyetrika.
Kalau sempet chatting berlama-lama, berarti gak sempet nyuci piring.
Kalau sempet nulis blog begini.. itu karena masakan yang kemaren masih ada. Tinggal diangetin. Tapi.. rumah berantakan...

Tak apalah.. yang penting hepi...

Jadiii.. kesalahan apapun yang dilakukan seorang ibu, katakanlah itu hanya "telat bangun", maka akan selalu ada konsekuensi yang menyertai. Mendinglah kalau kenanya cuma pada diri sendiri, ini sih.. pasti suami dan anak-anak ikut kena getahnya juga.

Hummm... memang tak kan pernah ada waktu yang cukup bagi seorang ibu.
Saya pun kalau ditanya "Sibuk, Ier?" jawaban saya pasti sibuk.
Jadi mending gak usah tanya lah...
Buat teman-teman saya, keluarga saya, siapapun yang butuh saya, maka saya selalu ada. Karena kembali pada postulat yang tadi. Setiap orang butuh untuk merasa dibutuhkan. Perlu untuk merasa diperlukan.
You need me and I need you too


***

3 komentar:

rena puspa mengatakan...

nuhun ir tulisannya

heeemm.....daleeem bangeet

adeemm...nyess

Akhsayanty mengatakan...

setuju,
akhirnya saya ngertih kenapah para ibu itu mau maunya melakukan beban ganda, melebihi para suami, eksis di karir dan rumah.....

:)

Lesly Septikasari mengatakan...

manusiawi bukan..
manusia merasa (lebih) berharga jika ia dibutuhkan
paparan yang menarik, meski masih belum kebayang ibu2 yg lebih 'gila' dari mba ier (hm, ato kerjaannya kali ya teh yg lebih berat)