Senin, 19 Juli 2010

"akhwat jaim" -- (bagian kedua)

Sambungan dari "akhwat jaim" - (bagian pertama)

Yahhh.. barangkali hal-hal seperti itulah yang seringkali membuat saya merasa 'terjaga' sewaktu muda dulu. Selain ada juga hal-hal sepele yang mempengaruhi tingkah laku saya. Misalnya,
saya loncat-loncat karena senang... langsung dibilangin "Husy.. ada ikhwan! Jangan centil gitu!"
Saya ngakak dikit langsung disenggol atau dikiceupan oleh sesama akhwat... lagi-lagi karena ada ikhwan. Halaaah....

Ya sudahlah.. mari kita anggun c. sasmi demi para ikhwan tercinta.

Maka, kemudian saya dikenal sebagai akhwat manis, anggun, baik budi, tidak sombong, terjaga hijab, serta auratnya.
Kurang lebih tampak seperti ini lah....



Wew.. saha eta? Ada yang kenal?

Nyaman dengan penampilan seperti itu?
Yuppp.. Nyaman!

Salahkah saya bergaya seperti itu?
Barangkali pengikut syaithan yang bilang kalau itu salah.

Betul teman, saya nyaman.
Tapi sayangnya karena saya merasa nyaman dengan pandangan orang.

Menjaga diri?
Betul, tapi karena manusia.

Saya merasa saat itu saya dituntut manusia untuk berpakaian seperti itu.
Saya diminta manusia untuk berlaku anggun seperti itu.
Saya melakukan semuanya demi pandangan teman-teman saya yang aktivis.

Allah mana? Allah ada. Tapi Dia tak ada di hati dan pikiran saya.

***

Tapi tetap saya sadar bahwa inilah yang diperintahkan Allah bagi hamba-Nya yang ingin menjaga diri. 'Kesadaran' saya ini teruji saat saya harus berinteraksi dengan teman-teman di kampus (baca: himpunan).

Wah.. maap maap nih buat temen-temen himpunan (dulu ya.. gak tau sekarang). Saya gak nyaman juga di sana. Melihat teman-teman saya laki-laki dan perempuan bercampur baur dan kadang duduk berdesakan. Ketawa ketiwi dan bercanda tak berujung pangkal. Katanya rapat tapi ya kok banyak ngelanturnya. Yang diurusi penting, tapi komitmen diragukan.
Tak seperti di masjid tempat saya beraktivitas (juga) saat itu. Kalau sudah janji.. ya ditepati. Kalau sudah punya komitmen, ya ditunaikan. Bertahan pula hingga bertahun-tahun demi menjalankan sebuah program. Ancaman yang dilontarkan satu saja : Allah Melihat kerja dan komitmen kita. Dan semua tetap maju bersama. Yang gak kerja, melaut dengan sendirinya.

Padahal sebenarnya di lingkungan himpunan saya bisa loncat-loncat ataupun ketawa ngakak dan gak ada yang bilang "Husy! Ada ikhwan!"
Tapi tetap saja saya tidak bisa centil-centilan. Kenapa ya? Gak tau. Gak enak aja. Berasa tidak etis bila saya harus ngakak dan centil-centilan dengan jilbab panjang plus rok atau gamis yang saya kenakan. Saya merasa membawa nama besar yang harus saya junjung tinggi. Yaitu: saya muslimah.
Jadi bukannya saya menahan diri untuk gak centil. Tapi karena gak mau aja. Gak mood.

Pada akhirnya saya tak bisa berlama-lama aktif di himpunan. Benar-benar saya merasa menderita bila berada di sana. Habitat saya adalah di tempat yang pandangan para ikhwannya menyapu lantai saat bicara dengan saya, dan pandangan para akhwatnya menjaga perilaku saya. Saya telah terbiasa dalam lingkungan itu. Dan perlahan saya menikmatinya.

Di SMA pun saya mengalami hal yang hampir sama.
Tengah aktif di DKM, tapi saya terseret ke dalam habitat yang 'bukan saya'. Sebuah kelompok eksklusif yang dengan seleksi tertentu saya bisa masuk ke dalamnya.

Demi bisa gaul dengan kelompok ini baik seangkatan maupun beda angkatan, maka saya memaksakan diri untuk ikut ke manapun mereka pergi. Diajak naik mobil pribadi ke sana ke mari rame-rame. Mampir ke rumah-rumah mereka yang bak istana. Disuguhi makanan yang entah apa namanya. Ngomongin film-film dan lagu-lagu. Huduuuuhhhh.... saya memang suka lagu, suka film. Tapi ya kalau dijadikan tema pokok obrolan, rasanya gimanaaa gitu. Dan utamanya barangkali karena saya gak tau apa-apa.
Mereka gak berbuat macam-macam kok. Cuma perasaan saya saja barangkali, kalau di kelompok ini saya ngerasa minder buanget. Merasa jadi orang paling miskin, paling bodoh, paling ketinggalan jaman, paling oon... hiks.. walau tentu saja mereka gak pernah menyinggung sama sekali tentang hal ini, tapi segala gaya dan penampilan mereka membuat saya merasa terdepak ke pinggir lapangan. Out! Dari habitat itu pun saya keluar. Datang bila diundang rapat saja di sekrektariatnya.

Kemudian saya pun kembali seratus persen ke musholla tercinta yang bagaikan cadbury pemberian ibu mertua. Enak di lidah, nyaman di hati. Yang ukurannya bukan materi atau penampilan. Yang ukurannya bukan bisa ngabodor atau ngagaring.Yang ukurannya bukan pintar atau tidak.
Musholla memberi saya lingkungan di mana saya tidak merasa diukur, karena di sana semua tahu, yang berhak menilai amal hanyalah DIA.
Di lingkungan yang bisa mengingatkan saya untuk tetap hidup mengejar akhirat. Dan barangsiapa yang mengejar akhirat, dunia pasti ada di tangannya.

(bersambung)

***

2 komentar:

rena puspa mengatakan...

heemmm.....ditunggu lanjutannya ..ahh

arifin mengatakan...

barangsiapa tidak mengejar apa-apa, ya gak apa-apa juga.. -fatwa asbun-