Kamis, 23 April 2009

Syahidnya Rika Hafsyah

***
Dibalik matanya yang sembab dan garis-garis wajahnya yang menahan kesedihan, tampak ibu di hadapan saya ini berusaha mengumpulkan serpihan memori, berjuang menerobos lorong waktu, dan berbalik arah menuju belasan tahun yang lalu. Mencari-cari di mana beliau pernah melihat wajah saya.

“Saya Irma Bu.. temennya Rika di SMA... temen sebangkunya..,”

“Ooh.. Neng Irma? Nu aya dina foto?”, diluar dugaan sekali jawaban spontan dari beliau.

Berarti benar apa yang saya bilang di note sebelumnya, bahwa saya dan Rika sering sekali berada dalam satu foto semasa SMA dulu.
Bahkan saya pernah berfoto di sini, di sudut ruang tamu ini, juga di kamar itu...
kamarnya almarhumah Rika Hafsyah.
Semuanya lengkap saya koleksi dalam beberapa album. Dan pastinya Rika juga mengoleksi foto-foto saya, karena semua yang ada foto Rikanya, selalu saya cetak dua.
Maklumlah, waktu SMA, entah kelas berapa, saya punya kamera pocket baru. Jadi senengnya jeprat jepret melulu.

“Paaaa.. ieu aya Neng Irmaaa...”, mama Rika memanggil suaminya.

Ayah Rika pun muncul dari kamarnya, dan lengkaplah sudah potongan 'puzzle' wajah Rika di hadapan saya. Sebagian ada di mamanya, dan sebagian lagi ada di ayahnya. Menghasilkan wajah ayu seorang Rika Hafsyah.

Saya, bersama Levy, dipersilahkan duduk.
Rumah orang tua Rika tidak bisa dibilang besar, tapi cukup. Cukup untuk keluarga kecil seperti keluarganya Rika. Rika si anak sulung yang hanya punya satu adik.
Bahkan untuk mencari rumahnya saja, saya dan Levy harus berputar-putar dulu di Gg.Sukasari. Bulak belok, masuk gang sana sini, cari-cari rumah nomor 66.

Berdasar data dari buku angkatan kita “Dimensi Tiga”, rumah Rika terletak di Gg.Sukasari V. Tapi berdasarkan ingatannya Levy, rumah Rika ada di Gg.Sukasari IV
(ternyata memang di gang empat!)
Ingatan saya? Saya hanya ingat bentuk dan tata letak ruang tamu dan kamarnya saja. Tidak membantu sama sekali.
Jauhnya jarak rumah kami membuat saya hanya sekali dua kali bertandang ke rumah Rika. Kalau kerja kelompok tentunya kami memilih rumah teman yang letaknya di tengah, atau kos-kosan yang hanya beberapa ratus meter saja dari sekolah.

Di buku "Dimensi Tiga" itu pun tidak mudah menemukan alamat Rika di kapling Fis 1, karena kita menyusunnya dalam bentuk iklan mini yang ngaco. Ingat?
Ternyata Rika masuk ke kolom 'agen dan biro jasa' :

“Tukang air bersih, tukang kredit buku, tukang ngompas bulanan, tukangeun imah batur. RIKA Jl.Cibeureum Gg.Sukasari V no.66 Rt/Rw 02/01”

Begitulah 'iklan' yang tertera di sana, membuat saya senyum-senyum sendiri di mobil yang dikemudikan Levy. (Dulu memang Rika jadi bendahara kelas ya?)

Kembali ke rumah Rika,
Saya dan Levy menyampaikan salam dan turut belasungkawa dari rekan-rekan SMA 3, yang dijawab dengan anggukan dan terimakasih dari kedua orang tua Rika.
Mama Rika yang tak henti-hentinya mengusap air mata membuat kami berat untuk mulai menanyakan kronologis peristiwa yang terjadi pada Rika 19 April kemarin, karena kami tau, pasti itulah bagian yang paling berat yang harus diceritakan oleh orang tua Rika kepada banyak orang dan berulang-ulang pula.

Tapi siapa yang tidak penasaran dengan kejadian mendadak seperti ini?

Akhirnya Ayah Rika mulai bercerita, sementara mama Rika tetap terisak. Maklum, selama ini Rika dan cucunyalah yang menemani keseharian beliau di rumah, sementara suami Rika mencari nafkah di Jakarta dan pulang setiap akhir pekan saja.
Ganjar, adik Rika yang beda usianya 4 tahun dengan Rika, bekerja di Cilegon. Belum ada menantu dari putranya ini.

Sebelum Ayah Rika cerita, sebetulnya saya sudah menyiapkan hati untuk mendengar tentang tragedi persalinan semacam pendarahan, bayi sungsang, pecah ketuban terlalu cepat, atau kelalaian bidan.

Namun.....

“Di RSB.XX...”, kata bapak memulai ceritanya.
Saya sedikit terlonjak.. “RSB XX?”
“Iya yang di jalan XX”, jawab beliau memastikan.

Oh my God... !! Karena di rumah sakit itu pula, tepat 19 April tujuh tahun lalu, saya melahirkan Arif. Kini justru pada tanggal yang sama, dan pada proses yang sama, sahabat saya gugur di sana.

*maaf, nama RSB itu saya samarkan dulu. Tanya via japri saja bila perlu*

Ternyata Levy melahirkan kedua putrinya di rumah sakit itu pula, sehingga kami bisa sama-sama membayangkan situasi pada saat Rika dipanggil oleh Nya.
Pastilah kalau melahirkan spontan, Rika terbaring di kamar bersalin yang itu, di bed yang itu, yang menghadap ke situ... Terbayang saat saya berjuang melahirkan Arif di sana.

“Semuanya normal...”, lanjut ayah Rika. Dan cerita selanjutnya memang membuat kami terpaku.

Ya teman teman... semuanya berjalan begitu baik, sehat, dan wajar.
Selama kehamilan, Rika sehat, tidak kurang suatu apa. Pun letak janin di dalam rahim, usia kehamilan... semuanya baik.
Selama kehamilan, Rika rajin memeriksakan kandungannya kepada dokter yang juga menangani kelahiran anak keduanya ini, di rumah sakit bersalin ini. Toh anak pertama pun lahir dengan selamat di rumah sakit yang sama, dengan proses kelahiran spontan yang lancar.

Ahad 19 April 2009, ba'da shubuh kemarin itu...Rika siap melahirkan. Dokter yang menangani sudah stand by, para suster dan bidan lengkap, suami Rika pun sudah siap mendampingi Rika di kamar bersalin.
Tidak ada yang kurang, bahkan nyaris sempurna untuk sebuah proses persalinan.

Hanya saja.... ketika tengah mengejan, dan rambut bayi mulai tampak....

*pengalaman saya dalam dua kali melahirkan, ketika dokter/bidan mengatakan bahwa rambut bayi mulai tampak, maka tinggal dua tiga kali mengejan maka bayi pun keluar*

Nah.. ketika rambut bayi mulai tampak, Rika tiba-tiba mengeluh pusing dan kemudian pingsan.
Dokter sampai berteriak dan menepuk-nepuk Rika agar bangun dan sadar.
“Rika !! Rika !! Sadar!! Rika!!”
Tapi Rika tetap tak sadarkan diri.

Mendengar ribut-ribut begitu, kedua orang tua Rika, bersama Fina (4,5 tahun) putri Rika yang pertama, segera masuk ke dalam ruang persalinan. Dan mereka melihat Rika tak bergerak.

Bantuan pernafasan dan alat pacu jantung diaktifkan.
Tapi Rika tetap diam.

Fina mulai menangis “Umi kenapa? Umi kenapa?”, tapi tentu saja tak ada yang bisa menjawab. Semuanya panik.

Membayangkannya saja sudah membuat saya berurai air mata.
Usia Fina persis usia anakku Sofi, yang Agustus nanti 5 tahun. Saat seorang anak, apalagi anak perempuan, mulai mengerti dan bergantung pada orang yang amat menyayangi dan mengerti dirinya, yaitu ibu kandungnya sendiri.

Melihat hidung dan telapak tangan Rika yang membiru, ayah Rika sudah langsung sadar bahwa putri satu-satunya yang dicintainya telah tiada. Ruhnya telah pergi, meninggalkan jasad Rika yang cantik, untuk selama-lamanya.

Setelah berbagai usaha dikerahkan, dan setelah berbagai pemeriksaan dilakukan, dokter spesialis kandungan yang menangani Rika akhirnya menyerah, dan menyatakan bahwa Rika telah meninggal bersama bayi perempuan yang masih berada dalam rahimnya.

***

“Rika syahidah...”, sementara hanya itu tanggapan saya di akhir cerita, sambil tak kuasa menahan air mata.

“Iya .. setelah Bapak baca-baca juga, Insyaa Allah, Rika syahid”, jawab ayah Rika berkaca-kaca.

*Jabir bin Atiq meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: jenis mati syahid ada tujuh selain berjihad di jalan Allah, yaitu: ......
......., dan seorang perempuan yang meninggal karena melahirkan (HR Bukhari, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, Malik)*

Syahid, berarti Rika insyaa Allah masuk Syurga-Nya TANPA HISAB !!!!

Setelah Rika dinyatakan meninggal, dokter dan pihak rumah sakit meminta maaf kepada suami dan kedua orang tua Rika.
Penyebab Rika meninggal memang belum diketahui dengan pasti, karena segala sesuatunya sudah sesuai prosedur, dan baik Rika maupun janin, sebelumnya telah dinyatakan sehat.
Menurut dokter, kejadian seperti ini terbilang sangat jarang. Satu diantara seribu, katanya.

Wallahu a'lam, mungkin memang ini hanya satu cara bagaimana Allah memilih seseorang untuk syahid di jalanNya. Memanggil orang yang disayangiNya dengan panggilan mulia.

Teman-teman, begitu indahnya ya akhir dari kehidupan sahabatku ini?
Wafat dengan cara yang begitu terhormat... menghembuskan nafas terakhir dalam rengkuhan ridha suami, dan ridha kedua orang tua.
SubhanaLlah... betapa sempurnanya !!

Tapi pastilah ini menjadi ujian teramat berat bagi suami Rika, yang harus berpisah dengan istri yang dicintainya justru pada momen di mana sepasang suami istri berada dalam puncaknya kedekatan batin. Harus berada pada sisi paling menyedihkan saat di sisi lain mestinya dia berada pada detik-detik yang paling membahagiakan dalam hidupnya.

Mengingat apa yang pernah saya alami,... saat terasa dekat dan bahagianya saya ketika suami bisa merengkuh punggung saya dengan tangan kanannya, dan menggenggam tangan kiri saya dengan tangan kirinya, membantu saya menguatkan hati dan fisik untuk mendorong bayi hingga keluar. Serta betapa melambungnya saya ketika kami bertatapan dengan penuh cinta dan suka cita tatkala semua berjalan begitu lancar.

Dan untuk suami Rika kemarin, semua itu berbalik, jatuh, terhempas.... karena semua kehilangan itu terjadi tepat di depan matanya pada saat yang tidak disangka-sangka.

Sayangnya, saya dan Levy sore tadi tidak bertemu dengan putri dan suami Rika, karena sedang berada di rumah mertua Rika di Cimahi.

Orang tua Rika memohonkan maaf atas kesalahan Rika, katanya tolong disampaikan kepada teman-teman. Sementara saya dan Levy berkali-kali meyakinkan mereka berdua dengan kesaksian bahwa Rika sama sekali tidak ada cela di mata kami.
Yang kami kenal adalah Rika yang baik, Rika yang ramah, dan Rika yang lembut hati. Beruntunglah mereka punya putri sebaik Almarhumah.

Ibu mertua Rika pun saat ini jatuh sakit, karena sangat terpukul ditinggal oleh menantu yang sangat mereka sayangi.
SyafakiLlah...

***

Saya dan Levy sudah menyampaikan titipan tanda belasungkawa dari teman-teman.
Semuanya berjumlah Rp.3.010.000,- (tiga juta sepuluh ribu rupiah),
AlhamduliLlah...
Telah disampaikan atas nama teman-teman Rika di SMA 3 Bandung (1996), karena tanda belasungkawa tidak hanya berasal dari rekan-rekan sekelas, tapi juga dari rekan di kelas lain.

JazakumuLlahu khairan katsiiraa.

Yah, begitulah teman-teman....
Sekarang tinggal kita yang belum menemukan jawaban dari sebuah pertanyaan dengan tanda tanya yang paling besar dalam hidup ini...yaitu, dengan cara apa kelak kita mengakhiri hidup.

Akankah jadi orang seberuntung Rika Hafsyah Asy Syahidah?

**
Allahumma inni as-aluka salamatan fiddiin, wa aafiyatan fil jasadi, wa ziyaadatan fil' ilmi, wa barakatan firrizqi, wataubatan qablal maut, wa rahmatan indal maut, wa maghfiratan ba'dal maut. Allahuma hawwin 'alainaa fii sakaraatil maut wannajaata minannaar, wal 'af - wa indal hisaab.

"Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu keselamatan dalam agama, kesehatan jasmani, bertambah ilmu, rezeki yang berkah, diterima taubat sebelum mati, mendapat rahmat ketika mati dan mendapat ampunan setelah mati. Ya Allah, mudahkanlah kami pada waktu sakaratul maut dan selamatkanlah kami dari api neraka serta kami mohon ampunan ketika di hisab."

Aamiin ya Rabbal 'alamiin.



Bandung, 22 April 2009
*sebagai tanda cinta, untuk seorang sahabat*
***

4 komentar:

2012themomentum mengatakan...

ALLOHU AKBAR,

Kalo tidak ingat saya berada ditengah rekan2 sekantor... mungkin sy akan menangis sejadi-jadinya (biar aja dibilang apa). Tapi ditunda aja dulu...

Yg saya rasakan ditengah panasnya jkt, badan sy dingin membaca kisah di atas. Merinding, dan bisa merasakan sendiri bgm tmn deket kita semua telah mendahului kita dalam keadaan khusnul khotimah bahkan syahidah "ALLOHU AKBAR"...

Tentunya kita bisa sj mengikuti jejaknya menjadi syahid/ah. Namun jalannya bisa bermacam-macam. Semoga ALLOH SWT mengijinkan kita selalu berada di jalan-NYA.

Amiin

swestika mengatakan...

Saya tak tahu harus berkata apa membaca dua artikel teteh terakhir ini. Menangis tentu saja.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.

Anonim mengatakan...

Setelah bersedih, kembali bersedih membaca cerita ini. Subhanallah, betap pernik hidup kita sangat berharga setiap detiknya....

Diar Noorstiar H mengatakan...

Assalamu'alaikum,

Teteh Punten, salam kenal saya Diar temen smp nya Rika, kalau boleh saya minta beberapa photo nya Rika, ada salah seorang sahabat saya yang ingin mengabadikan beliau dalam lukisan.

Itu pun jika teteh dan orang2x terdekat Rika tidak keberatan.

Terimakasih sebelumnya.

Salam
Diar
fb: diarnh@gmail.com