Sabtu, 08 Januari 2011

toelisan djadoelkoe (2) -teteh tersayang-

****
Malam ini kamarku kedatangan tamu kecil, seorang anak es-em-a, yang tujuh belas pun masih satu setengah tahun lagi. Dia adik mentorku.
“Teh, boleh ya, Ufi nginep di rumah Teteh malem ini?”, pintanya di telepon tadi pagi. “Abis bingung sih..liburan nggak ada kerjaan !”
Aku langsung menyambutnya dengan gembira, campur malu, berhubung aku sebagai mentornya, malah belum sempat sekali pun berkunjung ke rumahnya. Sekarang dia dateng duluan...pengen nginep, lagi!
Saat ini dia sudah terlelap di sampingku, setelah sebelumnya aku bercerita panjang lebar tentang Abu Bakar r.a. Seperti anak kecil aja, dia minta dongeng sebelum tidur. Untung aja nggak kepikir cerita Kera dan Kura-kura, seperti aku dulu didongengin sama mama.
Terus terang, selama beberapa jam dia ada di rumahku. Aku jadi merasa selalu diawasi. Aku jadi bersikap hati-hati. Aku jadi ngerasa ngedadak alim. Kenapa ya? Apakah karena aku ingin disebut seorang teteh yang ideal? Apakah karena aku ingin dianggap adikku seorang teteh yang bisa memberi contoh yang baik?
Sepanjang hari tadi, dia banyak sekali bercerita. Tentang teman-temannya, tentang DKM-nya, tentang gurunya, tentang ikhwannya...eh...maksudku, biasalah...usia SMA, senengnya ngomongin masalah muamalah dengan lawan jenis (emangnya kalo anak kuliahan ngga?).
Cerita-cerita itu kubalas dengan cerita-cerita pula, plus kesan dan saran sebagai bab penutup. Pokoknya sampe berbusa-busa deh !
Kini kupandangi wajahnya. Kulihat matanya terpejam dengan sedikit senyuman di bibirnya. Mungkin dia sedang bermimpi, memimpikan sosok seorang teteh mentor yang bukan aku. Seorang teteh yang bisa membawanya ke negeri di lapisan langit ketujuh...di sana dia bisa melihat kedamaian, di sana dia bisa melihat indahnya ilmu, di sana dia bisa merasakan belaian mesra dari hati yang ikhlas dan suci. Dia dituntun ke sebuah kolam, di sana dia bisa meminum air segar sepuas-puasnya untuk menghilangkan dahaganya akan pengetahuan. Dan dia bisa masuk ke dalamnya untuk merasakan segarnya hidup bermandikan ayat-ayat-Nya.
Oh...aku jadi ingat seseorang yang pertama kali mengenalkanku pada indahnya Islam. Kuingat ketika kami duduk berdua di lantai dua gedung SMA ku, memandangi langit biru dengan sedikit awan putih yang bergerak cepat ditiup angin. Sayup-sayup terdengar lantunan asma’ul husna dari tape kecil yang dibawanya.
“Lihatlah Fit, siapa yang meninggikan langit, meniupkan angin, menggerakkan awan ?”
Sambil meletakkan tangannya di bahuku, dia mengenalkanku pada Sang Pencipta, Allah, Rabbul’alamin. Siapa Allah. Di manakah Allah. ...........
Indera pendengaranku bekerja cepat. Dan sampailah ucapannya di susunan syaraf pusatku. Terdengar indah, sampai aku merasa bahwa aku belumlah kenal Allah sebelumnya. Getaran suaranya membuat hatiku berdesir, dan jantungku berdegup lebih keras. Air mataku jatuh.
Dia memegang erat tanganku. Genggamannya seakan cemeti yang memacu semangatku. Ya....dalam hatiku terukir janji untuk lebih mengenal lagi Allah dan Din-Nya.
Oh..tetehku..tetehku. Dia yang bersabar menghadapi segala keisenganku dan segala kejailanku. Dia yang senantiasa bersabar mendengarkan celotehanku dari yang besar sampai yang kecil, dari timur ke barat. Wajahnya selalu menampakkan rasa antusias, walau setelah kupikir-pikir, ceritaku pasti membosankan
Kalo aku ke rumahnya, aku suka diajak sholat berjamaah, dan saat itu pertama kali aku merasakan sujud yang amat panjang. Seusai sholat, dia selalu memelukku sambil berurai air mata.





Saat itulah kurasakan betapa sayangnya dia sama aku. Kurasakan kebersihan hatinya, dan kurasakan Allah selalu ada di hatinya. Kupikir dia bersikap seperti itu, bukanlah dibuat-buat. Dia tampil begitu tulus di mataku. Wallahu a’lam. Tapi apa yang ada di hatinya, tak perlu banyak kata terucap, sampai juga di hatiku. Sederhana saja.
Mentoringnya selalu saja menarik walau temanya nggak istimewa. Setiap Jum’at siang, selama satu jam kelompok kami berkumpul di sebuah kelas. Tempat favorit kami adalah kelas di lantai dua, pojok, dan forumnya berbentuk U, menghadap jendela. Dari jendela itu terlihat atap gedung sekolah tetangga, pucuk-pucuk pohon, dan langit yang luas. Sambil dengerin Teteh bicara, mataku biasanya menerawang melihat langit. Entahlah...selalu saja ada butiran air mata di pelupuk mataku jika mendengar beliau berbicara, padahal tema pembicaraannya sudah sering aku dengar. Mungkin itu yang namanya bicara dengan hati, yang diucapkan dengan bahasa kasih.
Dia juga sering cerita hal-hal lucu, yang bikin suasana mentoring segar dan nggak ngantuk. Tapi ngelucu juga nggak asal ngocol. Selalu saja ada yang bisa ditarik hikmahnya.
Temen-temen sekelompok mentoringku macem-macem. Ada anak gaul, ada yang alim, berjilbab panjang, pendek, dan lebih banyak yang nggak pake jilbab. Tapi semua suka dan menikmati mentoring. Bahkan menjelang kelas dua, beberapa di antaranya mulai menutup aurat. Alhamdulillah.
Satu persatu wajah-wajah yang pernah jadi adik mentorku muncul. Elin, Eva, Gina, Astrid, Eka, Sri, Yani, Lia, Pipit, Endah, Evi, .....hff...banyak, ternyata!! Dan, apakah selama ini aku membawa mereka dengan ketulusan hati?
Ah..entahlah....malah dengan mudah beberapa di antara mereka kulupakan.
“Teteh, masih inget saya ?” tanya seorang anak ‘98 di gerbang kampus.
“Mmmm...bentar ya...mmmm, aduh sori..Teteh kayaknya lupa deh!?” Yang kuingat, dia adalah adik mentorku di SMA dulu.
Dan dengan tersenyum, dia menyebutkan namanya,”Lina, Teh!”
Astaghfirullaah...Ya Allah, betapa tidak amanahnya aku dengan titipan-Mu yang besar ini !
............
“Teh...Teteh...” Kakiku diguncang-guncang.
“Tahajjud bareng yuk, Teh ?” Suara adik mentorku menyentakkanku dari mimpi. Aku ngucek-ngucek mata. Subhanallah...jam tiga pagi....
Kulihat wajah adikku tersenyum dan jari-jari kecilnya menarik tanganku untuk bangun, mengantarnya mengambil air wudhu.
Indah memang, tahajjud dengan seseorang yang selama ini, ceritanya, kubimbing di jalan Islam. Kutahu Allah menyaksikan kami berdua sujud dan bersimpuh di hadapan Nya. Seakan kudengar adikku mengadukan aku pada-Nya. Mengadukan segala kelalaianku, mengadukan ketidakikhlasanku, yang Allah sudah tahu semuanya.
Seusai sholat..kucoba untuk memeluknya. Hanya satu kalimat yang dapat kuucapkan........
“Maafin Teteh, ya, De?”
Dan sebuah anggukan kecil terasa di pundakku.
***

Tidak ada komentar: