Sabtu, 08 Januari 2011

***
Ahad, 15 Agustus 1999
Ba’da Dzuhur, di sebuah masjid, terlihat seorang akhwat berjilbab, duduk sendirian. Matanya menatap kosong ke depan. Sesekali tersenyum. Sesekali terlihat dia hendak menangis.
Kemudian dia bersujud lama sekali. Bahunya terguncang....Kali ini tampaknya dia betul-betul menangis.
Tinggal beberapa orang di sana, karena setelah sholat berjamaah, semua kembali ke tempat aktivitasnya. Lama-lama tinggal dia sendiri. Matanya sembab, namun kembali senyum menghiasi bibirnya.
Tahukah kamu, dia baru saja ditinggal pergi oleh sahabat yang paling dicintainya.....
Siapakah dia?

Aku, aku yang kini kelihatan setengah gila. Astaghfirullah...
Hari ini mungkin klimaks dari kebingunganku selama ini, kepusinganku, kebodohanku akan suatu masalah yang seakan tak ada solusi. Masalah yang telah muncul dalam pikiranku selama enam tahun terakhir, dan sekarang teringatkan kembali.
Mungkin tidak banyak orang yang bermasalah sama denganku, tapi tidak sedikit orang yang memperdebatkannya, menjadikan masalah ini seakan awal dari segala masalah di dunia.
Tahu Rumah Sakit Jiwa Cisarua Lembang? Ya, sebagian pasien di sana, katanya, terganggu ingatannya karena masalah yang sama dengan masalahku. Mereka ngomong nggak karuan tentang masalah da’wah, Islam, pergerakan, jama’ah, negara Islam.........
Dan salah seorang kakak kelasku di SMA, kabarnya dia buka jilbab, karena stress dengan masalah yang juga sama. Islam dan pergerakannya.
Na’uczubillahi min dzalik.
Kucoba berfikir, kenapa banyak aktivis yang begitu bermasalah dengan hal ini. Kenapa pemahaman orang Islam tentang agamanya tak bisa sama. Padahal kita mengaku satu Tuhan, ALLAH. Satu pedoman, AL QUR’AN, dan satu panutan, Nabi Muhammad SAW.
Yang kutahu, perbedaan pemahaman itu adalah sunnatullah, karena cara berpikir kita beda, dan latar belakang kita pun berbeda. Dan kenapa kita bermasalah, sebetulnya dalam hal ini Insya Allah kita punya alasan sama. Ingin menggapai keridhaan Allah, di mana kita ingin dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang diberi nikmat oleh-Nya.
Sering kita ragu, apakah kita telah berada pada manhaj yang benar? Apakah kita telah mengoptimalkan pendengaran, penglihatan, dan hati kita untuk mencari kebenaran? Apakah do’a kita minta ditunjukkan jalan yang lurus, dengan Al Fatihah kita, tidak hanya sekedar do’a?
Disamping itu kita juga bingung, apa sih kebenaran itu? Apakah parameternya, kalau kita merasa yakin ada di atas jalan yang benar?
Terus terang, aku sendiri belum bisa menjawab semua pertanyaan itu. Malah pertanyaan itulah yang saat ini berkecamuk dalam fikiranku.
Dan...yang membuatku sedih adalah betapa banyak golongan yang mengaku dirinya benar, dan akhirnya timbul fanatisme golongan, ashobiyah, dan sejenisnya. Kemudian? Terjadilah permusuhan, saling mendiskreditkan satu sama lain, rebutan proyek da’wah, curiga, dan saling jegal. Seakan sirnalah keindahan Islam dalam kondisi seperti itu. Bukannya menghasilkan orang-orang shaleh, malah menambah pasien di rumah sakit jiwa.
Setelah bertahun-tahun malang melintang dalam dunia da’wah, aku sudah cukup merasakan pahitnya perbedaan pendapat di kalangan aktivis da’wah. Seringkali aku hanya jadi pengamat, dan tak jarang pula aku justru jadi korbannya.
Memasuki sebuah organisasi da’wah di tahun pertama kuliahku, ternyata banyak orang yang mem-black list-ku, mencurigaiku hendak berbuat makar. Kenapa? Hanya karena waktu SMA aku dekat dengan orang-orang yang dianggap sesat (padahal menurutku mereka orang-orang yang shaleh dan ikhlas, insya Allah). Kemudian namaku bersih kembali, karena aku memang ternyata bisa dekat dengan berbagai golongan, dari yang mulai dianggap sesat, sampai yang dianggap hebat. Karena kuanggap mereka semua adalah saudaraku.
Kusaksikan, seseorang dinon aktifkan dari sebuah organisasi da’wah karena dicurigai dia akan menyebarkan aliran sesat (padahal belum terbukti dia menyebarkan, dan belum terbukti bahwa pemahaman dia sesat).
Kulihat hubungan yang kering antara aktivis yang satu dan yang lain, karena udah TST, mereka beda harokah.
Dan ada akhwat yang menolak khitbah dari seorang ikhwan yang sebetulnya dia sukai, karena mereka ternyata barbeda pemahaman. Subhanallah.....
Dan aku kini merasa kehilangan seorang sahabat, karena ....

Selasa, 17 Agustus 1999
Tulisanku di atas terputus, karena aku baru ingat aku harus ke mesjid, ngajarin baca Qur’an ke beberapa remaja di kampungku. Saat itu hampir saja aku memutuskan untuk libur dulu mengajar. Hatiku saat itu sedang kering, otakku panas, pikiranku kacau. Paling remaja asuhanku itu pulang lagi karena tidak ada aku.
Namun, telepon dari Prita dan Rida, “Teteh, ngaji nggak ntar sore?”
Tak kuasa kujawab dengan kata tidak. Meskipun ragu, kujawab “Insya Allah.....Dateng, ya!!...ajakin yang lain!”
Ya..ya...mereka tak boleh jadi korban kepusinganku hari itu. Kucoba untuk melupakan semuanya. Peduli amat aku ditinggalkan seseorang karena beda harokah, jama’ah, apa pun!
Satu persatu adik-adikku datang. Prita, Rida, Nana, Liska, Ririn, Lina, Endang. Mereka hadir di masjid dengan wajah ceria sambil membawa Al-Qur’an, mukena, dan kerudung yang asal nempel.
Ba’da Maghrib, aku mulai mengajari mereka.....
“Pinggir lidah...bertemu dengan geraham atas....DHO!”
“Dho...” “Dho...”
Susah payah mereka mengatur lidahnya, sambil sesekali cekikikan. Ah....benar-benar kunikmati saat-saat ceria bersama mereka. Kulihat satu persatu wajahnya. Tenang, bahagia, tanpa beban. Mereka tampak senang dengan kegiatan ngajinya ini yang cuma seminggu sekali, dengan materi-materi sederhana yang mudah mereka aplikasikan.
Aku? Aku ngaji seminggu tiga kali di tempat yang berbeda-beda. Entah, mungkin karena nafsu ingin tau segala macam, tapi hanya nambah ilmu, amal tidak. Akhirnya aku tak bisa tenang. Bingung.
Ba’da Isya, seperti biasanya, ada taushiyah dari seorang ustadz. Beliau menerangkan tentang ciri-ciri orang yang sabar, menurut QS Ali Imran ayat 146, yaitu tidak lemah, tidak lesu, dan tidak menyerah.
Perasaan Sang Ustadz nyindir aku. Aku yang saat itu dalam kondisi lemah, bingung, dan tak tahu mesti berbuat apa.
Kusadari bahwa selama ini aku bukanlah orang yang sabar. Seringkali aku bingung dan menyesali perbedaan antara aku dan sahabat-sahabatku. Terkadang aku suka ikutan berdebat dan menyalahkan. Selama ini mungkin aku sibuk cari ilmu untuk menjatuhkan orang lain. Bukan untuk semakin dekat kepada Tuhanku.
Dan kemarin aku dapat nasihat dari seseorang yang tingkat ma’rifatullahnya kunilai sudah sangat tinggi. Dia bertanya padaku, dengan sebuah kalimat retoris,
“ Tahukah kamu, betapa banyak orang yang meminta minimal tujuh belas kali sehari dengan penuh harap, “Ihdinash shiraathal mustaqiim”, namun kau lihat mereka mati dengan penuh ketenangan dalam jama’ah yang berbeda. Apakah berarti Allah tidak mengabulkan permohonan mereka? Siapa yang salah di antara mereka? Pernahkah kamu berfikir bahwa di mata Allah bisa jadi mereka semua benar?”
“Kebenaran seringkali bermakna ganda. Seperti Rasulullah berkata pada orang-orang yang shalat Ashar di Bani Quraidhah dan yang shalat di perjalanan sesuai yang Rasulullah minta....”kamu benar, dan kamu benar”, padahal mereka melakukan hal yang berbeda. Maksud mereka satu, menjalankan perintah Rasul. Namun di antara mereka terjadi perbedaan paham tentang apa yang Rasul katakan. Dan ternyata, tidak ada masalah.”
“Kebenaran adalah sesuatu yang membawa ketenangan. Tenang karena keyakinan bahwa Allah Maha Tahu akan segala ilmu dan amal kita, disertai keyakinan bahwa Allah selalu meridhai gerak langkah kita”
Kubayangkan wajah-wajah tenang dan sabar dari sahabatku dan guru-guruku. Mereka berbeda pemahaman, namun satu persamaan yang kurasakan, yakni mereka punya ketenangan dan keikhlasan.

Yah...kucoba untuk mengerti dan aku mau mencoba untuk menjadi orang yang sabar. Biarlah aku dengan pemahamanku, sahabatku dengan keyakinannya. Selama Allah jadi tujuan, Insya Allah suatu saat kita akan bertemu. Namun sabar bukan berarti menyerah dan berdiam diri. Bila teman kita memang salah, ingatkanlah dengan nash-nash yang kita yakin keshahihannya. Bila kita tak tahu ilmunya, diamlah dan carilah ilmunya. Bila teman kita tak mau menerima, biarlah...do’akanlah agar Allah menunjukkan kebenaran kepada kita dan kepadanya. Al Haqqu min rabbikum.
Jalinlah selalu persaudaraan kita dengannya.
Biarlah kita dianggap kafir, biarlah kita dianggap ahli bid’ah, biarlah kita dianggap sesat. Asal jangan membuat kita membenci mereka. Carilah ilmunya karena bisa jadi apa yang mereka katakan itu benar. Berterimakasihlah pada mereka karena mereka telah mengingatkan kita. Merekanya? Biarlah....itu bukan urusan kita.
Janganlah kita coba mempengaruhi orang lain agar tidak mendekati suatu golongan, bila itu hanya karena nafsu, hanya karena kita punya pengalaman pahit dengan golongan tersebut. Biarlah orang lain berfikir sendiri dan tidak taqlid baik kepada kita maupun kepada mereka. Sampaikanlah apa yang kita faham, tanpa pemaksaan. Jangan tuduh orang lain sebagai pemecah belah ummat, karena bisa jadi justru kitalah pengacaunya.
Kadang kulihat adik-adik asuhanku itu, teman-temanku yang Study Oriented, atau yang sehari-harinya ngeceng di mall, dengan pandangan iri. Mereka mungkin tak pernah bermasalah, seperti aku bermasalah dengan teman-temanku yang berbeda harokah. Ditanya ‘harokah’ itu apa, mungkin mereka berpikir apakah itu sejenis makanan laut? Atau gorengan?
Segera kutepis rasa iriku. Tidak, aku justru harus bersyukur, karena aku kaya dengan orang-orang yang mengingatkan, mengajakku ngaji ke sana kemari, meminjamiku buku-buku, kaset, dan majalah-majalahnya, dan mendo’akanku agar diberi hidayah oleh-Nya. Alhamdulillah.
Satu hal lagi, aku nggak mau jadi gila karena aku tak menyerahkan permasalahanku pada Dia Yang Maha Tahu.
---------------------------------------------------------------
Plok..plok..plok....ha..ha..ha....
Perenunganku buyar karena keramaian di rumah sebelah. Suara tawa, gitar, musik yang distel keras, tepukan tangan, suara motor.....
“Selamat... ulang tahun, kami ucapkan....”
Oh....tampaknya putri tetanggaku merayakan ulang tahunnya. Sweet seventeen kali, abis dia anak tiga es-em-a.
Kulihat lewat jendela. Tampak remaja-remaja belasan tahun dengan pakaian pestanya. Beberapa diantaranya memarkir mobil di depan rumahku. Titik-titik merah api rokok. Suara tawa lepas.
ALLAHU AKBAR...ALLAHU AKBAR...
Adzan Isya berkumandang...
Jreng...jreng...gitar pun semakin keras.
Astaghfirullah....Sebetulnya merekalah yang lebih berhak kupikirkan.
***

Tidak ada komentar: