***
Cara pertama bagaimana mengendalikan diri adalah mengenali diri
Sudah?
***
Senin, 28 Februari 2011
Senin, 21 Februari 2011
gak percaya diri?
***
Suka heran sama yang gak berani ngomong sama seseorang. Padahal mah tinggal ambil sesuatu dari orang itu lantas selesai. Alasannya belum kenal, sungkan.
Lha yang seperti itu bukankah harus diawali? Harus kenalan? Harus menyesuaikan diri?
Apa susahnya siiiiihhh?
Ya mungkin gak semua orang seperti saya yang sok kenal sok deket aja sama orang. Sok tau pula. Tapi kan ya apa alasannya gak pede di depan orang? Cuma ngomong doang kok.
Semua manusia itu sama. Gelar mah cuma tambahan nama. Cantik ganteng itu cuma hiasan. Jabatan mah cuma pelengkap hidup. Pede aja lagi.
***
Suka heran sama yang gak berani ngomong sama seseorang. Padahal mah tinggal ambil sesuatu dari orang itu lantas selesai. Alasannya belum kenal, sungkan.
Lha yang seperti itu bukankah harus diawali? Harus kenalan? Harus menyesuaikan diri?
Apa susahnya siiiiihhh?
Ya mungkin gak semua orang seperti saya yang sok kenal sok deket aja sama orang. Sok tau pula. Tapi kan ya apa alasannya gak pede di depan orang? Cuma ngomong doang kok.
Semua manusia itu sama. Gelar mah cuma tambahan nama. Cantik ganteng itu cuma hiasan. Jabatan mah cuma pelengkap hidup. Pede aja lagi.
***
Kamis, 17 Februari 2011
belajar yu belajar
***
Ternyata mulai dari maghrib sampai anak-anak tidur itu saya mesti stand by. Jangan kerjakan pekerjaan rumah (cuci piring, nyetrika, dsb) kalau tidak mendesak.
Arif Sofi lebih terdorong untuk belajar bila saya tampak available untuk menemani.
Saya dengan gaya saya yang bisa membuat mereka tertawa. Ditambah selingan dari Papanya yang suka nyeletuk, nyela atau menimpali.
Senang bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak di tengah belajarnya..hihi...
Semoga kamu bisa menjawab ulangan hari ini kalau ditanya apa itu palung, ya Rif... tapi jangan jawab seperti apa kata Umi ya.. (Palung itu suaminya Bulung, bapaknya Kaklung...)
***
Ternyata mulai dari maghrib sampai anak-anak tidur itu saya mesti stand by. Jangan kerjakan pekerjaan rumah (cuci piring, nyetrika, dsb) kalau tidak mendesak.
Arif Sofi lebih terdorong untuk belajar bila saya tampak available untuk menemani.
Saya dengan gaya saya yang bisa membuat mereka tertawa. Ditambah selingan dari Papanya yang suka nyeletuk, nyela atau menimpali.
Senang bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak di tengah belajarnya..hihi...
Semoga kamu bisa menjawab ulangan hari ini kalau ditanya apa itu palung, ya Rif... tapi jangan jawab seperti apa kata Umi ya.. (Palung itu suaminya Bulung, bapaknya Kaklung...)
***
Selasa, 08 Februari 2011
nyetrika online
***
Itu cuma istilah saya untuk sebuah pekerjaan menyetrika sambil buka laptop, menyalakan facebook, twitter, sekaligus YM. Sambungan kabel dibutuhkan dalam pekerjaan ini, dan tertutup kemungkinan bagi selesainya nyetrika online bila listrik padam.
Nyetrika online adalah salah satu cara agar nyetrika anda lebih menyenangkan.
Maaf. Maksud saya: agar saya lebih senang menyetrika.
Saya menyetrika dalam keadaan senang. Maksud saya begitu.
Bila kita bekerja dengan hati senang, maka pekerjaan apapun akan terasa lebih cepat selesai dan hasilnya memuaskan.
Mengapa saya angkat tema ini dalam note saya, berhubung saya paling malas menyetrika. Saya tidak bermaksud mewakili ibu-ibu sekalian yang bernasib sama seperti saya. Maksud nasib dalam hal ini adalah:
1. Status berkeluarga (entah itu keluarga sendiri atau keluarga orang tua), sehingga pakaian yang harus disetrika tak hanya punya sendiri, tapi juga suami dan anak-anak, mamah bapa, adik atau kaka.
2. Tidak punya khadimat/asisten/pembantu/si bibi/ si mba untuk menyetrika
3. Merasa sayang duit kalau harus titip setrika ke usaha laundry. Mending duitna jang balanja.
Ya saya tidak mewakili para perempuan yang bernasib sama seperti saya itu. Karena bisa jadi mereka mah senang menyetrika. Contohnya saja mamah saya. Bukan bohong bukan sulap, tapi beliau sempat mengakui di hadapan saya kalau nyetrika adalah hobi beliau, disamping hobi-hobinya yang lain yaitu mencuci, menyapu, mengepel, ngored, dan ngelap kaca (mamah.. mamah.. jangan salahkan putrimu jika kini jadi pamalesan, mamah.....)
Kenapa nyetrika jadi tidak menyenangkan? Adalah pertama karena panas, kedua karena harus satu-satu, ketiga karena harus berada dalam posisi yang sama bermenit-menit bahkan berjam-jam, keempat karena biasanya numpuk, kelima karena gak ada yang muji (Gak seperti masak atau menyulam dan menjahit yang ada bahan buat pipujieun).
Sok bayangkan.. ada engga suami yang bilang “Mamah.. rapi sekali baju ini.. mamah pinter deh nyetrikanya..”. Kalau ada.. kasihan sekali si mamah tersebut karena mendapatkan suami yang lebay.
Oleh karena itulah pekerjaan menyetrika ini pasti jadi pekerjaan utama dari sang asisten rumah tangga. Ada loh yang sampai sengaja mendatangkan tenaga dari luar untuk nyetrika thok, saking menyetrika adalah pekerjaan yang dianggap teramat berat dalam sebuah rumah tangga.
Namun ternyata nyetrika bisa dibuat lebih menyenangkan. Apalagi jaman sekarang. TV ada, radio ada, MP3 ada, internet ada... ada pelicin, pelembut, pewangi... setrikanya pun ringan sampe bisa dilepas jalan sendiri (di iklan pelicin)
Bayangkanlah... jaman dahulu kala... saat panasnya nyetrika harus pake bakar areng. “Arang” bahasa indonesianya mah. Arengnya dimasukin ke setrikaan yang segede kucing, dan seberat kucing juga.
Atau kalo engga.... pake botol sirop (kosong) yang dipanasin. Bakar botolnya hingga cukup panas.. lalu botolnya digorolong-gorolong di atas baju..... ayayayayyy... betapa hebatnya ibu-ibu jaman dulu ya?
Eh, jadi inget dulu juga jaman saya belom sekolah, saat setrikaan udah pake listrik, tapi bobot setrikanya masih berat juga.
Kalau mamah nyetrika teh ya.. maka saya berganti pakaian, mengenakan baju long dress umpak-umpak ala cinderella, pakai kaus kaki berenda, terus pakai sepatu. Kemudian saya menyanyi belasan lagu anak-anak di belakang mamah yang meja setrikanya menghadap dinding di dekat dapur. Saya naik ke atas panggung berupa sebuah jojodog (kursi kecil) hijau plastik, dan kemudian menyanyilah saya.
Lagunya pasti sudah tak asing lagi, dari mulai cicak-cicak di dinding, lihat kebunku, sampe beberapa lagu wajib nasional. Tak lupa saya menerima request dari mamah.
Apakah mamah merasa terhibur atau tidak, itu bukan urusan saya.
Sungguh disayangkan, bakat menyanyi setrika itu ternyata tak menurun pada Sofi, anak perempuan saya. Sofi lebih suka menyanyi pada saat saya menjemur pakaian di belakang rumah. Tapi itupun tak berlangsung lama. Setelah dia masuk TK, bakat menyanyi itu pun dia pendam saja.
Terpaksa saya sekarang harus mencari hiburan lain, apalagi pas anak-anak sekolah. Akhirnya pilihan saya jatuh pada facebook, twitter, dan YM.
Chatting dan facebookan dari sebagian besar sisi menurut saya adalah lebih baik daripada nonton sinetron ataupun infotainment, terutama untuk saya yang tak bisa hidup hanya untuk memikirkan diri sendiri (jiahhh..). Di fb maupun twitter toh segala ada. Saat ini seringkali saya nerima berita pertama kali justru dari status orang. Kebetulan saya punya temen-temen yang pada apdet gitulah. Plus twitter yang menyajikan headline berita terbaru.
Itu .. gimana ngaturnya antara laptop dan setrika?
Ya biasa aja kali... setrika di tangan kanan, laptop asal bisa dilihat dan dibaca huruf-hurufnya.
Bila perlu mengetik, saya mengetik sepuluh jari dengan kecepatan 52 huruf per menit, kemudian segera kembali ke setrika yang tadi saya simpan di sebelah kanan.
Koordinasi tangan, mata, dan pikiran amat diperlukan dalam hal ini agar pakaian tidak jadi hangus.
Banyak hal yang menguntungkan sebenernya dari menyetrika, bila kita menghayatinya:
1. Setiap kita menyetrika sebuah baju, bayangkanlah .. misal Sofi yang memakai kerudung cantik ini.. atau betapa gantengnya suami yang mengenakan baju ini saat dia di kantor..(hedeeh..)
2. Kita bisa nemuin duit, biasanya di kantong celana panjang suami.. hihi.. Tapi jangan ditilep, Bu! Berikanlah pada yang bersangkutan saat pulang kerja, untuk menunjukkan bahwa kita adalah gadis jujur (what?)
3. Bisa tau bagian-bagian yang masih kotor, atau ada yang sobek, di baju orang-orang yang kita sayangi itu, kemudian cucilah kembali atau jahitlah (mun aya kahayang)
4. Pakaian menjadi rapi dan bersih karena kuman-kumannya mati (sumber: buku PKK SD)
Oya, dengan nyetrika online ini kita bisa juga pasang status di facebook. Biar dunia tau bahwa kita sedang nyetrika. Maklumlah ibu-ibu rumah tangga ini memang adalah makhluk yang tersimpan rapi di dalam rumah tanpa ada orang yang tau betapa mereka banyak melakukan kebajikan.
Hati-hati dengan niatmu jika akan pasang status 'nyetrika' ini, karena bisa jadi mun tujuannya hayang kapuji, maka tak kan ada pahala untuk kebajikanmu itu.
Ah kalau saya lagi nulis tentang anak dan rumah tangga seperti ini, saya suka inget sama ibu-ibu jaman nenek saya yang anaknya berbelas-belas itu. Gimana nyetrika bajunya? Hihi. Mangkaning dulu mah belom ada jetpump ataupun mesin cuci. Lantas gimana nyucinya?
Tapi ya kok anak-anak mereka rata-rata pada bageur dan 'jadi orang' semua? Rumah tangganya tampak damai tentram begitu... hmmm...
Kata ustadzah barusan sih, di kajian parenting yang saya ikuti, ibu-ibu jaman dulu sama sekarang itu bedanya adalah, ibu-ibu jaman dulu itu TULUS, BAHAGIA, dan BANGGA menjadi ibu rumah tangga.
Huff.. jadi "ibu rumah tangga biasa" memang sekarang seperti sudah "tidak zamannya" lagi ya? Sepertinya tidak banyak ibu-ibu yang betah dan konsen dengan urusan rumah tangganya, dengan suami dan anak-anaknya. Banyak gawang yang ditinggalkan kipernya. Cenah gitu.
Tapi jangan salah juga... kata ustadzah lagi..
ibu-ibu bekerja di luar rumah itu jauh jauh jauh lebih mending daripada ibu yang ngakunya ibu rumah tangga tapi pikiran dan hatinya tidak di rumahnya sendiri. Ibu bekerja mah jelas-jelas tiap bulannya ngehasilin duit... Lha ini ibu-ibu rumah tangga yang kerjaannya gak jelas?... duit euweuh... barudak teu kaurus... imah pabalatak... halaaaah... bade ka maaaana atuh Ibuuuu???
* ceuk si Irma bari ngaca *
Hohoho.. ya sudahlah..
Ibu-ibu ... sudah siang nih..panas terik pula.. pasti jemuran udah pada kering (mun tadi pagi nyeuseuh)
Sok nyetrika sok... da di rumah saya kebetulan lagi pareum listrik .. Ini juga nyalain laptop di detik-detik terakhir saja sebelum baterenya habis..
Hidup PLN !!
***
Itu cuma istilah saya untuk sebuah pekerjaan menyetrika sambil buka laptop, menyalakan facebook, twitter, sekaligus YM. Sambungan kabel dibutuhkan dalam pekerjaan ini, dan tertutup kemungkinan bagi selesainya nyetrika online bila listrik padam.
Nyetrika online adalah salah satu cara agar nyetrika anda lebih menyenangkan.
Maaf. Maksud saya: agar saya lebih senang menyetrika.
Saya menyetrika dalam keadaan senang. Maksud saya begitu.
Bila kita bekerja dengan hati senang, maka pekerjaan apapun akan terasa lebih cepat selesai dan hasilnya memuaskan.
Mengapa saya angkat tema ini dalam note saya, berhubung saya paling malas menyetrika. Saya tidak bermaksud mewakili ibu-ibu sekalian yang bernasib sama seperti saya. Maksud nasib dalam hal ini adalah:
1. Status berkeluarga (entah itu keluarga sendiri atau keluarga orang tua), sehingga pakaian yang harus disetrika tak hanya punya sendiri, tapi juga suami dan anak-anak, mamah bapa, adik atau kaka.
2. Tidak punya khadimat/asisten/pembantu/si bibi/ si mba untuk menyetrika
3. Merasa sayang duit kalau harus titip setrika ke usaha laundry. Mending duitna jang balanja.
Ya saya tidak mewakili para perempuan yang bernasib sama seperti saya itu. Karena bisa jadi mereka mah senang menyetrika. Contohnya saja mamah saya. Bukan bohong bukan sulap, tapi beliau sempat mengakui di hadapan saya kalau nyetrika adalah hobi beliau, disamping hobi-hobinya yang lain yaitu mencuci, menyapu, mengepel, ngored, dan ngelap kaca (mamah.. mamah.. jangan salahkan putrimu jika kini jadi pamalesan, mamah.....)
Kenapa nyetrika jadi tidak menyenangkan? Adalah pertama karena panas, kedua karena harus satu-satu, ketiga karena harus berada dalam posisi yang sama bermenit-menit bahkan berjam-jam, keempat karena biasanya numpuk, kelima karena gak ada yang muji (Gak seperti masak atau menyulam dan menjahit yang ada bahan buat pipujieun).
Sok bayangkan.. ada engga suami yang bilang “Mamah.. rapi sekali baju ini.. mamah pinter deh nyetrikanya..”. Kalau ada.. kasihan sekali si mamah tersebut karena mendapatkan suami yang lebay.
Oleh karena itulah pekerjaan menyetrika ini pasti jadi pekerjaan utama dari sang asisten rumah tangga. Ada loh yang sampai sengaja mendatangkan tenaga dari luar untuk nyetrika thok, saking menyetrika adalah pekerjaan yang dianggap teramat berat dalam sebuah rumah tangga.
Namun ternyata nyetrika bisa dibuat lebih menyenangkan. Apalagi jaman sekarang. TV ada, radio ada, MP3 ada, internet ada... ada pelicin, pelembut, pewangi... setrikanya pun ringan sampe bisa dilepas jalan sendiri (di iklan pelicin)
Bayangkanlah... jaman dahulu kala... saat panasnya nyetrika harus pake bakar areng. “Arang” bahasa indonesianya mah. Arengnya dimasukin ke setrikaan yang segede kucing, dan seberat kucing juga.
Atau kalo engga.... pake botol sirop (kosong) yang dipanasin. Bakar botolnya hingga cukup panas.. lalu botolnya digorolong-gorolong di atas baju..... ayayayayyy... betapa hebatnya ibu-ibu jaman dulu ya?
Eh, jadi inget dulu juga jaman saya belom sekolah, saat setrikaan udah pake listrik, tapi bobot setrikanya masih berat juga.
Kalau mamah nyetrika teh ya.. maka saya berganti pakaian, mengenakan baju long dress umpak-umpak ala cinderella, pakai kaus kaki berenda, terus pakai sepatu. Kemudian saya menyanyi belasan lagu anak-anak di belakang mamah yang meja setrikanya menghadap dinding di dekat dapur. Saya naik ke atas panggung berupa sebuah jojodog (kursi kecil) hijau plastik, dan kemudian menyanyilah saya.
Lagunya pasti sudah tak asing lagi, dari mulai cicak-cicak di dinding, lihat kebunku, sampe beberapa lagu wajib nasional. Tak lupa saya menerima request dari mamah.
Apakah mamah merasa terhibur atau tidak, itu bukan urusan saya.
Sungguh disayangkan, bakat menyanyi setrika itu ternyata tak menurun pada Sofi, anak perempuan saya. Sofi lebih suka menyanyi pada saat saya menjemur pakaian di belakang rumah. Tapi itupun tak berlangsung lama. Setelah dia masuk TK, bakat menyanyi itu pun dia pendam saja.
Terpaksa saya sekarang harus mencari hiburan lain, apalagi pas anak-anak sekolah. Akhirnya pilihan saya jatuh pada facebook, twitter, dan YM.
Chatting dan facebookan dari sebagian besar sisi menurut saya adalah lebih baik daripada nonton sinetron ataupun infotainment, terutama untuk saya yang tak bisa hidup hanya untuk memikirkan diri sendiri (jiahhh..). Di fb maupun twitter toh segala ada. Saat ini seringkali saya nerima berita pertama kali justru dari status orang. Kebetulan saya punya temen-temen yang pada apdet gitulah. Plus twitter yang menyajikan headline berita terbaru.
Itu .. gimana ngaturnya antara laptop dan setrika?
Ya biasa aja kali... setrika di tangan kanan, laptop asal bisa dilihat dan dibaca huruf-hurufnya.
Bila perlu mengetik, saya mengetik sepuluh jari dengan kecepatan 52 huruf per menit, kemudian segera kembali ke setrika yang tadi saya simpan di sebelah kanan.
Koordinasi tangan, mata, dan pikiran amat diperlukan dalam hal ini agar pakaian tidak jadi hangus.
Banyak hal yang menguntungkan sebenernya dari menyetrika, bila kita menghayatinya:
1. Setiap kita menyetrika sebuah baju, bayangkanlah .. misal Sofi yang memakai kerudung cantik ini.. atau betapa gantengnya suami yang mengenakan baju ini saat dia di kantor..(hedeeh..)
2. Kita bisa nemuin duit, biasanya di kantong celana panjang suami.. hihi.. Tapi jangan ditilep, Bu! Berikanlah pada yang bersangkutan saat pulang kerja, untuk menunjukkan bahwa kita adalah gadis jujur (what?)
3. Bisa tau bagian-bagian yang masih kotor, atau ada yang sobek, di baju orang-orang yang kita sayangi itu, kemudian cucilah kembali atau jahitlah (mun aya kahayang)
4. Pakaian menjadi rapi dan bersih karena kuman-kumannya mati (sumber: buku PKK SD)
Oya, dengan nyetrika online ini kita bisa juga pasang status di facebook. Biar dunia tau bahwa kita sedang nyetrika. Maklumlah ibu-ibu rumah tangga ini memang adalah makhluk yang tersimpan rapi di dalam rumah tanpa ada orang yang tau betapa mereka banyak melakukan kebajikan.
Hati-hati dengan niatmu jika akan pasang status 'nyetrika' ini, karena bisa jadi mun tujuannya hayang kapuji, maka tak kan ada pahala untuk kebajikanmu itu.
Ah kalau saya lagi nulis tentang anak dan rumah tangga seperti ini, saya suka inget sama ibu-ibu jaman nenek saya yang anaknya berbelas-belas itu. Gimana nyetrika bajunya? Hihi. Mangkaning dulu mah belom ada jetpump ataupun mesin cuci. Lantas gimana nyucinya?
Tapi ya kok anak-anak mereka rata-rata pada bageur dan 'jadi orang' semua? Rumah tangganya tampak damai tentram begitu... hmmm...
Kata ustadzah barusan sih, di kajian parenting yang saya ikuti, ibu-ibu jaman dulu sama sekarang itu bedanya adalah, ibu-ibu jaman dulu itu TULUS, BAHAGIA, dan BANGGA menjadi ibu rumah tangga.
Huff.. jadi "ibu rumah tangga biasa" memang sekarang seperti sudah "tidak zamannya" lagi ya? Sepertinya tidak banyak ibu-ibu yang betah dan konsen dengan urusan rumah tangganya, dengan suami dan anak-anaknya. Banyak gawang yang ditinggalkan kipernya. Cenah gitu.
Tapi jangan salah juga... kata ustadzah lagi..
ibu-ibu bekerja di luar rumah itu jauh jauh jauh lebih mending daripada ibu yang ngakunya ibu rumah tangga tapi pikiran dan hatinya tidak di rumahnya sendiri. Ibu bekerja mah jelas-jelas tiap bulannya ngehasilin duit... Lha ini ibu-ibu rumah tangga yang kerjaannya gak jelas?... duit euweuh... barudak teu kaurus... imah pabalatak... halaaaah... bade ka maaaana atuh Ibuuuu???
* ceuk si Irma bari ngaca *
Hohoho.. ya sudahlah..
Ibu-ibu ... sudah siang nih..panas terik pula.. pasti jemuran udah pada kering (mun tadi pagi nyeuseuh)
Sok nyetrika sok... da di rumah saya kebetulan lagi pareum listrik .. Ini juga nyalain laptop di detik-detik terakhir saja sebelum baterenya habis..
Hidup PLN !!
***
Jumat, 04 Februari 2011
anaknanyakamuyangtanggungjawabya!
***
“Konsumsi itu apa Mi?”, tanya Sofi sambil mengalihkan pandangannya dari sebuah brosur ke arah saya.
“Makanan”, jawab saya cepat.
Sofi kembali membaca brosur suplemen kalsium yang sedari tadi dipegangnya.
“Kopi itu kan minuman? Masa dimakan?”, tanya dia lagi.
“Kalimatnya gimana?”, tanya saya (yang akhirnya) memberi perhatian penuh padanya.
“KURANGI KONSUMSI KOPI”, Sofi membacakan.
“Oh iya... konsumsi itu bisa makan atau minum”, jawab saya lagi.
"hehehe.. kurangi konsumsi kopi... hehehe", kata Sofi sambil melirik ke arah saya. Dia tau saya penggemar berat kopi. Phew..
“Fashion itu apa Mi?” tanya Sofi lagi.
Dia membaca salah satu spanduk di depan sebuah factory outlet.
“Baju.. model baju.. seperti itulah..”, jawab saya.
Sofi diam lagi.
“Apartemen itu apa Mi?”
“Banyak rumah, tapi ada di satu gedung, Kalo kita masuk apartemen kayak kita masuk hotel gitu. Tiap kamar, itu rumahnya.. Tuh.. itu tuh apartemennya”, jawab saya menunjuk keluar jendela mobil.
“Aneh..”, komentar Sofi singkat.
Tiga pertanyaan itu terlontar hanya pada sekali jalan waktu kami berangkat ke kolam renang kemarin siang. Sofi membaca brosur yang tergeletak di mobil, dan membaca hampir semua tulisan yang dia lihat dari balik kaca jendela.
Dan Baru kemarin itulah saya ngeh, ternyata banyak sekali yang Arif Sofi tanyakan akhir-akhir ini. Beberapa bulan terakhir ini lah, terutama sejak Sofi kelas satu, dan mulai rajin membaca.
Pertanyaan hanya dari Arif saja cukup bisa saya jawab dan lupakan. Tapi setelah Sofi memulai aksi wawancaranya, mulai kerasa tiap hari saya harus menjawab minimal 5 buah pertanyaan dari mereka berdua.
Sofi masih bertanya definisi dengan kata tanya “apa”.
Arif mulai bertanya tentang hubungan antar kejadian (mengamati fenomena) dengan kata tanya “kenapa”.
Saya lupa apa pertanyaan Arif. Tapi ya semacam yang di serial note saya yang judulnya: Ariif.. Arif ^^ gitulah. Kadang Arif mah udah campur tebak-tebakan juga, jadi lieur saya.
Saat mereka bertanya, saya terpaksa harus berpikir cepat.
Kata-kata yang biasa terlontar, ataupun fenomena yang biasa terlihat, kini harus saya definisikan dan dijelaskan dalam bahasa anak.
Saat mereka bertanya apa artinya ciut, limit, air mani, maulid, wahyu.. dst dsb dll, seakan otak ini harus “searching” dengan cepat. Ditunggu oleh tatapan mata anak... ohh.. come on! Ummi ini bukan google, wikipedi, tau ensiklopedi! Plis diiih...
Tapi apa daya... masa iya anak di perjalanan bertanya lantas kita bilang “nanti di rumah kita search di internet ya!” .. Euh atuh ka maaana internet? kaburu poho budakna oge.
Usia Arif (8 tahun) dan Sofi (6 tahun), memang secara fisik saya bisa santai. Mereka sudah tidak lagi harus diawasi jika naik tangga, naik kursi, ke kamar mandi, buka pintu rumah, dsb. Tapi ternyata saya harus beralih pada pengawasan terhadap hal-hal lain yang tidak kasat mata, yaitu jalan pikiran serta manajemen emosi mereka. Heu... beratnya karena jalan pikiran dan manajemen emosi saya sendiri sebagai uminya juga sama-sama harus dijaga..
Pas kita baca situs-situs parenting, dan juga dengar kajian parenting... kelihatannya ya kok asik ya, tinggal gitu aja. Apalagi pas ikut kajian offline … wuiiihhh.... SEMANGAATTTT IBU IBUUU!!! Kadang sampai berurai-urai air mata gitu kita saking lebaynya.
Yeee, ai pek teh...pas nyampe rumah … ketemu anak... pas anaknya lagi nyebelin, pas kitanya cape, pas suami lagi banyak maunya... heuuuu... gubrak dah.
Bener kata seorang ustadzah, jadi ibu itu bukan teori, tapi aplikasi.
Aplikasi butuh teori. Teori juga butuh aplikasi.
Tapi jangan terlalu cemas juga karena sampai saat ini memang sekolah parenting sulit dicari. Kalaupun ada biayanya mahal. Seminar parenting? Biayanya seringkali sampai ratusan ribu rupiah!
” Sok we seminar.... ari budak dahar naon?,” ujar seorang ibu rumah tangga berwajah innocent bernama Irma Vitriani Susanti. Hahah.
Sebenarnya setiap kita bisa, karena kita dikaruniai insting sebagai ibu.
Tanpa teori parenting itu pun, seorang ibu bisa kok mendidik anak-anaknya dengan baik. Saya terkadang mengistilahkan teori parenting itu dengan “ilmiahisasi insting”. Hahaha.
Kalau hati ibu sudah bersih, ikhlas, bertauhid (tak usahlah peduli pada tingkat pendidikan formal), insyaa Allah anak-anaknya jadi anak yang shalih dan shalihah. Bukankah itu yang kita semua mau ya?
Ah, silahkan saja didebat pernyataan saya ini oleh rekan-rekan sejawat.
Saya memang harus bersyukur bila Arif dan Sofi masih percaya untuk bertanya pada saya tentang apapun. Karena mereka belum bisa kayak saya, yang kalau nanya tentang penyakit, ya ke temen saya yang dokter. Kalau nanya tentang masalah psikologi, ya ke temen saya yang sekolahnya di psikologi. Kalau saya tanya tentang cetakan, ya ke temen saya yang di percetakan.
Kalau anak? “Meneketehe?” ceuk Arif Sofi teh . Di depan mereka adanya umi, ya tanya ke umi... adanya papah, ya ke papah,...kalau adanya nenek, ya ke nenek... kalau adanya aki ya tanya ke aki..
Mamah saya tuh yang sering ngadu ke saya kalo udah cape ngelayanin pertanyaan Arif, pas saya tinggal Arif bareng neneknya itu.
“Ntar tanya aja ke umi”, kata mamah menyerah.
Bagaimana kalau yang ada si mbak pengasuh? Mungkin bertanya pada mbaknya itu ya?
Masih mending bertanya deng. Barangkali lebih khawatir lagi kalau anak memendam pertanyaannya sendiri, mencari sendiri, dan menyimpulkan sendiri. Mending kalau sebatas bertanya tentang 'konsumsi'. Bagaimana kalau pertanyaan Arif yang kemaren-kemaren itu tentang 'sperma' atau 'haid'? Atau yang semacam itulah yang bisa jadi mengarahnya ke arah yang gelap.. hihi.
Lha kalau search di google image dengan kata 'bunga' saja yang keluarnya foto BCL syurr... apalagi search istilah yang sudah 'mengarah' begitu yak...(eit eitt... yang tidak berkepentingan dilarang search lho ya... hahahaha)
Beberapa waktu lalu saya ikut kajian parenting tentang pentingnya mendampingi anak dalam masa kritis. Yaitu saat
1. anak sakit
2. anak memiliki masalah
3. anak menuju baligh
4. anak menghadapi test/ ujian
5. anak menjelang pernikahan
Selasa kemarin baru membahas poin 1-4... kemungkinan selasa yang akan datang, akan dibahas poin 5.
Intinya memang bagaimana sang anak bisa percaya penuh pada orangtuanya, dan menjadikan orang tua sebagai tempat mereka kembali.
Fiuuuhhh....masalah parenting, seringkali melahirkan rasa paranoid. Ketakutan yang berlebihan saat kita menyadari bahwa ternyata kehadiran kita sangat dibutuhkan oleh anak untuk menjaga setiap langkahnya. Mana bisa?
Bila demikian, satu saja yang kita andalkan, yaitu do'a. Mohonkanlah penjagaan Allah atas pendengaran, penglihatan, lisan, dan hati anak-anak kita. Bila Allah telah menjaganya, tak kan ada lagi yang bisa mengganggunya.
Hmmm..... baiklah. Kita tarik ulur aja anak kita ya? Kayak maen layangan gitu....
tarik tarik tarikk... bila mulai terlihat meluncur jatuh....
dan ulur-ulur ulur..... biarkan... layangan itu meninggi... menikmati anginnya....
bila ada layangan lain mendekat, kita waspada...
bila sudah mantap, kita tinggal manteng aja...
bagaimanapun layangan tetap jauh di atas, tertiup angin kencang, tapi talinya tetap kita pegang.
Dan bila matahari hampir tenggelam... tariklah dia, bawalah dia kembali ke rumah.
Semoga layangan kita tak putus diambil orang.
--Lohhh... kalau gitu Arif dan Sofi.. 4nak L4Yangan doooong? … jhahaha cpde---
***
“Konsumsi itu apa Mi?”, tanya Sofi sambil mengalihkan pandangannya dari sebuah brosur ke arah saya.
“Makanan”, jawab saya cepat.
Sofi kembali membaca brosur suplemen kalsium yang sedari tadi dipegangnya.
“Kopi itu kan minuman? Masa dimakan?”, tanya dia lagi.
“Kalimatnya gimana?”, tanya saya (yang akhirnya) memberi perhatian penuh padanya.
“KURANGI KONSUMSI KOPI”, Sofi membacakan.
“Oh iya... konsumsi itu bisa makan atau minum”, jawab saya lagi.
"hehehe.. kurangi konsumsi kopi... hehehe", kata Sofi sambil melirik ke arah saya. Dia tau saya penggemar berat kopi. Phew..
“Fashion itu apa Mi?” tanya Sofi lagi.
Dia membaca salah satu spanduk di depan sebuah factory outlet.
“Baju.. model baju.. seperti itulah..”, jawab saya.
Sofi diam lagi.
“Apartemen itu apa Mi?”
“Banyak rumah, tapi ada di satu gedung, Kalo kita masuk apartemen kayak kita masuk hotel gitu. Tiap kamar, itu rumahnya.. Tuh.. itu tuh apartemennya”, jawab saya menunjuk keluar jendela mobil.
“Aneh..”, komentar Sofi singkat.
Tiga pertanyaan itu terlontar hanya pada sekali jalan waktu kami berangkat ke kolam renang kemarin siang. Sofi membaca brosur yang tergeletak di mobil, dan membaca hampir semua tulisan yang dia lihat dari balik kaca jendela.
Dan Baru kemarin itulah saya ngeh, ternyata banyak sekali yang Arif Sofi tanyakan akhir-akhir ini. Beberapa bulan terakhir ini lah, terutama sejak Sofi kelas satu, dan mulai rajin membaca.
Pertanyaan hanya dari Arif saja cukup bisa saya jawab dan lupakan. Tapi setelah Sofi memulai aksi wawancaranya, mulai kerasa tiap hari saya harus menjawab minimal 5 buah pertanyaan dari mereka berdua.
Sofi masih bertanya definisi dengan kata tanya “apa”.
Arif mulai bertanya tentang hubungan antar kejadian (mengamati fenomena) dengan kata tanya “kenapa”.
Saya lupa apa pertanyaan Arif. Tapi ya semacam yang di serial note saya yang judulnya: Ariif.. Arif ^^ gitulah. Kadang Arif mah udah campur tebak-tebakan juga, jadi lieur saya.
Saat mereka bertanya, saya terpaksa harus berpikir cepat.
Kata-kata yang biasa terlontar, ataupun fenomena yang biasa terlihat, kini harus saya definisikan dan dijelaskan dalam bahasa anak.
Saat mereka bertanya apa artinya ciut, limit, air mani, maulid, wahyu.. dst dsb dll, seakan otak ini harus “searching” dengan cepat. Ditunggu oleh tatapan mata anak... ohh.. come on! Ummi ini bukan google, wikipedi, tau ensiklopedi! Plis diiih...
Tapi apa daya... masa iya anak di perjalanan bertanya lantas kita bilang “nanti di rumah kita search di internet ya!” .. Euh atuh ka maaana internet? kaburu poho budakna oge.
Usia Arif (8 tahun) dan Sofi (6 tahun), memang secara fisik saya bisa santai. Mereka sudah tidak lagi harus diawasi jika naik tangga, naik kursi, ke kamar mandi, buka pintu rumah, dsb. Tapi ternyata saya harus beralih pada pengawasan terhadap hal-hal lain yang tidak kasat mata, yaitu jalan pikiran serta manajemen emosi mereka. Heu... beratnya karena jalan pikiran dan manajemen emosi saya sendiri sebagai uminya juga sama-sama harus dijaga..
Pas kita baca situs-situs parenting, dan juga dengar kajian parenting... kelihatannya ya kok asik ya, tinggal gitu aja. Apalagi pas ikut kajian offline … wuiiihhh.... SEMANGAATTTT IBU IBUUU!!! Kadang sampai berurai-urai air mata gitu kita saking lebaynya.
Yeee, ai pek teh...pas nyampe rumah … ketemu anak... pas anaknya lagi nyebelin, pas kitanya cape, pas suami lagi banyak maunya... heuuuu... gubrak dah.
Bener kata seorang ustadzah, jadi ibu itu bukan teori, tapi aplikasi.
Aplikasi butuh teori. Teori juga butuh aplikasi.
Tapi jangan terlalu cemas juga karena sampai saat ini memang sekolah parenting sulit dicari. Kalaupun ada biayanya mahal. Seminar parenting? Biayanya seringkali sampai ratusan ribu rupiah!
” Sok we seminar.... ari budak dahar naon?,” ujar seorang ibu rumah tangga berwajah innocent bernama Irma Vitriani Susanti. Hahah.
Sebenarnya setiap kita bisa, karena kita dikaruniai insting sebagai ibu.
Tanpa teori parenting itu pun, seorang ibu bisa kok mendidik anak-anaknya dengan baik. Saya terkadang mengistilahkan teori parenting itu dengan “ilmiahisasi insting”. Hahaha.
Kalau hati ibu sudah bersih, ikhlas, bertauhid (tak usahlah peduli pada tingkat pendidikan formal), insyaa Allah anak-anaknya jadi anak yang shalih dan shalihah. Bukankah itu yang kita semua mau ya?
Ah, silahkan saja didebat pernyataan saya ini oleh rekan-rekan sejawat.
Saya memang harus bersyukur bila Arif dan Sofi masih percaya untuk bertanya pada saya tentang apapun. Karena mereka belum bisa kayak saya, yang kalau nanya tentang penyakit, ya ke temen saya yang dokter. Kalau nanya tentang masalah psikologi, ya ke temen saya yang sekolahnya di psikologi. Kalau saya tanya tentang cetakan, ya ke temen saya yang di percetakan.
Kalau anak? “Meneketehe?” ceuk Arif Sofi teh . Di depan mereka adanya umi, ya tanya ke umi... adanya papah, ya ke papah,...kalau adanya nenek, ya ke nenek... kalau adanya aki ya tanya ke aki..
Mamah saya tuh yang sering ngadu ke saya kalo udah cape ngelayanin pertanyaan Arif, pas saya tinggal Arif bareng neneknya itu.
“Ntar tanya aja ke umi”, kata mamah menyerah.
Bagaimana kalau yang ada si mbak pengasuh? Mungkin bertanya pada mbaknya itu ya?
Masih mending bertanya deng. Barangkali lebih khawatir lagi kalau anak memendam pertanyaannya sendiri, mencari sendiri, dan menyimpulkan sendiri. Mending kalau sebatas bertanya tentang 'konsumsi'. Bagaimana kalau pertanyaan Arif yang kemaren-kemaren itu tentang 'sperma' atau 'haid'? Atau yang semacam itulah yang bisa jadi mengarahnya ke arah yang gelap.. hihi.
Lha kalau search di google image dengan kata 'bunga' saja yang keluarnya foto BCL syurr... apalagi search istilah yang sudah 'mengarah' begitu yak...(eit eitt... yang tidak berkepentingan dilarang search lho ya... hahahaha)
Beberapa waktu lalu saya ikut kajian parenting tentang pentingnya mendampingi anak dalam masa kritis. Yaitu saat
1. anak sakit
2. anak memiliki masalah
3. anak menuju baligh
4. anak menghadapi test/ ujian
5. anak menjelang pernikahan
Selasa kemarin baru membahas poin 1-4... kemungkinan selasa yang akan datang, akan dibahas poin 5.
Intinya memang bagaimana sang anak bisa percaya penuh pada orangtuanya, dan menjadikan orang tua sebagai tempat mereka kembali.
Fiuuuhhh....masalah parenting, seringkali melahirkan rasa paranoid. Ketakutan yang berlebihan saat kita menyadari bahwa ternyata kehadiran kita sangat dibutuhkan oleh anak untuk menjaga setiap langkahnya. Mana bisa?
Bila demikian, satu saja yang kita andalkan, yaitu do'a. Mohonkanlah penjagaan Allah atas pendengaran, penglihatan, lisan, dan hati anak-anak kita. Bila Allah telah menjaganya, tak kan ada lagi yang bisa mengganggunya.
Hmmm..... baiklah. Kita tarik ulur aja anak kita ya? Kayak maen layangan gitu....
tarik tarik tarikk... bila mulai terlihat meluncur jatuh....
dan ulur-ulur ulur..... biarkan... layangan itu meninggi... menikmati anginnya....
bila ada layangan lain mendekat, kita waspada...
bila sudah mantap, kita tinggal manteng aja...
bagaimanapun layangan tetap jauh di atas, tertiup angin kencang, tapi talinya tetap kita pegang.
Dan bila matahari hampir tenggelam... tariklah dia, bawalah dia kembali ke rumah.
Semoga layangan kita tak putus diambil orang.
--Lohhh... kalau gitu Arif dan Sofi.. 4nak L4Yangan doooong? … jhahaha cpde---
***
Rabu, 02 Februari 2011
Hah? Udah jam 12 lagi???
***
Saya sering berteriak seperti itu. Tentu saja dalam hati, demi melihat jarum panjang dan jarum pendek berebut berdekatan dengan angka 12. Dan tentu saja siang. Kalau jam 12 malam mah saya tak pernah begitu, berhubung tidak ada perubahan pada diri saya saat jam 12 malam. Entah bila di antara kalian yang cantik dan ganteng ada yang berubah jadi kodok. Mungkin berteriak juga “Hah? udah jam 12 lagi???”.
Saya mau cerita apa tadi ya? Jadi lupa...
Oh iya... ya gitu deh.. setiap kali saya lihat jam... saya panik dodol piknik, karena merasa belum melakukan apa-apa padahal udah jam segitu.
Dari tadi gue ngapain aja ya?... euuuh.. taunya abis waktu cuma buat komen-komenan, buka wall orang, atau chatting gak penting gitulah sama temen. Huks...
Emmmm...salah? Ya enggak juga kan.... apa salahnya saya komen? Apa salahnya saya chatting? Yang bikin saya merasa bersalah seringkali karena hal-hal tersebut ternyata mengalahkan semua pekerjaan saya yang lebih penting untuk segera dikerjakan. Misalnya.. misalnya.. apa ya? Ada yang penting gitu? Hehe..
Dan lebih seringnya sih karena niatnya gak jelas saat kita kuman komen dan chatting begitu. Nyari ilmu engga, dapet manfaat juga engga, silaturahmi juga...emmm.. dia lagi dia lagi yang disilaturahmii...hihi... Cuma asik aja gitu.
Saya cuma mau berbagi di note ini. Ada tips yang saya lakukan agar setiap detik saya berjalan efektif dan always back on the track, yaitu dengan membuat joblist... jobdesc.. ya sabangsaning gitulah.
Maklum saya sejak SMA terdidik jadi seorang yang mesti hitam di atas putih. Kerjaannya menggodok AD/ART yang dibikin sama senior, target jangka panjang, menengah, pendek, dan berbagai perjanjian di atas materai. Bahkan sholat malam apa tidak pun dulu pake checklist biar dilihat sama teteh mentor.
Bukan kepaksa, bukan juga kepengen. Tapi saya suka aja dikerjain kayak gitu.
Halah.. baru kerasa ya gue dikerjain? =P
Jadi... jadi... yang saya lakukan adalah membuat joblist tadi.. bener-bener hitam di atas putih. Pake pulpen di atas kertas. Ditulis di atas kertas maksudnya. Duh ribet amat ngomongnya.
Tujuan tak perlu lah kita tulis lagi. Itu akan membuat kita stress 24 jam.
Tujuannya membuat rumah saya rapi dan bersih (oh sungguh mulia, bukan?)
Tapi terbayang tidak bagaimana caranya saya membuat rumah rapi dan bersih itu? Bila ternyata saya kalahka pusing, maka susunlah langkah-langkahnya.
Maksimal 10 langkah saja yang saya tulis, untuk dikerjakan selama anak dan suami tak ada di rumah.
Kenapa 10? Biar malaikat gampang ngasih nilainya.
Contoh nih ya:
1. Nyapu
2. Ngepel
3. Nyuci piring
4. Nyeuseuh
5. Masak
6. Nyapu teras depan
7. Nyapu teras belakang
8. Ngepel teras depan
9. Ngepel teras belakang
10. Nyetrika
Nah.. model seperti di atas setelah saya coba ternyata paling gede nilainya cuman 5 (lima). Tentu saja saya tidak puas.
Eh, tau kan caranya menilainya? Kalo udah dikerjain, checklist, gitu aja. Satu nomor nilainya satu. Kalo dikerjain cuma 4 nomor, berarti nilainya empat. Ah masa gak ngerti gitu aja.
Hari selanjutnya saat saya di rumah, biar nilai saya gede, saya turunkan lagi jobdescnya jadi begini:
1. Nyapu
2. Ngepel
3. Rendam baju
4. Putar mesin cuci
5. bilas
6. keringkan
7. jemur
8. Nyapu halaman depan
9. Nyapu halaman belakang
10. Nyetrika
Nah, kalau lebih detil seperti ini, nilai saya bisa sampe 7 lah. Jadi gak masak, dan juga gak sampe nyetrika.. hahaha...
Tapi taukah kalian, jika dengan seperti ini, maka saya punya kesenangan tersendiri saat saya lihat jam … dan lihat list.... owh.. ternyata ada juga ya yang saya kerjakan... hihi.
Dapet nilai juga! Hore!
Dan tiap kali saya diganggu, terganggu, atau mengganggu orang lain dengan berbagai cara, maka kertas tadi jadi saksi, bahwa saya harus kembali pada pekerjaan yang tertulis di atasnya.
Terusss... online gak?... ah.. bagian ini saya tulis kapan-kapan lagi aja ya. Kan kalo note kepanjangan suka jadi pada males bacanya.
Catatan: hari ini kerjaan saya cuma nulis note, nyuci piring, sama nyuci baju. Dan nilainya SERATUS DUA PULUH !! (terserah saya dong mau apa kerjaannya, berapa biji, dan gimana ngasih nilainya)
* * *
Saya sering berteriak seperti itu. Tentu saja dalam hati, demi melihat jarum panjang dan jarum pendek berebut berdekatan dengan angka 12. Dan tentu saja siang. Kalau jam 12 malam mah saya tak pernah begitu, berhubung tidak ada perubahan pada diri saya saat jam 12 malam. Entah bila di antara kalian yang cantik dan ganteng ada yang berubah jadi kodok. Mungkin berteriak juga “Hah? udah jam 12 lagi???”.
Saya mau cerita apa tadi ya? Jadi lupa...
Oh iya... ya gitu deh.. setiap kali saya lihat jam... saya panik dodol piknik, karena merasa belum melakukan apa-apa padahal udah jam segitu.
Dari tadi gue ngapain aja ya?... euuuh.. taunya abis waktu cuma buat komen-komenan, buka wall orang, atau chatting gak penting gitulah sama temen. Huks...
Emmmm...salah? Ya enggak juga kan.... apa salahnya saya komen? Apa salahnya saya chatting? Yang bikin saya merasa bersalah seringkali karena hal-hal tersebut ternyata mengalahkan semua pekerjaan saya yang lebih penting untuk segera dikerjakan. Misalnya.. misalnya.. apa ya? Ada yang penting gitu? Hehe..
Dan lebih seringnya sih karena niatnya gak jelas saat kita kuman komen dan chatting begitu. Nyari ilmu engga, dapet manfaat juga engga, silaturahmi juga...emmm.. dia lagi dia lagi yang disilaturahmii...hihi... Cuma asik aja gitu.
Saya cuma mau berbagi di note ini. Ada tips yang saya lakukan agar setiap detik saya berjalan efektif dan always back on the track, yaitu dengan membuat joblist... jobdesc.. ya sabangsaning gitulah.
Maklum saya sejak SMA terdidik jadi seorang yang mesti hitam di atas putih. Kerjaannya menggodok AD/ART yang dibikin sama senior, target jangka panjang, menengah, pendek, dan berbagai perjanjian di atas materai. Bahkan sholat malam apa tidak pun dulu pake checklist biar dilihat sama teteh mentor.
Bukan kepaksa, bukan juga kepengen. Tapi saya suka aja dikerjain kayak gitu.
Halah.. baru kerasa ya gue dikerjain? =P
Jadi... jadi... yang saya lakukan adalah membuat joblist tadi.. bener-bener hitam di atas putih. Pake pulpen di atas kertas. Ditulis di atas kertas maksudnya. Duh ribet amat ngomongnya.
Tujuan tak perlu lah kita tulis lagi. Itu akan membuat kita stress 24 jam.
Tujuannya membuat rumah saya rapi dan bersih (oh sungguh mulia, bukan?)
Tapi terbayang tidak bagaimana caranya saya membuat rumah rapi dan bersih itu? Bila ternyata saya kalahka pusing, maka susunlah langkah-langkahnya.
Maksimal 10 langkah saja yang saya tulis, untuk dikerjakan selama anak dan suami tak ada di rumah.
Kenapa 10? Biar malaikat gampang ngasih nilainya.
Contoh nih ya:
1. Nyapu
2. Ngepel
3. Nyuci piring
4. Nyeuseuh
5. Masak
6. Nyapu teras depan
7. Nyapu teras belakang
8. Ngepel teras depan
9. Ngepel teras belakang
10. Nyetrika
Nah.. model seperti di atas setelah saya coba ternyata paling gede nilainya cuman 5 (lima). Tentu saja saya tidak puas.
Eh, tau kan caranya menilainya? Kalo udah dikerjain, checklist, gitu aja. Satu nomor nilainya satu. Kalo dikerjain cuma 4 nomor, berarti nilainya empat. Ah masa gak ngerti gitu aja.
Hari selanjutnya saat saya di rumah, biar nilai saya gede, saya turunkan lagi jobdescnya jadi begini:
1. Nyapu
2. Ngepel
3. Rendam baju
4. Putar mesin cuci
5. bilas
6. keringkan
7. jemur
8. Nyapu halaman depan
9. Nyapu halaman belakang
10. Nyetrika
Nah, kalau lebih detil seperti ini, nilai saya bisa sampe 7 lah. Jadi gak masak, dan juga gak sampe nyetrika.. hahaha...
Tapi taukah kalian, jika dengan seperti ini, maka saya punya kesenangan tersendiri saat saya lihat jam … dan lihat list.... owh.. ternyata ada juga ya yang saya kerjakan... hihi.
Dapet nilai juga! Hore!
Dan tiap kali saya diganggu, terganggu, atau mengganggu orang lain dengan berbagai cara, maka kertas tadi jadi saksi, bahwa saya harus kembali pada pekerjaan yang tertulis di atasnya.
Terusss... online gak?... ah.. bagian ini saya tulis kapan-kapan lagi aja ya. Kan kalo note kepanjangan suka jadi pada males bacanya.
Catatan: hari ini kerjaan saya cuma nulis note, nyuci piring, sama nyuci baju. Dan nilainya SERATUS DUA PULUH !! (terserah saya dong mau apa kerjaannya, berapa biji, dan gimana ngasih nilainya)
* * *
Langganan:
Postingan (Atom)