Jumat, 24 Desember 2010

hidup adalah pilihan (3)

***
Tulisan sebelumnya: hidup adalah pilihan, hidup adalah pilihan (2)

Kebetulan... atau takdir? Garis hidup saya...apapun...
Bahwa saya punya banyak teman-teman perempuan yang cerdas, berprestasi, juga cantik-cantik. Bukan sulap bukan sombong. Tentu saja kebanyakan bersumber dari sebuah SMA favorit di Bandung. Aheuy!

Dengan mereka saat ini saya masih tetap kontak, tentu saja lewat jejaring sosial facebook.
Cukup banyak di antara mereka yang kini memilih jadi ibu rumah tangga saja. Status FBnya sederhana, notenya selalu tentang anak dan rumah tangga. Kalaupun bekerja, mereka malah bekerja yang tidak sesuai bidang keahliannya (kuliahnya).
Ada pula yang bekerja di tempat yang tidak memerlukan data IPK. Sementara mereka lulus cumlaude dari perguruan tinggi dan jurusan ternama.

Kenapa ya?

Saya memilih jadi ibu rumah tangga, bisa jadi karena tidak punya pilihan lain. IPK pas-pasan, kemampuan bahasa inggris cuma sebatas yes or no, dan fisik yang bukan sulap bukan sombong tapi ya begitulah.
Lha mereka? Setau saya mereka selalu saja mendapatkan decak kagum dari orang-orang di sekitar. Sudah cantik, baik, .. pinter pula!
Mun saya siga kitu, geus kamanaaa meureun nyak? Ngapung ka langit teu balik deui.

Saya yakin sih.. kalau mereka, atas izin-Nya, akan mudah mencari kerja apapun dan di manapun yang mereka mau. Barangkali dengan gaji besar dan fasilitas yang lebih dari cukup.
Tapi kenapa mereka memilih diam di rumah mengurusi anak-anaknya?

Sekali lagi hidup memang penuh dengan pilihan. Mereka telah memilih. Biarlah.

Sekarang urusi saja saya.
Kenapa saya di rumah? Kenapa saya bekerja? Hayoh! Jawab!

-mikir dulu-

Tiap kali ada tawaran pekerjaan, entah itu secara langsung, ataupun info yang saya baca. Saya selalu berpikir, andai saya punya suami yang tidak bekerja, atau bekerja dengan gaji yang tidak memadai, atau kehilangan suami (TIDAAAAAKKKKK!!! *histeris*) barangkali saya akan ambil pekerjaan ini. Atau pekerjaan apapun asal halal.

Bukan apa-apa, bukan sulap bukan sombong, tapi saya cuma inget anak aja.
Gak ada yang lebih pedih selain melihat anak sendiri tak terpenuhi kebutuhan primernya. Dan tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat anak tersenyum memperoleh apa yang mereka mau.

Bagi seorang ibu bekerja, hampir selalu ada yang jadi korban. Mungkin itu anak, suami, orang tua, tetangga, atau perasaannya sendiri.
Bekerja di sini dalam arti dia menjadi seorang pegawai, ataupun bos, yang punya komitmen bekerja sejak pagi hingga sore hari.
Nah, bila ada pekerjaan itu, tinggal kita hitung materi vs immateri. Sebandingkah? Worthedkah?

Saya, dengan kemampuan saya miliki dan tawaran kerja yang saya pikir saya suka dan mampu, dengan mantap saya jawab, T I D A K.
Sampai saat ini saya belum menemukan pekerjaan yang bila saya harus mengorbankan anak-anak, saya dapat gaji yang setimpal.
Barangkali itu ya yang membuat saya memilih di rumah saat ini.
(Kepada para pengikut MLM, mohon tidak menanggapi hal ini secara berlebihan. Irma tidak suka mencari downline, presentasi kesana kemari, ataupun ikut training rutin. Hahaha).

Ier di rumah aja gitu? Bukannya sering kelayapan? -hehe tau aje.

Hoho... oke oke.. kadang saya bekerja juga. Ya itu mah hatur lumayan we buat ngongkosin facial dan creambath biar gak minta sama suami.. wkwkwk.
Bukan berarti gak serius lho... kalo kerja apa-apa saya mah suka all out daaa...
dan saya pasti suka dengan pekerjaan saya itu.
Kalau gak suka mana mungkin saya kerjain.
Irma gitu lo... tidak akan pernah mau berada di bawah tekanan dan paksaan orang lain.

Jadiiii.... ya sementara ini masih begitu itu pilihan hidup saya. Perenungan sesaat lah ini mah.
Gak tau tuh yang lain. Biarin aja, da bukan urusan saya inih.

***

1 komentar:

heni mengatakan...

Hwaah, teteeh, hidup emang pilihan,,
jd makin dilema niy milih mo berkarir dimana :D , soalnya bentar lagi sy resmi jadi pengacara. sebelum menikah dan punya anak sy putuskan untuk bekerja, kalo ntar mah pengennya ngikutin jejak Teh Ier... ;)