Jumat, 06 November 2009

mual muntah pada ibu (tidak hamil)

***
"Nay, saya mual-mual Nay..."
"Waaaah... Teteeeeehhh..... selamaaaat!!"
"Diem Nay... saya serius !! mual banget.."

Saya pun langsung lari ke toilet apotek yang agak jauh di belakang...
memuntahkan seluruh makanan yang baru beberapa suap saya telan.

Pucat pasi saya kembali ke ruang racik.
Inay, apoteker magang yang siang itu menemani saya jaga, menatap saya penuh tanya.

"Kayaknya... gara-gara bekel makan saya nih Nay..."
kata saya, mencoba menjawab tatapan Inay sekaligus menepis dugaan dia bahwa saya hamil.

Syukurlah siang itu ada Inay. Kalau enggak, maka saya akan muntah-muntah di depan para pelanggan apotek.
Enam kali saya bolak-balik ke toilet memuntahkan segala yang masih ada di lambung, sampai ke dasar-dasarnya.
Tiap Inay bertanya sesuatu, saya muntah. Tiap saya berdiri, saya muntah. Saya ingat terakhir saya mual muntah begini sewaktu hamil Arif. Sepulang dari bimbingan tugas akhir saat draft saya diobrak-abrik oleh Pak Charles alm. Syukurlah saya gak muntah di ruangan beliau saat itu. (Hati-hati untuk para dosen yang punya mahasiswi bimbingan tengah hamil muda, salah omong bisa jadi anda dimuntahi).

Di ruang dokter gigi apotek siang itu saya terkapar, menyesali apa yang telah saya makan, seraya berpikir bagaimana cara saya pulang, karena metoklopramid yang saya minum pun termuntahkan kembali.

Emang salah makan apa Ier?

Dasar ibu-ibu ya... perutnya emang udah biasa jadi tong sampah. Sejak Arif Sofi makan makanan padat, makanan mereka seringkali mampir di perut saya kalau tidak habis. Sampai sekarang.

Pada hari naas itu, pagi-pagi, di rumah saya menggoreng nasi tanakan kemarin, untuk sarapan suami dan anak-anak.
Enak, alhamduliLlah.. tapi saking riweuhnya saya sendiri hanya makan sesuap dua suap.
Sisa nasi goreng yang masih ada di katel saya bawa dengan niat dimakan di apotek. Sedikit lagi sih, tapi sayang kalau dibuang.

Ternyata kelupaan. Setibanya di apotek saya malah asyik ngurus segala faktur, orderan, dan utang piutang. Si Nasi Goreng tak berdaya.. nyungsep di dalam mobil yang semakin siang semakin tinggi suhu ruangnya.

Saya mulai lapar jam 10.30.
Ingat nasi yang lupa saya turunkan dari mobil.
Hmmm... saya buka tutup rantangnya dan gak saya hiraukan 'wangi' nasi yang menyeruak gak karuan, secara saya lapar sekali saat itu.

"Makan Nay"
"Iya Teh"

Cuma basa-basi seperti biasanya, karena saya tau Inay gak akan ikut makan bekel saya.

Hup.. hap... hup... hap.... serasa makan nasi goreng, padahal di dalamnya sudah muncul berbagai mikroorganisme. Sehingga memang saya benar-benar makan nasi 'goreng'....

Syukurlah Allah masih memberi saya autoimun sehingga ketika ada makhluk asing mampir di tubuh saya, saya langsung menolaknya. Muntah.
Biarlah.. mending muntah ini tak usah saya hentikan, biar semuanya racunnya keluar.
Kecemasan pada suami dan anak-anakku pun langsung muncul.

Sembari menahan mual, saya nelpon mamah, tanya kabar Sofi, apa dia baik-baik saja, karena tadi pagi kan dia makan nasi yang sama dengan yang saya makan.
AlhamduliLlah Sofi baik. Anak dan suamiku memang makannya tadi pagi, saat nasi masih fresh from katel. Mamahku jadi cemas karena saya lapor kalau saya muntah-muntah di apotek dan belom bisa pulang.

Giliran nelpon suamiku...
AlhamduliLlah suamiku baik-baik juga. Dan suamiku jadi ikutan khawatir mendengar lemahnya suara saya di telepon.

Demi mendengar kabar anak dan suamiku baik-baik saja (semoga Arif juga.. setidaknya gak ada telpon dari gurunya), mual saya berkurang. Kalau saja anak dan suamiku bermasalah dengan perutnya, betapa merasa bersalahnya saya.

Muntah yang ke enam kali, saya mulai khawatir pada diri sendiri. Takut mesti masuk rumah sakit untuk diinfus karena minum pun airnya termuntahkan kembali.
Sudahlah.. saya tenggak sebutir deminhidrinat dan langsung pamit pada Inay, pulang duluan. BismiLlah... kalo mual lagi paling berenti pinggir selokan...

Saya sampai ke rumah mamah dengan selamat dan Arif pun udah pulang. Dia oke.
Arif Sofi ribut bertanya "Umi kenapa.. Umi kenapa"
Saya jawab sekenanya.

Efek dari dimenhidrinat, saya gak muntah lagi... tapi ngantuk luar biasa.
Saya terkapar di kamar dan tidur. Sebelumnya saya bilang dulu ke mamah biar anak-anak gak usah mandi sore aja... Saya suka merasa bersalah kalau anak-anak dimandiin neneknya sementara saya 'cuma' tiduran.

Saya terbangun setelah beberapa menit terlelap. Kali ini karena sakit perut.
Walhasil... diare... empat kali bolak-balik ke belakang.
Fuhhhhh....rasanya hari itu saya turun berat badan berkilo-kilo.

Bada maghrib saya baru bisa merasakan lapar lagi, dan memakan biskuit sambil menunggu suami menjemput. AlhamduliLlah setelah itu sembuh.

Makanan memang selain musti halal... juga mesti thayyib. Penyakit juga biasanya kan berawal dari mulut. Kalo gak salah makan, ya salah omong.



Dan baru kemarin pula saya nelpon seorang teman, ibu-ibu juga.
Telpon saya disambut dengan suara lemah. Ternyata dia sedang diare parah. Gara-gara makan keju jamuran.

Punya keju di kulkas, jamuran.
Dia potong bagian jamurnya, dan disimpan lagi di kulkas.
Jamuran, potong lagi... simpan lagi...
Sampai dia berpikir.. kenapa gak dimakan aja.

Hap... haaaa... si kuman rasa keju terjun bebas ke lambung dan ususnya.

Akhirnya obat juga yang turun tangan setelah diarenya gak sembuh sampai dua hari.
Dibom dengan metronidazol+sulfametoksazol+trimetoprim... barulah si kuman mati.



Makanya Ibu-ibu... kalo sayang sama makanan jangan kelewatan ya....
mending makanan basi mah dijadikan sedekah buat cacing tanah atau kucing setempat. Itupun kalo kucingnya mau.

***

2 komentar:

yun mengatakan...

haiiiyaaa.. kucing jg ga mau kali ier! udah sembuh kan?

Lita Edia mengatakan...

euh...pas baca ini...saya lagi makan soto kemaren...anak dan suami nggak pernah kukasih makanan kemaren...tapi kalo aku mah...ya itu jadi tong sampah tea, tapi jigana mah nggak basi da....