***
Berawal dari note seorang teman di facebook, yang bikin saya ngiri. Bukan ngiri dengki, tapi harangiri. Plesetan dari Harakiri. Nunjuk-nunjuk diri sendiri yang sepertinya tertinggal jauh. Jauh sekali dibanding dia.
Namun apa daya memang waktu gak akan bisa kembali. Mana bisa saya kembali ke golden age di mana saya bisa mengembangkan kapasitas otak ini, menyambungkan berbagai neuron di dalamnya, dan mengkreasikan impuls impulsnya? Sehingga saya hari ini bisa menjadi lebih baik daripada saya yang hari ini pada kenyataannya?
Maka curhatlah saya sama seorang teman yang tidak akan saya sebutkan namanya. Dia bilang sesuatu yang bikin saya mikir.. Dia bilang, perempuan seusia saya, yang punya anak paling kecil 7 tahun (baca: nyantei), pasti punya 'kelebihan energi'. Barangkali kelebihan energi itulah yang seakan meledak, membuat saya galau melihat orang-orang yang lebih hebat.
“Saya mestinya bisa sehebat dia”, kurang lebih begitulah ledakannya.
Hemmm.. kelebihan energi.
Energi harus menemukan tempat penyalurannya hingga menjadi sebuah bentuk manfaat. Barangkali memang inilah yang membuat saya galau jika hanya berdiam diri, tanpa aktivitas apapun. Bila penyaluran energi ini mengalir ke tempat yang salah, maka saya akan semakin galau. Dan jika penyaluran energi ini ke arah yang positif, terasa sangat bahagianya.
Perlahan saya mulai meninggalkan harangiri saya terhadap teman saya penulis note itu. Beralih menjadi pemikiran terhadap diri sendiri saja. Mengenai kelebihan energi tadi dan apa yang bisa saya lakukan untuk menyalurkannya. Mengingat waktu yang tak bisa terulang, dan apa yang telah saya miliki sekarang.
Bila saat ini saya hanya dikaruniai dua anak saja, dan Allah belum kunjung mengamanahi saya anak ketiga, maka barangkali saya jadi punya kelebihan energi untuk mengurus hal-hal di luar anak dan rumah tangga.
Dan bila anak saya “hanya dua”, maka mestinya saya bisa dengan powerfull (atas izin Allah) untuk bisa melejitkan anak-anak saya menjadi anak-anak yang luar biasa.
Kalau ditanya cita-cita, maka cita-cita saya tinggi, tapi itu adalah untuk anak-anak saya. Untuk hidup saya rasanya melawan sunnatullah jika saya bercita-cita menjadi seorang profesor sains. Tapi bila saya berharap seorang Arif menjadi profesor lulusan Jerman misalnya, maka itu masih sangat memungkinkan untuk diusahakan dengan tahap yang jelas. Ya nggak sih?
Dan Sofi, yang kelihatan sabar, ngasuh, .. barangkali dia bisa jadi seorang dokter atau perawat yang disukai pasien-pasiennya? Dokter spesialis anak misalnya?
Ah, saya tidak akan banyak menuntut pada anak-anak saya. Segala cita-cita haruslah lahir dari pemikiran dan hati mereka sendiri. Bukan atas paksaan saya.
Tinggal saya yang harus memompa semangat mereka untuk berani punya cita-cita yang seeeetinggi-tingginya. Mumpung mereka masih muda. Energi dan otak anak-anak itu adalah sebuah keajaiban. Tak seperti otak saya yang sudah gampang ngebul.
Maka dengan kelebihan energi ini mestinya saya bisa jadi ibu yang semangat. Ibu yang bisa membimbing anak-anak saya meraih cita-citanya dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi umat.
Aiiihhh.. sungguh... sesuatu.
Dan untuk saya sendiri, mestinya gak boleh juga ada malas bila saya menyadari tentang kelebihan energi ini. Dipikir-pikir banyak hal yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki diri. Gak ada kata telat sebelum mati kan ya?
Ah pokonya banyak deh yang bisa saya lakukan dengan apa yang saya punya sekarang, entahlah itu menghasilkan duit apa tidak, saya gak peduli, toh beban nafkah alhamduliLlah masih ditanggung suami. Tinggal satu aja, yaitu saya harus menyalurkannya ke arah yang positif. Biar Allah ridho. Biar Allah menambahkan nikmatnya karena dengan memanfaatkan potensi di jalan Allah itu berarti kita termasuk orang-orang yang bersyukur.
Iya gak siiiih? –> nanya kayak gini biasanya karena gak pede.. ahhaha...
bismiLlah we yuks... Allah tidak akan mengubah keadaan jika kita sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya...
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar