***
Sepupu saya ini namanya Rina. Usia 27 tahun. Profesi sebagai perawat di sebuah puskesmas di kota Bandung. Menikah, dan berputra satu, usia 4 tahun.
Walaupun standar cantik tiap orang beda, tapi hampir bisa dipastikan, semua orang yang lihat dia mengatakan dia cantik. Hidung mancung, gigi rapi, kulit putih, dan mata bulat. Agak aneh memang kalau saya sepupuan sama dia. Hehe.
Saat saya menengoknya kemarin di rumah sakit, 'kebetulan' dia sedang menjalani sebuah prosesi yang seringkali membuat orang bergidik: hemodialisa, cuci darah.
Ruangan tempat hemodialisa itu besar, sekitar 50 meter persegi. Berisi belasan orang yang sedang dicuci darahnya.
Di antara deretan orang-orang yang terbaring itu, Rina memang agak tampak mencolok. Dia muda sendirian.
Tak heran bila sampai ada beberapa orang yang menyapa menanyakan Rina. Usia berapa, sakitnya gimana, udah cuci darah berapa kali, masih SMA ya? Sudah menikah? dst....hffff...
Rina anaknya ramah dan pandai ngobrol sama orang. Dia jawabnya ketawa ketiwi aja ditanya-tanya gitu.
Setelah bisa ngobrol enak, barulah saya tanya, emang dia kerasanya sakit gimana....
Awalnya kerasa mual aja katanya.
“Sapertos ngidam we kitu Teh. “, ceritanya pada saya.
Lama-lama mualnya makin parah, dan mata malah jadi buram. Periksa ke klinik mata, katanya ada infeksi. Minum antibiotik, malah tambah parah mualnya. Ganti antibiotik, tetep aja.
Akhirnya periksa ke rumah sakit ini.
“Saatos diobservasi, eh, ari pek teh kedah kieu....”, papar dia dalam bahasa sunda yang halus terjaga.
Eh, kemarin dia bilang kadar kreatininnya 24???? Ah masa sih. 2,4 kali ya. Tapi kalaupun 2,4 memang sudah mengindikasikan adanya gangguan ginjal. Normalnya kan 0,5 sd 1,5 mg/dl.
Dan kalaupun itu angka koefisien kreatinin yaitu jumlah kreatinin yang diekskresikan dalam 24 jam /kg BB, maka normalnya pada wanita adalah 14 sd 22 mg/kgBB. Maka 24 tetep aja ketinggian.
Rina mestinya lebih ngerti dari saya untuk urusan hasil cek lab begini. Lah dia perawat. Dia ngerti arti dari angka kreatinin itu sampe dia seperti gak mau tau lagi berapa kadar ureumnya. Padahal, dia bilang, dia gak masalah dengan minum dan buang air kecil. Semua biasa aja, dan rasanya udah nerapin pola hidup sehat. Tapi yaa... :(
“Gapapalah.. biar bisa mensyukuri hidup... hahaha”, kata dia, seperti menghibur diri.
Entahlah obrolan kami kemarin dari mulai masalah profesi sampe anak, kesannya seperti menghibur diri saja. Mengisi waktu nangkring 4 jam 'laundry'. Dengan alat yang memang mirip-mirip mesin cuci itu.
Rasanya ingin melupakan segala statement buruk tentang bagaimana nasib orang yang kerjaannya bolak balik cuci darah, walaupun katanya sih.. cuci darah ini biayanya ditanggung askes, kan dia PNS. Kalau harus bayar, pertama cuci darah ini 650ribu, dan selanjutnya 450 ribu sekali cuci. Dan harus seminggu dua kali !! Wow..
Untuk tanggungan biaya oleh askes ini pun dia berulang-ulang ucap hamdalah.
Eh, ngeliat dia terbaring, jadi inget almarhumah ibunya. Ibunya adalah adik mamah saya. Dulu meninggal saat Rina dan kakanya masih SD, sedangkan adiknya masih balita. Inget aja dulu saya pake baju SMA, sebelum sekolah nengok beliau dulu di RS, karena katanya bibi saya ini pengen ketemu sama saya.
Sesampainya di RS, saya malah gak ngobrol sedikitpun sama beliau. Kebayang wajahnya sampe sekarang, .. hiks.. yang di sana sini banyak darah beku yang sulit dibersihkan karena beliau mengidap kanker darah alias leukeumia stadium akhir. Cuma air matanya aja yang keluar ngeliat saya. Hik hik.
Setelah ibunya Rina ini meninggal, silaturahim kami jadi merenggang. Rina dan keluarganya hanya menyempatkan bertemu kami saat lebaran saja. Mungkin karena ingin melupakan kenangan mereka bersama bibi saya ini ya, karena kalau lihat mamah dan saudara-saudara yang lain, pasti mereka inget almarhumah. Wajahnya hampir mirip.
Karena kesibukan sekolah, kuliah, dst, saya cuma dengar kabar sekilas sekilas saja tentang ayahnya Rina yang menikah lagi, Rina jadi perawat, kemudian tentu saja saya hadir pada pernikahan Rina yang meriah. Rina dipersunting pemuda ganteng dan kaya :)
Ya bagaimanapun cuci darah bukan akhir dari segalanya ya? Masih banyak opsi yang bisa kita lakukan. Jaman sekarang banyak cara canggih. Apalagi kalau uang ada.
Perbanyak do'a, karena ternyata memang bagi Allah, bila mudah baginya mendatangkan sakit, maka pasti mudah pula bagi Allah untuk mencabutnya.
Dan kemudian ini adalah, sebuah peringatan bagi saya, agar bisa seperti yang tadi Rina bilang,
“.. biar bisa menyukuri hidup.. ”
Ya ampun itu kata-katanya kok jadi terngiang-ngiang terus. Mungkin karena saya tau, mensyukuri hidup itu bukanlah hanya sekedar mengucap hamdalah, namun menjadi rentetan panjang konsekuensi dari sehat dan nikmat yang telah Allah berikan.
***
Selasa, 15 Mei 2012
Jumat, 11 Mei 2012
Katanya Itu Karena Kelebihan Energi.
***
Berawal dari note seorang teman di facebook, yang bikin saya ngiri. Bukan ngiri dengki, tapi harangiri. Plesetan dari Harakiri. Nunjuk-nunjuk diri sendiri yang sepertinya tertinggal jauh. Jauh sekali dibanding dia.
Namun apa daya memang waktu gak akan bisa kembali. Mana bisa saya kembali ke golden age di mana saya bisa mengembangkan kapasitas otak ini, menyambungkan berbagai neuron di dalamnya, dan mengkreasikan impuls impulsnya? Sehingga saya hari ini bisa menjadi lebih baik daripada saya yang hari ini pada kenyataannya?
Maka curhatlah saya sama seorang teman yang tidak akan saya sebutkan namanya. Dia bilang sesuatu yang bikin saya mikir.. Dia bilang, perempuan seusia saya, yang punya anak paling kecil 7 tahun (baca: nyantei), pasti punya 'kelebihan energi'. Barangkali kelebihan energi itulah yang seakan meledak, membuat saya galau melihat orang-orang yang lebih hebat.
“Saya mestinya bisa sehebat dia”, kurang lebih begitulah ledakannya.
Hemmm.. kelebihan energi.
Energi harus menemukan tempat penyalurannya hingga menjadi sebuah bentuk manfaat. Barangkali memang inilah yang membuat saya galau jika hanya berdiam diri, tanpa aktivitas apapun. Bila penyaluran energi ini mengalir ke tempat yang salah, maka saya akan semakin galau. Dan jika penyaluran energi ini ke arah yang positif, terasa sangat bahagianya.
Perlahan saya mulai meninggalkan harangiri saya terhadap teman saya penulis note itu. Beralih menjadi pemikiran terhadap diri sendiri saja. Mengenai kelebihan energi tadi dan apa yang bisa saya lakukan untuk menyalurkannya. Mengingat waktu yang tak bisa terulang, dan apa yang telah saya miliki sekarang.
Bila saat ini saya hanya dikaruniai dua anak saja, dan Allah belum kunjung mengamanahi saya anak ketiga, maka barangkali saya jadi punya kelebihan energi untuk mengurus hal-hal di luar anak dan rumah tangga.
Dan bila anak saya “hanya dua”, maka mestinya saya bisa dengan powerfull (atas izin Allah) untuk bisa melejitkan anak-anak saya menjadi anak-anak yang luar biasa.
Kalau ditanya cita-cita, maka cita-cita saya tinggi, tapi itu adalah untuk anak-anak saya. Untuk hidup saya rasanya melawan sunnatullah jika saya bercita-cita menjadi seorang profesor sains. Tapi bila saya berharap seorang Arif menjadi profesor lulusan Jerman misalnya, maka itu masih sangat memungkinkan untuk diusahakan dengan tahap yang jelas. Ya nggak sih?
Dan Sofi, yang kelihatan sabar, ngasuh, .. barangkali dia bisa jadi seorang dokter atau perawat yang disukai pasien-pasiennya? Dokter spesialis anak misalnya?
Ah, saya tidak akan banyak menuntut pada anak-anak saya. Segala cita-cita haruslah lahir dari pemikiran dan hati mereka sendiri. Bukan atas paksaan saya.
Tinggal saya yang harus memompa semangat mereka untuk berani punya cita-cita yang seeeetinggi-tingginya. Mumpung mereka masih muda. Energi dan otak anak-anak itu adalah sebuah keajaiban. Tak seperti otak saya yang sudah gampang ngebul.
Maka dengan kelebihan energi ini mestinya saya bisa jadi ibu yang semangat. Ibu yang bisa membimbing anak-anak saya meraih cita-citanya dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi umat.
Aiiihhh.. sungguh... sesuatu.
Dan untuk saya sendiri, mestinya gak boleh juga ada malas bila saya menyadari tentang kelebihan energi ini. Dipikir-pikir banyak hal yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki diri. Gak ada kata telat sebelum mati kan ya?
Ah pokonya banyak deh yang bisa saya lakukan dengan apa yang saya punya sekarang, entahlah itu menghasilkan duit apa tidak, saya gak peduli, toh beban nafkah alhamduliLlah masih ditanggung suami. Tinggal satu aja, yaitu saya harus menyalurkannya ke arah yang positif. Biar Allah ridho. Biar Allah menambahkan nikmatnya karena dengan memanfaatkan potensi di jalan Allah itu berarti kita termasuk orang-orang yang bersyukur.
Iya gak siiiih? –> nanya kayak gini biasanya karena gak pede.. ahhaha...
bismiLlah we yuks... Allah tidak akan mengubah keadaan jika kita sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya...
***
Berawal dari note seorang teman di facebook, yang bikin saya ngiri. Bukan ngiri dengki, tapi harangiri. Plesetan dari Harakiri. Nunjuk-nunjuk diri sendiri yang sepertinya tertinggal jauh. Jauh sekali dibanding dia.
Namun apa daya memang waktu gak akan bisa kembali. Mana bisa saya kembali ke golden age di mana saya bisa mengembangkan kapasitas otak ini, menyambungkan berbagai neuron di dalamnya, dan mengkreasikan impuls impulsnya? Sehingga saya hari ini bisa menjadi lebih baik daripada saya yang hari ini pada kenyataannya?
Maka curhatlah saya sama seorang teman yang tidak akan saya sebutkan namanya. Dia bilang sesuatu yang bikin saya mikir.. Dia bilang, perempuan seusia saya, yang punya anak paling kecil 7 tahun (baca: nyantei), pasti punya 'kelebihan energi'. Barangkali kelebihan energi itulah yang seakan meledak, membuat saya galau melihat orang-orang yang lebih hebat.
“Saya mestinya bisa sehebat dia”, kurang lebih begitulah ledakannya.
Hemmm.. kelebihan energi.
Energi harus menemukan tempat penyalurannya hingga menjadi sebuah bentuk manfaat. Barangkali memang inilah yang membuat saya galau jika hanya berdiam diri, tanpa aktivitas apapun. Bila penyaluran energi ini mengalir ke tempat yang salah, maka saya akan semakin galau. Dan jika penyaluran energi ini ke arah yang positif, terasa sangat bahagianya.
Perlahan saya mulai meninggalkan harangiri saya terhadap teman saya penulis note itu. Beralih menjadi pemikiran terhadap diri sendiri saja. Mengenai kelebihan energi tadi dan apa yang bisa saya lakukan untuk menyalurkannya. Mengingat waktu yang tak bisa terulang, dan apa yang telah saya miliki sekarang.
Bila saat ini saya hanya dikaruniai dua anak saja, dan Allah belum kunjung mengamanahi saya anak ketiga, maka barangkali saya jadi punya kelebihan energi untuk mengurus hal-hal di luar anak dan rumah tangga.
Dan bila anak saya “hanya dua”, maka mestinya saya bisa dengan powerfull (atas izin Allah) untuk bisa melejitkan anak-anak saya menjadi anak-anak yang luar biasa.
Kalau ditanya cita-cita, maka cita-cita saya tinggi, tapi itu adalah untuk anak-anak saya. Untuk hidup saya rasanya melawan sunnatullah jika saya bercita-cita menjadi seorang profesor sains. Tapi bila saya berharap seorang Arif menjadi profesor lulusan Jerman misalnya, maka itu masih sangat memungkinkan untuk diusahakan dengan tahap yang jelas. Ya nggak sih?
Dan Sofi, yang kelihatan sabar, ngasuh, .. barangkali dia bisa jadi seorang dokter atau perawat yang disukai pasien-pasiennya? Dokter spesialis anak misalnya?
Ah, saya tidak akan banyak menuntut pada anak-anak saya. Segala cita-cita haruslah lahir dari pemikiran dan hati mereka sendiri. Bukan atas paksaan saya.
Tinggal saya yang harus memompa semangat mereka untuk berani punya cita-cita yang seeeetinggi-tingginya. Mumpung mereka masih muda. Energi dan otak anak-anak itu adalah sebuah keajaiban. Tak seperti otak saya yang sudah gampang ngebul.
Maka dengan kelebihan energi ini mestinya saya bisa jadi ibu yang semangat. Ibu yang bisa membimbing anak-anak saya meraih cita-citanya dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi umat.
Aiiihhh.. sungguh... sesuatu.
Dan untuk saya sendiri, mestinya gak boleh juga ada malas bila saya menyadari tentang kelebihan energi ini. Dipikir-pikir banyak hal yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki diri. Gak ada kata telat sebelum mati kan ya?
Ah pokonya banyak deh yang bisa saya lakukan dengan apa yang saya punya sekarang, entahlah itu menghasilkan duit apa tidak, saya gak peduli, toh beban nafkah alhamduliLlah masih ditanggung suami. Tinggal satu aja, yaitu saya harus menyalurkannya ke arah yang positif. Biar Allah ridho. Biar Allah menambahkan nikmatnya karena dengan memanfaatkan potensi di jalan Allah itu berarti kita termasuk orang-orang yang bersyukur.
Iya gak siiiih? –> nanya kayak gini biasanya karena gak pede.. ahhaha...
bismiLlah we yuks... Allah tidak akan mengubah keadaan jika kita sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya...
***
Langganan:
Postingan (Atom)