Senin, 12 Desember 2011

UAS ( 2)

***
Katakanlah namanya Cici, satu lagi Ayu. Mereka berdua adalah anak kelas 2 SMP yang bertugas membantu saya di ruang obat, saat sekolah mereka menyelenggarakan pengobatan gratis. Saya adalah apoteker penanggungjawab obat pada saat acara tersebut berlangsung. Tidak diminta hadir untuk persiapan sebelumnya, dan tidak pula dimintai laporan pertanggungjawaban setelahnya.

Perkiraan pasien katanya 60 orang, sementara saya apotekernya cuma sendirian, dan hanya dibantu kedua anak itu.
Gak apalah. Memang kondisi seperti itu kerap saya alami, saat saya hanya dibantu oleh 'asisten apoteker' yang tidak tau apa-apa. Training kilat pun dilakukan. Cara menulis etiket, cara membaca resep, dll. Sederhana, karena semua tinggal bungkus dan tulis. Gak ada obat racikan.

Kedua anak itu pun mengangguk ragu. Saya bilang tenang aja, ada saya yang bisa mereka tanyai. Dan kalaupun salah, toh obatnya lewat tangan saya dulu. Bisa saya periksa dulu. Setelah lima resep bisa, pasti ke sananya gampanglah. Kata saya pada mereka meyakinkan.

Satu pasien, dua pasien, lima pasien, sepuluh pasien... semua terlayani dengan baik. Sampai akhirnya lima sampai enam orang pasien berjejer di deretan kursi di depan kami, menunggu dilayani. Tidak berimbang memang tenaga di pengobatan gratis ini. Dokternya ada dua, sementara apoteker cuma satu. Jadi pasien terlalu cepat hadir di ruang obat, menyerahkan resep dari dokter.

“Tunggu ya Bu, Pak,” sapa saya pada para pasien itu yang semuanya wulan. Warga usia lanjut.

Dua puluh pasien terlayani, tiga puluh terlayani, empat puluh ....dan masih berlanjut.....

“Yoo.. tenang ajaaa...”, kata saya pada kedua asisten kecil saya sambil membantu mereka membungkus dan menuliskan etiket.
Meja obat mulai amburadul.

“Emmm.....,”... Ayu tampak kebingungan mencari nama obat yang sebenernya ada persis di depannya.
Saya tau dia mulai panik, sekaligus lelah.

Sementara Cici, dia bekerja cepat dan sigap, walau tampak panik juga melihat jumlah pasien yang nunggu semakin banyak. Sesekali Cici membantu Ayu yang tampak bingung dan bengong.
“PCT ituuuu... apa yaaa...”, gumam Ayu
“Paracetamol !!!”, kata Cici sambil tangannya terus bekerja.
Heaaaa... dari awal itu saya kasi tau kalo PCT itu paracetamol dan puluhan resep PCT sebenernya sudah dikerjakan sejak awal, dan kemudian Ayu blank pada saat hectic seperti ini. Malah lebih parah lagi... tampak malas.

“Ayo Ayuuuu... ,” kata saya menyemangati sang Ayu. Dia cemberut.
Ya sudahlah.

Pengemasan obat dan penyerahan terus berlangsung, dan akhirnya beres. Lima puluh sembilan resep dalam dua jam tanpa henti. Fyuh.

Cici membantu saya mengepak obat sisa, sementara Ayu terkulai. Kepalanya menelungkup di meja.
Hoho. Jangankan dia, ...saya pun capek dan lapar.

Saya lirik Cici. Dia tampak semangat dan ceria, seperti tak terjadi apa-apa tadi.
Kagum juga saya sama anak itu. Sepertinya dia cukup tangguh menghadapi tekanan dan pandai menguasai diri.
Sementara Ayu? Saya tidak menyalahkan Ayu yang begitu ekspresif. Capek ya capek. Sudah. Terserah kalian mau ngomong apa. Mungkin gitu dalam hatinya.
Orang seperti itu biasanya tak menyimpan beban di hati ya? Bebannya keluar semua hingga permukaan, dan mudah-mudahan dengan begitu hatinya tidak terlalu galau.

Setelah semua beres, Ayu ngeloyor pergi, sementara Cici mencium tangan saya sambil bilang terimakasih. (Oooh.. so sweet.. hahaha)

Kalo lihat anak orang, saya suka inget anak sendiri. Jadi mikir gimana agar anak-anak saya bisa tangguh menghadapi tekanan. Gak mudah stress, dan pandai menguasai diri. Tangguh tak hanya dalam penampakan, tapi bersumber dari jiwa yang pantang menyerah.
Ihhh... asik ya punya anak yang seperti itu?

Momen UAS, atau ujian sekolah anak sebenernya bisa kita sikapi sebagai simulasi, bagaimana anak menghadapi tantangan.
Sejauh mana usahanya, sejauh mana tanggungjawabnya, dan sejauh mana daya tahannya dalam kejenuhan rutinitas belajar.
Nilai juga bisa dijadikan simulasi, sebagai hasil dari apa yang telah anak usahakan, karena biasanya memang berbanding lurus walau tidak selalu.

Di note yang lalu saya sempat bingung bagaimana agar anak bisa belajar mandiri. Komen dari Mbak Nina Estanto cukup menjawab kebingungan saya. Kata beliau, kita harus berani menghadapi kegagalan anak di sekolah karena hasil usaha si anak sendiri. Biarkan mereka mendapatkan konsekuensi dari kemalasan dan kelalaiannya. Mudah-mudahan mereka bisa belajar dari sana.

Sungguh berat bagi saya kalau harus membiarkan anak-anak saya menerima nilai jelek, buku ketinggalan, gak ngerjain peer, misalnya. Walau secara kasat mata itu justru meringankan saya. Kan cuekin aja gitu. Hehe.
Sementara selama ini saya biasanya gak banyak omong. Seragam siapin, yang ketinggalan-ketinggalan gitu saya masukkan sendiri ke tas anak. Ngerjain peer ditungguin, bahan belajar saya siapin. Doooh....
Memang kalo begitu terus caranya, kapan anak-anak saya bisa mandiri dan menghadapi tantangan hidupnya sendiri ya? Kapan anak-anak saya bisa tahan menghadapi tekanan pelajaran dan tugas-tugas sekolahnya tanpa saya temani?

Kebayangnya sama saya mah, kita memang hanya berkewajiban mengingatkan, dan memberi contoh. Saat anak belajar, kitanya jangan nonton pelem. Saat anak ngerjain peer, kitanya jangan banyak ngobrol. Tetap menemani, siap ditanyai bila mereka menghadapi kesulitan, tapi biarkan mereka mengerjakan sendiri. Dan di kehidupan sehari-hari, kitanya jangan pernah kelihatan mengeluh, marah-marah, gampangan sedih, atau menyerah.
Bukankah anak akan meniru bagaimana cara orangtua mereka menyelesaikan masalah?

Hari ini hari terakhir anak-anak UAS. Saya pun lega. Karena diam-diam saya jenuh juga melayani mereka belajar.
Nah, mulai semeseter depan, siap-siap aja ya Arif dan Sofi, siapkan segala kewajibanmu sendiri. Lalu kita lihat apa yang terjadi.

***

Tidak ada komentar: