Rabu, 28 Juli 2010

"akhwat jaim" -- (bagian ketiga)

Sambungan dari "akhwat jaim" -- (bagian pertama) dan (bagian kedua)

***
Bertemu dengan suami, adalah babak yang benar-benar baru dalam hidup saya. Sempat terkaget-kaget dengan segala perubahan, tapi saya menikmatinya.
Suami membawa saya untuk menemukan sosok yang baru dengan membawa diri ini ke dalam lingkungannya.

Ternyata lingkungan yang saya masuki di antaranya adalah bukanlah lingkungan baru. Setelah bertaaruf dan kemudian menikah, saya dan suami baru ngeh kalau punya teman yang sama. Yang bagi saya orang itu adalah sahabat, sementara bagi suami orang itu hanya kenalan. Begitu pula orang yang saya anggap sebagai kenalan, ternyata berteman baik dengan suami.

Tidak heran ketika kami bertemu orang-orang itu.. mereka langsung menyalami kami dengan akrab, karena mereka tau siapa saya, dan tau siapa suami saya. Maklumlah memang kami satu almamater SMA dan satu almamater kuliahan. Cuma 'klik'nya aja gak pas lagi di sekolah ataupun kampus.

Dan tau nggak.. hehe.. ternyata orang-orang yang saya anggap kenalan dan ternyata berteman baik dengan suami, itu adalah orang-orang yang saya anggap 'bukan saya' di masa lalu. Yang saya anggap beda level. Tak usah dibahas level siapa yang lebih tinggi, tapi yang jelas saya ngerasa beda aja.

Karena kini saya menjadi bagian dari suami, mau gak mau saya jadi kembali bertegur sapa dengan mereka, dan bisa melihat mereka dari dekat.
Entah kenapa saya jadi merasa berbeda.
Hmmm... bukan sayanya barangkali ya,
tapi cara pandang saya.

Ibarat kacamata, mata masih mata saya, tapi kalau ganti kacamata dari kacamata biru ke kacamata merah, atau dari kacamata minus ke kacamata plus, pasti tampak berbeda.

Kalau saya barangkali seperti pindah dari kacamata kuda ke lensa kontak
(jauh amat?!)
Saya jadi bisa melihat segala sesuatu menjadi jelas dan terang benderang. Bisa melihat sisi baik dan sisi buruknya dan bisa menempatkan diri lebih baik. Nyaman bagi mereka dan bagaimana memandang mereka agar tampak menyamankan bagi saya.

Karena lebih mengenal, makanya saya jadi bisa lebih mengerti, kenapa mereka melakukan hal-hal yang bagi saya dulu adalah 'bukan saya'. Toh bagi mereka juga - saya - mungkin- adalah bukan mereka. Tapi ternyata kami bisa juga menemukan satu sisi yang sama. Namanya juga sama-sama manusia ya?

Suami juga mengenalkan saya pada level level lainnya dan saya punya perasaan yang sama, yaitu nyaman dan baik-baik saja. Pun saya membawa suami ke lingkungan saya, dan semua kekhawatiran lenyap begitu saja. Kekhawatiran bila suami tidak nyaman dengan lingkungan yang saya kenalkan padanya.

Barangkali karena suami juga saya jadi bisa lebih 'bijak' seperti itu.

Seperti dituliskan di posting blog ini terdahulu, bahwa orang paling istiqomah yang pernah saya kenal adalah Mas-ku itu. Teguh dengan pendiriannya, tapi tidak cocok juga kalau disebut keras kepala. Di lingkungan manapun dia berada, maka sosoknya tampak tak pernah berubah. Gak ikut-ikutan. Stabil. Tampil sebagai dirinya sendiri. Gak pernah terlihat marah, gak pernah terlihat sedih ataupun kecewa. Kalau terlihat bahagia tentu saja sering, tapi gak berlebihan juga.

Saya yang labil, yang sering terbawa emosi, yang sering berubah-ubah karakter seperti bunglon, jadi bisa belajar banyak pada beliau.

Kuncinya ternyata adalah... bagaimana mengenali diri, dan bagaimana mengenal Allah. Siapa kita, siapa pencipta kita, dan untuk apa kita hidup.
Ah.. semoga kalian paham apa yang saya maksud.

Yang jelas.. pada akhirnya.. dengan mengenal diri dan Sang Pencipta, saya jadi merasa sejajar dengan siapapun manusia di muka bumi ini. Orang kaya? Orang miskin? Cantik? Jelek? Jahat? Tampak sholeh? Cacat? Sempurna? Aktivis masjid? Aktivis himpunan? Siapapun itu... saya jadi merasa tak bersekat lagi, tak ada benteng lagi kecuali apa yang telah dibedakan dan ditetapkan batas-batasnya oleh syariat Islam.

Bukan berarti saya paham 100%. Sampai saat ini pun saya masih belajar. Terus berkenalan dengan banyak orang dengan berbagai level dan lingkungannya, tapi berusaha terus menerus agar sadar diri. Siapa saya, siapa teman saya, siapa pencipta saya, siapa pencipta teman saya, dan untuk apa kami hidup.

Dengan siapapun saya bertemu dan bicara, saya merasa gak canggung sama sekali. Gak ada perasaan merendahkan, ataupun meninggikan. Tapi saya menaruh hormat dengan hanya melihat bahwa seseorang itu telah dihadirkan-Nya di hadapan saya untuk saya pelajari kelebihannya, untuk saya hisap manfaatnya baik materil (ahahaha) maupun immateril.

Melalui email, blog, ym, dan kemudian facebook plus twitter, saya menampilkan diri saya (kembali), setelah menikah.

Bahasa tulisan memang membuat saya lebih ekspresif. Tidak seekspresif kenyataannya. Tapi bolehlah dicoba bertemu dengan saya, apakah anda merasa nyaman atau tidak. Mungkin juga kalau bertemu langsung, anda masih melihat saya sebagai sosok masa lalu yang penuh batas dan standar. Yang orang kebanyakan bilang saya “jaim”.

Tentu saja begitu, kawan...

Karena bahasa tulisan dan bahasa tubuh itu bagi saya amatlah berbeda.
Apa mungkin saya tertawa seperti ini , atau katakanlah bersuara .. HA HA HA... di hadapan kalian?

Irma yang aneh, bukan?

Apa mungkin saat kopi darat saya bercerita panjang lebar seperti di blog ini tanpa memberi kesempatan pada lawan bicara saya untuk menanggapi atau bercerita balik?
Tentu saja tidak.

Dan apa bisa saya marah seperti ini... .. tepat di hadapan kalian?

Ahahay.. dunia maya memang ajaib ya.

Tidak sedikit teman lama yang bilang kalau saya berubah. Tidak seperti orang yang mereka kenal waktu saya SMA dulu atau kuliahan dulu.

Kalaupun harus dijawab, jawabannya bisa YA ataupun TIDAK.

Ya, saya berubah, dengan cara pandang saya yang mencoba untuk bisa lebih memahami teman-teman saya.

Tidak, saya tidak berubah, karena dari dulu juga memang sebetulnya saya ekspresif dan banyol. Salah besar bila saya tampak anggun dan berwibawa....
*anggun dan berwibawa? .. weks.. buat yang mengenal saya dengan baik, silahkan muntah.
Hanya ya itulah... itu... emoticon membuat saya lebih beremotion .. itu saja.


Nanti, akhir dari serial ini, saya ingin menyimpulkan, apa itu 'akhwat jaim'. Menurut saya tentunya.
Tapi di postingan berikutnya lagi aja yaaa...

******

Diakhiri dengan iklan dulu ah....
Kemarin dapet email niy:

Dear Pemenang Audisi Crazy Moments Leutika 2010

Selamat kepada para pemenang Audisi Crazy Moments Leutika 2010!

Buku CrazMo akan segera masuk produksi. Hadiah akan dikirimkan setelah
buku jadi (termasuk sertifikat - hardcopy).

Terimakasih atas seluruh atensinya. Keep writing! Sampai ketemu di next
event Leutika.


Best Regards

redaksi Leutika


NB: Dimohon tidak mempublikasikan hasil karya kepada siapa pun dalam
bentuk apa pun.


***

AlhamduliLlaah.. hehe.. ternyata ada juga yang suka dengan banyolan saya yah... judul bukunya aja "Crazy Moment"...wkwk... dari segala arah juga tampak jauh dari istilah "jaim"... --- wekwew dah.

Mudah-mudahan jadi pemicu semangat saya untuk terus menjalankan motto "lebih baik menulis daripada melamun"

***

Senin, 19 Juli 2010

"akhwat jaim" -- (bagian kedua)

Sambungan dari "akhwat jaim" - (bagian pertama)

Yahhh.. barangkali hal-hal seperti itulah yang seringkali membuat saya merasa 'terjaga' sewaktu muda dulu. Selain ada juga hal-hal sepele yang mempengaruhi tingkah laku saya. Misalnya,
saya loncat-loncat karena senang... langsung dibilangin "Husy.. ada ikhwan! Jangan centil gitu!"
Saya ngakak dikit langsung disenggol atau dikiceupan oleh sesama akhwat... lagi-lagi karena ada ikhwan. Halaaah....

Ya sudahlah.. mari kita anggun c. sasmi demi para ikhwan tercinta.

Maka, kemudian saya dikenal sebagai akhwat manis, anggun, baik budi, tidak sombong, terjaga hijab, serta auratnya.
Kurang lebih tampak seperti ini lah....



Wew.. saha eta? Ada yang kenal?

Nyaman dengan penampilan seperti itu?
Yuppp.. Nyaman!

Salahkah saya bergaya seperti itu?
Barangkali pengikut syaithan yang bilang kalau itu salah.

Betul teman, saya nyaman.
Tapi sayangnya karena saya merasa nyaman dengan pandangan orang.

Menjaga diri?
Betul, tapi karena manusia.

Saya merasa saat itu saya dituntut manusia untuk berpakaian seperti itu.
Saya diminta manusia untuk berlaku anggun seperti itu.
Saya melakukan semuanya demi pandangan teman-teman saya yang aktivis.

Allah mana? Allah ada. Tapi Dia tak ada di hati dan pikiran saya.

***

Tapi tetap saya sadar bahwa inilah yang diperintahkan Allah bagi hamba-Nya yang ingin menjaga diri. 'Kesadaran' saya ini teruji saat saya harus berinteraksi dengan teman-teman di kampus (baca: himpunan).

Wah.. maap maap nih buat temen-temen himpunan (dulu ya.. gak tau sekarang). Saya gak nyaman juga di sana. Melihat teman-teman saya laki-laki dan perempuan bercampur baur dan kadang duduk berdesakan. Ketawa ketiwi dan bercanda tak berujung pangkal. Katanya rapat tapi ya kok banyak ngelanturnya. Yang diurusi penting, tapi komitmen diragukan.
Tak seperti di masjid tempat saya beraktivitas (juga) saat itu. Kalau sudah janji.. ya ditepati. Kalau sudah punya komitmen, ya ditunaikan. Bertahan pula hingga bertahun-tahun demi menjalankan sebuah program. Ancaman yang dilontarkan satu saja : Allah Melihat kerja dan komitmen kita. Dan semua tetap maju bersama. Yang gak kerja, melaut dengan sendirinya.

Padahal sebenarnya di lingkungan himpunan saya bisa loncat-loncat ataupun ketawa ngakak dan gak ada yang bilang "Husy! Ada ikhwan!"
Tapi tetap saja saya tidak bisa centil-centilan. Kenapa ya? Gak tau. Gak enak aja. Berasa tidak etis bila saya harus ngakak dan centil-centilan dengan jilbab panjang plus rok atau gamis yang saya kenakan. Saya merasa membawa nama besar yang harus saya junjung tinggi. Yaitu: saya muslimah.
Jadi bukannya saya menahan diri untuk gak centil. Tapi karena gak mau aja. Gak mood.

Pada akhirnya saya tak bisa berlama-lama aktif di himpunan. Benar-benar saya merasa menderita bila berada di sana. Habitat saya adalah di tempat yang pandangan para ikhwannya menyapu lantai saat bicara dengan saya, dan pandangan para akhwatnya menjaga perilaku saya. Saya telah terbiasa dalam lingkungan itu. Dan perlahan saya menikmatinya.

Di SMA pun saya mengalami hal yang hampir sama.
Tengah aktif di DKM, tapi saya terseret ke dalam habitat yang 'bukan saya'. Sebuah kelompok eksklusif yang dengan seleksi tertentu saya bisa masuk ke dalamnya.

Demi bisa gaul dengan kelompok ini baik seangkatan maupun beda angkatan, maka saya memaksakan diri untuk ikut ke manapun mereka pergi. Diajak naik mobil pribadi ke sana ke mari rame-rame. Mampir ke rumah-rumah mereka yang bak istana. Disuguhi makanan yang entah apa namanya. Ngomongin film-film dan lagu-lagu. Huduuuuhhhh.... saya memang suka lagu, suka film. Tapi ya kalau dijadikan tema pokok obrolan, rasanya gimanaaa gitu. Dan utamanya barangkali karena saya gak tau apa-apa.
Mereka gak berbuat macam-macam kok. Cuma perasaan saya saja barangkali, kalau di kelompok ini saya ngerasa minder buanget. Merasa jadi orang paling miskin, paling bodoh, paling ketinggalan jaman, paling oon... hiks.. walau tentu saja mereka gak pernah menyinggung sama sekali tentang hal ini, tapi segala gaya dan penampilan mereka membuat saya merasa terdepak ke pinggir lapangan. Out! Dari habitat itu pun saya keluar. Datang bila diundang rapat saja di sekrektariatnya.

Kemudian saya pun kembali seratus persen ke musholla tercinta yang bagaikan cadbury pemberian ibu mertua. Enak di lidah, nyaman di hati. Yang ukurannya bukan materi atau penampilan. Yang ukurannya bukan bisa ngabodor atau ngagaring.Yang ukurannya bukan pintar atau tidak.
Musholla memberi saya lingkungan di mana saya tidak merasa diukur, karena di sana semua tahu, yang berhak menilai amal hanyalah DIA.
Di lingkungan yang bisa mengingatkan saya untuk tetap hidup mengejar akhirat. Dan barangsiapa yang mengejar akhirat, dunia pasti ada di tangannya.

(bersambung)

***

Minggu, 18 Juli 2010

"akhwat jaim" -- (bagian pertama)

***
Teteh berjilbab lebar yang baru saya kenal beberapa bulan itu tergopoh-gopoh panik menghampiri saya di depan musholla sekolah (SMA). Dan sekarang saya lupa.. siapa teteh itu... maap. Waktu itu saya kelas satu. Dan saya lupa juga, sang teteh kelas dua apa kelas tiga ya? Gak penting sih.

"Irma!!... Irma!!... ", panggil si Teteh dari jarak 5 meteran dan setengah berlari menghampiri saya.
"Iya Teh? kenapa Teh?", tanya saya ikutan panik
"Kenapa buka kaos kaki di sini???!!", tanya si Teteh dengan nada memperingatkan.

Saya memandang sepasang kaki milik saya sendiri yang sudah tak beralas dan tampak jelas punya lima jari masing-masing di kiri dan kanan. Sempurna tak berbalut apapun. Mereka tampak putih pucat, merapat setengah ketakutan di bawah rok saya yang panjang.

"Saya... saya... ya saya mau masuk musholla Teh?", jawab saya sambil mengalihkan pandangan dari ujung kaki ke mata si teteh.

Sedikit bertanya dalam hati... apa ada aturan di SMA ini bahwa harus membuka kaos kaki di suatu tempat? Tempat khusus yang ada gantungan kaos kakinya?
-maklumlah anak baru, saya tidak tahu-

"Kaki itu kan aurat Irma! Buka di dalam musholla aja!,", jawab si Teteh dengan gaya seorang ibu yang memarahi anaknya karena ngompol di karpet. Pedas. Tajam. Menusuk hati.

Weeeew... sumpee deee gue baru tauuu... aurat ya? Ooooh... hmmm.. iya deh Teh..

Jujur sejujur jujurnya saya gak suka dikasih tau dengan cara begitu. Saya merasa langsung menciuuuut di depan sang senior. Merasa bodoh dan merasa terbuka seluruh aurat saya *halagh.. lebay
Pokoknya malu aja.

Selanjutnya memang saya coba untuk selalu melengkapi pakaian saya dengan sepasang kaos kaki, dan membukanya di tempat yang diyakini tak terlihat non muhrim. Namun sungguh, kejadian tidak mengenakkan itu tetap terekam dalam ingatan saya hingga kini.
Setidaknya alhamduliLLah.. saya diberi lupa oleh-Nya, siapa teteh itu.

Bagaimanapun.. nuhun pisan ya Teh.. sudah mengingatkan.

***

Dari banyak kejadian, saya belajar bahwa 'disalahkan' itu amat sangat tidak menyenangkan.
Yang pertama timbul dalam hati bukannya syukur karena ada yang mengingatkan, tapi: malu.
Kedua: pembelaan diri.
Ketiga: ingin melawan.
Keempat: gue juga tau.
Kelima: ini urusan gue.

Dari awal sampe akhir gak enak mulu kedengerannya ya?

***

Ahahaha.. jadi inget.. satu lagi yang 'lucu' jaman saya jadi aktivis masjid, waktu seorang teteh mengingatkan saya karena kedekatan saya dengan seorang ikhwan. Intinya saya merasa dituduh 'pacaran'. Merasa disalahkan karena tidak menjaga hijab. Dan merasa dilarang untuk berhubungan lagi dengan ikhwan tersebut.

Di kalangan 'aktivis Islam' (dulu ya.. gak tau kalau sekarang), hijab memang teramat dijaga. Rasanya saya baru tiga kali tampak 'berduaan' sama si ikhwan di depan publik. Pertama di koridor mesjid, ngobrol di tengah orang lalu lalang. Kedua, di sekretariat, saya diajarin kalkulus sama dia (catat: di sekitar kami banyak orang). Ketiga, di sebuah ruangan di sekretariat, lagi urusan surat-menyurat kepanitiaan sebuah acara. Dan perlu anda ketahui juga bahwa tahun itu adalah tahun keempat kami berteman karena kami dekat sejak kelas 1 SMA. Benar-benar tidak pernah ada ikatan apapun yang kami ikrarkan.

Wedeww... tapi itu tampaknya sudah menimbulkan isu yang 'memalukan' bagi kami. Kayaknya kalau saat-saat kami 'berduaan' itu dishoot dan rekamannya diedarkan, bisa dipastikan GAK LAKU. Lha wong cuma gitu doang? Apa anehnya?
Tapi barangkali karena tidak ada ikhwan-akhwat lain yang tampak 'seakrab' kami. Dan baiklah, barangkali ada yang menangkap isyarat dari bahasa tubuh kami bahwa kami saling suka. Ya sudah. Kami pasrah dituduh berbuat 'mesum'

Dalam hati .. saya tau saya (mungkin) salah. Tapiiiii gimanaaa?? Ini masalah hati, wahai para Teteh dan para Akang mentor yang budiman.. masalah hati!!!

***

Kalau boleh berandai-andai.

Andai si Teteh Kaos Kaki itu tidak langsung 'menghardik' saya ya? Biarlah saya masuk dulu ke dalam musholla. Dan cobalah cari kesempatan untuk mengobrol dengan saya. Cari tema menarik yang ujung-ujungnya bisa membahas 'kaos kaki', lantas si Teteh bilang.. "Irma udah tau kan ya kalau mata kaki hinggak ke bawah itu termasuk aurat?"
Naaah.. enak kan kedengarannya...

Andai si Teteh Yang Budiman itu pertama kali mendekati saya adalah dengan pendekatan penuh persahabatan dan pengertian. Andai Teteh itu berkata "Teteh ngerti perasaan Irma sama dia", kemudian menggali dari saya bagaimana timbulnya perasaan itu dan bersikap menganggap bahwa itu wajar sebagai seorang perempuan (lha ikhwannya memang ganteng kok) kemudian mau menjadi tempat saya bercerita tanpa dia harus bilang siapa-siapa...dan selanjutnya barangkali dia sampaikan apa yang dia pikirkan tentang hubungan saya dan ikhwan itu. Sama-sama mempertimbangkan sisi baik dan buruknya, kemudian menarik kesimpulan....

Dan... hei.... semua itu tentunya tidak bisa terjadi dalam satu hari, bukan?

Barangkali prosesnya berminggu-minggu dan berbulan-bulan... tapi kemungkinan saya bisa 'sadar' amatlah besar.

Dibanding kenyataannya dulu: saya cuma iya iya pura-pura nurut, namun lain saya punya bibir lain saya punya hati.
Saya gak suka si Teteh yang bersikap sebagai utusan perwakilan rakyat untuk menghakimi saya. Kurang dari 30 menit seluruh dakwaan disampaikan tanpa diberi kesempatan mengajukan pembelaan. Dan saya 'dipaksa' untuk menerima vonis bahwa saya-dan ikhwan itu- bersalah!
OBJECTION, YOUR HONOR !!




(bersambung)

***

Jumat, 16 Juli 2010

perlu untuk merasa diperlukan

**
Takjubnya saya, ketika pada suatu hari dipertemukan dengan teman-teman para ibu-ibu karier. Begitulah pentingnya silaturahmi ya. Kita jadi tak merasa sendiri. Tak merasa waras sendiri, sholeh sendiri, ataupun gila sendiri. Toh ternyata ada teman kita yang lebih waras, ataupun lebih gila dari kita.

Ibu-ibu itu tak lain tiga orang dokter dan satu orang apoteker teman sejawat saya.

Dokter pertama, aktivitasnya menjadi dosen di sebuah universitas swasta, dan baru saja ditinggal oleh pembantunya dengan alasan menikah. Padahal sang pembantu amat dia andalkan untuk mengurus ketiga anaknya sehari-hari.
Suami bekerja di luar provinsi, dan pulang hanya dua-tiga minggu sekali.
Walhasil... dia bener-bener hidup sudah seperti robot. Tanpa nada, tanpa rasa. Pergi pagi pulang sore, anak-anaknya yang sudah SD 'terpaksa' mandiri di rumah, dan anaknya satu lagi yang masih balita dititip di PAUD, berlanjut di tetangga.

Dokter kedua, aktivitasnya praktek sehari dalam seminggu saja di sebuah instansi. Tapi anaknya enam. Huihihi... kalo saya ke rumahnya, ampuuuun deh... rumah berantakan dan setiap kami ngobrol, selalu direcoki tiga anak balitanya. Syukurlah yang tiga lagi sudah sekolah full day.

Dokter satu lagi dan seorang apoteker cenderung tanpa masalah berarti. Masalahnya satu saja: masih tinggal di orang tua/ mertua, dengan konsekuensi yang tidak lebih ringan dari yang lain.

Akhirnya masalah rumah tangga masing-masing, jadi topik pembicaraan yang hangat dan cenderung memanas.
Kami mendiskusikan bagaimana bila kami keluar dari pekerjaan di luar rumah yang mengikat, kemudian fokus pada anak dan rumah tangga saja. Toh sebenarnya masalah nafkah ya alhamduliLlah kami sudah merasa tercukupi dengan gaji suami.

Namun tercetus suatu kalimat dari salah seorang dari kami, yang sebetulnya terpikir di kepala, tapi segan untuk terungkapkan, yang terbukti setelah kalimat itu terucap, semua ternyata mengiyakan:
yaitu ... "saya butuh untuk merasa dibutuhkan"

Teman saya yang dosen itu, merasa berharga tatkala ada mahasiswa yang meminta bimbingannya menyelesaikan skripsi. Teman saya yang praktek di sana-sini merasa berharga saat ada pasien yang berobat padanya. Dan teman saya yang bekerja di pabrik, memang baru saja promosi jabatan. Dan dia pun merasa berharga kerenanya.
Masing-masing merasa dibutuhkan oleh banyak orang, dan itu menyenangkan.
Rasanya masalah uang tak seberapa dibanding dengan *kesenangan saat dibutuhkan* itu.

Bagaimana dengan seorang ibu yang dibutuhkan oleh suami dan anak-anaknya?
Haduuuuuuuuuuuhhh... bukan hal yang mudah menerapkan hal itu di hati, ternyata.
Mungkin karena itu hanyalah kebutuhan yang sifatnya naluriah? alamiah?
Yang namanya ibu itu kan tak ada sekolahnya. Tak ada gelarnya. Tak ada pula gajinya.
(Dan herannya.. secara tidak langsung kami sepakat pula akan hal itu).

Bukaan.. bukan lantas kami menyepelekan beban sebagai seorang ibu.
Tapi kami sama-sama berpikir bagaimana menjadikan semua amanah itu bisa berjalan bersama-sama. Kebutuhan berkarir jalan terus, tapi tetap jadi ibu yang baik bagi anak-anak.

Salah satu solusi paling bodoh yang terlontar (tapi sekali lagi diamini oleh semuanya) adalah .. menurunkan ekspektasi terhadap keterpeliharaan rumah dan segala benda mati yang ada di dalamnya...

whahahaha....

Artinya.. cobalah untuk tidak terlalu peduli dengan cucian dan setrikaan yang menumpuk, dan biarlah rumah kita dipel seminggu sekali saja.
Yang penting kita tetap bisa konsentrasi pada anak-anak selama di rumah, dan kita bisa makan serta istirahat dengan cukup.
Soalnya kalau kita tetap punya standar tinggi terhadap kerapian rumah, sementara pembantu tak ada, suami sibuk, anak-anak masih kecil, dan amanah karir kita menanti, hasilnya hanya stress.

Oya.. lebih bagus lagi kalau anak-anak dibiasakan untuk membantu ibunya...

Sekali lagi kami bersyukur, masing-masing punya suami yang amat teramat sangat pengertian..

Wah.. jangankan teman-teman saya itu yang berkarir ya.
Saya yang hampir full di rumah aja udah paciweuh riweuh.
Kalau sempet nyuci dan nyetrika, berarti gak sempet masak yang susah-susah. Cuma sempet masak yang praktis aja, atau beli.
Kalau sempet nyapu ngepel, berarti gak sempet nyuci nyetrika.
Kalau sempet chatting berlama-lama, berarti gak sempet nyuci piring.
Kalau sempet nulis blog begini.. itu karena masakan yang kemaren masih ada. Tinggal diangetin. Tapi.. rumah berantakan...

Tak apalah.. yang penting hepi...

Jadiii.. kesalahan apapun yang dilakukan seorang ibu, katakanlah itu hanya "telat bangun", maka akan selalu ada konsekuensi yang menyertai. Mendinglah kalau kenanya cuma pada diri sendiri, ini sih.. pasti suami dan anak-anak ikut kena getahnya juga.

Hummm... memang tak kan pernah ada waktu yang cukup bagi seorang ibu.
Saya pun kalau ditanya "Sibuk, Ier?" jawaban saya pasti sibuk.
Jadi mending gak usah tanya lah...
Buat teman-teman saya, keluarga saya, siapapun yang butuh saya, maka saya selalu ada. Karena kembali pada postulat yang tadi. Setiap orang butuh untuk merasa dibutuhkan. Perlu untuk merasa diperlukan.
You need me and I need you too


***

Rabu, 14 Juli 2010

ketemu polanya (semoga)

***

Arif Sofi kembali ke sekolah, dan roda waktu rasanya berputar kembali dengan normal. Sungguh saya sampai turun berat badan 3kg selama anak-anak liburan karena jadwal acak-acakan. Masak gak puguh, dan makan pun jadi gak nyaman. Saya pindah-pindah antara rumah orang tua, rumah mertua dan rumah sendiri. Banyak capeknya dan banyak makan ati.

Dan saat kembali ke sekolah ini, karena Sofi sudah satu sekolah dengan Arif, maka rasanya segala sesuatu lebih mudah diatur. Mungkin juga karena mereka sudah lebih paham aturan dan konsekuensinya.

Saya setting keberangkatan anak-anak dari rumah, yaitu teng jam 06.30. Setelah dicoba tiga hari, alhamduliLlah kami tidak menemui kemacetan yang berarti selama perjalanan.
Resikonya memang Arif Sofi datang kepagian karena jam masuk sekolah baru jam 07.45 sementara mereka sudah hadir 40 menit sebelumnya.
Dari opsi yang saya ajukan ke mereka "mending kesiangan atau kepagian?" dan "mending macet atau kepagian?", jawabnya tentu saja... mending kepagian.

Arif pun memberikan kesaksiannya kalau datang paling pagi itu rasanya lebih nyaman di hatinya. Baiklah. Toh kalaupun teman-teman mereka belum datang, Arif Sofi bisa saling menemani.

Dari jam pergi pukul 06.30 itu, akhirnya saya sepakat dengan Arif Sofi untuk sama-sama membuat jadwal harian. Jam berapa bangun.. jam berapa mandi, makan, main, belajar, sholat, dan tidur.
Jadwal yang mereka buat saya jadikan acuan untuk membuat jadwal saya sendiri... katakanlah kapan saya masak, kapan saya online, dan kapan saya mengupdate ilmu farmasi di apotek orang... hehehe....

Hasilnya? Not bad. Semangat di mereka, semangat pula di saya.
Seumur hidup Arif Sofi, baru kali ini mereka bikin jadwal.
Dan seumur hidup saya, sudah berpuluh kali saya membuat jadwal dan menjadwal ulang. Tapi baru kali ini saya merasa lebih teratur dari biasanya.
Barangkali karena sekarang manusia-manusia kecil yang sangat berarti dalam hidup saya itu mulai bisa mengatur diri.

Semoga jadwal yang kami rancang dan kami sepakati ini tidak menciptakan sekat yang membuat hidup kami kaku dan merasa penuh dengan aturan. Tapi justru membuat hidup kami lebih indah karena kami pandai mengatur diri.

Untuk urusan mengatur dan mendisiplinkan diri, Ummi juga masih belajar, Nak...
Bareng-bareng lah yaaa....

***

Kamis, 08 Juli 2010

Senin, 05 Juli 2010

....

***
selama-aku-masih-bernafas-maka-aku-selalu-ada-untuk-kamu

***

Kamis, 01 Juli 2010

bagaimana bahagia

***
Setelah dirundung banyak masalah (masalah orang lain, red) kemarin, hari ini saya menuai kebahagiaannya.
Ternyata benar... Allah akan memudahkan urusan kita jika kita mudahkan urusan orang lain. Allah akan melapangkan hati saat kita mencoba untuk mencari jalan bagi kesulitan orang lain. Allah akan memberi kita bahagia saat kita bisa membahagiakan orang lain.
Bahkan dengan membuat orang lain tersenyum karena senyum kita, maka rasanya kita bisa selalu tersenyum karena kita memang pada akhirnya diberiNya bahagia.

Saya ingin seperti bapak... Bapak mertua saya yang selalu tersenyum saat berhadapan dengan lawan bicaranya. Tak terkecuali putra putrinya sendiri.
Senyumnya selalu membuat lawan bicaranya balik tersenyum.
Ah... ajaibnya sebuah senyum. Selalu saja membuat saya merasa tenang di dekat bapak.
Bahagia.

Mungkin karena kebahagiaan orang-orang yang ada di sekitar bapak, maka bapak pun bahagia hidupnya.(selalu disertai do'a saya untuknya, semoga Allah memberi hidayah iman Islam padanya. Amiin)

Hari ini saya dengar kabar baik dari teman-teman saya yang kemarin dirundung masalah. Tiga orang yang telah memberikan kabarnya pada saya... semua bahagia, masalah mereka telah mendapatkan titik terangnya...
Walau masalah mereka yang selesai, tapi saya ikut bahagia.

Saya sebenarnya ingin tak peduli apakah mereka mengabari saya atau tidak. Apakah mereka ingat saya atau tidak, mengingat catatan berhuruf italic, bold, kalau bisa sih underline sekaligus... bahwa sayalah yang mendampingi mereka saat masalah itu ada.
Rasa itu tetap ada. Rasa ingin dihargai. Rasa ingin diingat. Rasa ingin dibalas.

Tapi kalau direnungkan lagi, betapa Allah memberi saya bahagia hari ini, justru bukan dari mereka. Bukan tiga orang itu yang membuat saya tertawa. Tapi saya bahagia karena hari ini banyak sekali hal yang saya syukuri dan membuat saya terbahak.
Bukan..sekali lagi bukan karena tiga orang itu saya bahagia.
Rasanya setiap celah di muka bumi membuat saya tersenyum hari ini.

Hmmm... memang padaNya saja kita layak berharap akan kebahagiaan itu.
Bukan dari manusia manusia yang telah saya buat bahagia.

Saya buat mereka bahagia?
Saya?
Lho?
Sekarang malah saya sangsi... hahaha.... ya ya.. bukan saya yang membuat mereka bahagia hari ini....
Jadi untuk apa juga saya berharap pada mereka ya?
Whahaha..

Barangkali Tuhan sedang mentertawakan saya di atas Arsy-Nya...
Allahu Rahman.. Allahu Rahiim...

***