Jumat, 29 Mei 2009

memiliki kehilangan

***
Saya akui kalau selama saya hidup hampir sepertiga abad ini, saya sering sekali merasa takut.
Bukan terhadap sesuatu yang horor, tapi saya hanya sering takut kehilangan.
Pertama kali saya rasakan takut kehilangan, dalam usia balita.
Takut kehilangan mamah, takut kehilangan bapak. Ke mana pun mereka pergi tanpa saya, maka pada limit waktu tertentu, saya menangis. Khawatir sekali mereka tidak kembali bertemu dengan saya. Takut kecelakaan di jalan, atau apa lah yang buruk-buruk.
Makanya, dulu.. ke manapun orang tua saya pergi, saya pasti ikut.

Semakin besar, saya jadi gak terlalu khawatir lagi. Bukannya jadi gak sayang sama orang tua, tapi mulai bisa berpikir realistis aja, dan memang mulai seringkali memikirkan diri sendiri dan hal-hal lain yang dirasa lebih penting.

Saat penerimaan rapor, ada juga ketakutan. Takut posisi saya di peringkat atas, digeser sama yang lain. Hualahhh.. yang namanya deg degannn...
Selama sekolah dan kuliah, tentu saja ketakutan-ketakutan itu banyak berkisar di area ranking kelas, nilai, dan IPK.

Ketika mulai merasa memiliki seorang tambatan hati.. hmmm.. barangkali para pembaca blog saya sejak 2008, ingat tulisan saya: 'my love's adventure?' hehe.. gak usah dicari lah ya. Udah saya simpan sebagai draft. Nah.. saat merasa memiliki beliau, ehm.. mulai juga takut kehilangan. Kalo keliatan ada yang deket-deket sedikit aja dengannya.. bawaannya cemburuuu...

Takut gak dapet jodoh di dunia?
wkwkwkwk... alhamduliLlah.. yang ini tidak sempat saya alami =)
Mas-ku keburu dateng, padahal saya masih takut gak lulus kuliah tablet..boro-boro mikirin kawin Terus kenapa atuh nikah kalo belom mikir ke arah sana?
Maaf.. tak usah dibahas lah..

Setelah menikah, tentu saja.. takut kehilangan suami.
Sekalinya suami telat pulang, saya cemasnya luar biasa. Apalagi dulu pas awal-awal nikah, yang namanya hp belum pasaran. Kami belum punya hp.
Jadi ya main feeling aja.
Tapi cemasnya memang sulit dilukiskan. Waktu denger suara mobil suamiku dateng.. fuahhh.. legaaaa rasanya. Bener-bener gak bisa membayangkan apa jadinya jika suamiku ada apa-apa di jalan.
Cemburu kalo dia telat pulang gara-gara sama yang lain? Hihi..Gak lahhh.. Saya percaya pada suamiku si baik hati ini. Dia sama sekali bukan tipe cowok brengsek, yang tidak mungkin tertular virus R4N1. Semoga. Aamiin.

Ketakutan yang datang kemudian, adalah takut tidak bisa memiliki keturunan.
Tidak ada niat untuk mencegah kehamilan walau saya belum lulus S1, tapi minta waktu yang terbaik saja. Namun tak urung memang, rasa takut itu datang setelah berbulan-bulan saya tidak kunjung hamil. Pada bulan ke 4 usia pernikahan, saya baru positif. Tapi dua bulan kemudian keguguran.
Rasanya sediiiih sekali. Walaupun setengah bersyukur juga, karena memang jadwal tugas akhir dan kuliah saya masih cukup padat.

Ketika 'beneran' hamil, tentu saja takut keguguran lagi. Setiap kali isi rahim saya diUSG, mata ini langsung mencari-cari, bagaimanakah gerangan kabar anak saya, kuamati gerakan-gerakan di LCD.. sekaligus menajamkan pendengaran, apa yang dokter bilang tentang buah hatiku.
"Bagus..", itu perkataan paling indah dari dokter untuk saya.

Kalau ke bidan, saya deg degan ketika stetoskop ditempelkan di atas perut. Kalau mulai terdengar dk..dk..dk.. dengan teratur, dan kata bu bidan.. "Tuh, kedengeran ya?", katanya sambil tersenyum.
Legaaaaaa...

Setelah anak lahir, ketakutan saya ternyata makin kompleks. Tentu saja karena semakin banyaknya orang yang dicintai, hadir dalam hidup saya. Ada orang tua, suami, kini ada pula dua orang anak. Pernah Arif bayi jatuh dari tempat tidur, saya nangis sampai meraung-raung karena khawatir. Pun karena merasa bersalah. Gak sengaja sih, waktu itu dapet telpon dari pembimbing kerja praktek di rumah sakit, yang membuat saya harus meninggalkan Arif di kamar. Takuuut sekali kalau ada apa-apa dengan Arif kecilku karena jatuh waktu itu.


Wah.. apalagi kalau udah memikirkan masa depan anak-anak ya Cemas. Inginnya selalu mendampingi mereka terus tanpa melepasnya. Ingin memastikan kalau mereka akan baik-baik saja kelak.
Sebetulnya cukup 'bisa dimengerti', kasus-kasus yang terjadi sekarang-sekarang ini, bagaimana seorang ibu tega membunuh anak-anaknya, sekaligus bunuh diri, atau seorang ibu yang membuang anaknya.
Mungkin mereka merasakan ketakutan. Ketakutan yang berlebihan, yang bisa jadi karena penyakit psikis .. atau barangkali memang karena lemahnya iman. Wallahu a'lam.



Agar kita tidak merasa kehilangan, maka mestinya kita jangan merasa memiliki ya? Mengucapkan "semua milik Allah dan semua akan kembali pada Nya" adalah mudah. Namun pada kenyataannya kita sulit sekali meletakkan sesuatu hanya di tangan saja. Tidak di hati. Tidak usahlah merasa memiliki dan menguasai.Karena setiap waktu kita harus siap kehilangan. Kehilangan apa yang selama ini kita cintai.

Seuntai doa, semoga saya tidak pernah kehilangan-Mu, sebagai pemilik segalanya. Tidak pernah kehilangan iman dan Islam... Dan semoga saya bisa bersama dengan orang-orang yang saya cintai.. di syurgaMu kelak.. Aamiin..



Dariku yang sebentar lagi harus siap kehilangan dirinya...
mudah-mudahan memang hanya untuk sementara...


***

Selasa, 26 Mei 2009

akhirnya sofi bisa membaca

***
Sebetulnya ya biasa aja toh.. anak TK belum bisa baca? Tapi berhubung Sofi punya kakak yang cerdas, yang bisa membaca di usianya yang ke-3, saya jadi agak tidak sabar melihat Sofi yang susah sekali diajarin baca.
Saya tidak pernah dengan sengaja mengajari anak membaca sebetulnya, apalagi usia mereka masih balita. Hanya iseng-iseng aja. Dan dulu saya melihat Arif 'tiba-tiba' saja bisa merangkai huruf-huruf itu menjadi sebuah kata.
Saya pun takjub. SubhanaLlah..

Tapi.. heuheu.. adiknya ko' beda ya... Standar saya terhadap kecerdasan anak jadi meninggi dan cenderung membanding-bandingkan sang adik dan sang kakak. Berpuluh-puluh lembar kertas saya tulisi kata-kata sederhana, biar Sofi hafal saja dulu.
Tapi Sofi tampak tidak ada perkembangan. Dia malah terus saja minta ditambah lembar kata, tanpa mau dihafalnya. Ya biarlah.. saya ikuti saja apa maunya.

Beberapa minggu yang lalu Sofi mulai ada keinginan untuk menulis..
"Mi.. gimana nulis 'buku'?"
"Beee.. uuu... kaaa...uuuu..", jawab saya.
"Be teh gimana?"
Heuleuh.. saya memberi contoh.. dan dia mulai menyalin.

Sehari bisa tiga sampai lima kata dia tuliskan.. ataupun dia salin.
Terus begitu sampai beberapa hari.
Entah dari mana keinginan itu muncul.

Selanjutnya .. menakjubkan.. 'tiba-tiba' saja Sofi bisa membaca. Lembar-lembar kata yang saya tempel serupa kalender di pintu kulkas, dia buka satu persatu, dan dia bisa membacanya!

Saya baru sadar kalau kunci Sofi bisa membaca adalah motivasi.
Sekali lagi saya tidak tau dari mana motivasi itu muncul. Yang jelas semangat ingin bisa membaca itu begitu menyeruak terpancar dari dirinya. Membuat dia berusaha.. berusaha.. dan berusaha, akhirnya bisa.

Ternyata membuat anak bisa membaca adalah mudah. Yang sulit barangkali bagaimana cara kita membangkitkan motivasi untuk si anak. Dan yang jangan kita lupa adalah bagaimana mempertahankan motivasi itu sehingga tak luntur lagi seumur hidupnya.

Motivasi memang harus selalu diasah dan diperdalam ya? Di tataran anak-anak kecil kan bisa jadi motivasi itu dangkal sekali. Tidak mau kalah dari teman misalnya.
Motivasi yang seperti itu harus perlahan diluruskan, hingga akhirnya dia menyadari apa manfaat dari membaca. Hingga dia menjadi seorang pembelajar sejati.

Tak hanya membaca barangkali. Itu hanya sebuah contoh.
Sadarkah anda kalau anak seringkali bisa menjadi cerminan diri?
Selama ini barangkali motivasi yang tidak terasah serta niat yang tidak lurus lah yang membuat kita sering merasa malas, bosan, dan cepat putus asa.

Ayo Sofi.. keep on spirit !!
Semoga dirimu secerdas dan seshalih ayahmu Nak .. dan lebih cerdas lagi dan lebih shalih lagi.. .. aamiin...


***

Sabtu, 23 Mei 2009

Bereskan Rumahmu...

***
.... karena belum tentu kamu kembali ke rumah dalam keadaan hidup.

Itu sebetulnya pesan singkat dari mamah, yang berulang-ulang beliau ingatkan pada saya.

Maklumlah 'profesi' mamahku memang mengurus jenazah.
Bukan, .. bukan komersil. Mamahku cuma aktivis masjid yang setiap kali ada jama'ah wafat, maka mamah dan bapak yang 'ketiban rezeki' amal, untuk memandikan dan mengafani jenazah.
Semakin banyak handai taulan yang meninggal, maka pengalaman orang tua saya dalam hal ini semakin banyak.

Ada saja ladang amal orang tuaku ini. Sekalinya nengok ayah dari teman dekatku waktu SMA, eh.. pas orang tuaku hadir di ruang rawat, ayah temanku itu sudah ditutup selimut hingga kepala,... baru saja wafat.
Bapakku yang akhirnya berjibaku hingga almarhum ayah temanku itu terkafani.

Mamah sering kebagian tugas (menugaskan diri?) membereskan 'rumah duka'.
Kadang hanya dibekali kunci rumah oleh keluarga di rumah sakit, dan mamah dkk yang menyiapkan segala sesuatunya agar ketika jenazah datang ke rumah, segala sesuatunya sudah siap.

Berkali-kali tugas itu mamah lakukan untuk setiap 'kasus' kematian, baik tetangga maupun keluarga. Dan bermacam-macam pula situasi yang dihadapi.

Kebanyakan memang kondisi rumah keluarga yang sedang berduka itu dalam keadaan tidak siap.
Piring-piring kotor bekas makan di meja...
Gelas bekas di sana sini..
Tempat tidur yang berantakan...
Lantai kotor...
Baju-baju menumpuk yang belum dicuci...

Hmm.. 'terpaksa'lah mamahku dan ganknya yang membereskan.. sambil agak risih juga karena begitu banyak benda pribadi yang harus diamankan.

Belom lagi kalo gak tau mesti nyalain air dari mana.
Pernah ketika dalam satu kasus, di rumah cuma ada menantu laki-laki dari tetanggaku yang meninggal di rumah sakit.
"Mas.. nyalain air dari mana ya?", tanya mamahku kepada sang menantu.
Heuheu...si menantu lelaki ini pun kebingungan...

Makanya.. mamahku rajin sekali beres-beres dan bersih-bersih rumah, mengisi air bak hingga penuh. Katanya bila beliau tiba-tiba meninggal, gak usah ngerepotin orang lain. Bahkan di rumah pun sudah sedia kain kafan siap pakai..

Akhirnya setiap kali saya meninggalkan rumah, saya amat-amati dulu kondisi rumah yang saya tinggalkan. Walau masih berantakan, minimal 'benda-benda pribadi' saya tersimpan rapi di tempat yang semestinya.

Barangkali saja... saya memang tidak kembali ke rumah ini dalam keadaan hidup